Oleh Budiman Sudjatmiko
Ketua Dewan Pembina Perkumpulan
Aparatur
Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Papdesi)
Siapapun pun yang
berhasil menguasai AI (kecerdasan buatan) akan menguasai dunia - Vladimir Putin
KITA sedang di
ambang revolusi. Revolusi berskala dunia. Berbeda dengan revolusi sosial,
revolusi ini bersifat sosial teknologi.
"Konspirator-konspirator"-nya
bukanlah para aktivis serikat buruh, mahasiswa, atau para filsuf ekonomi. Para
penggeraknya adalah orang-orang imajinatif yang bertemu matematika dan
algoritma. Subversif-subversif zaman kini yang menggunakan matematika dan
algoritma untuk merumuskan imajinasinya.
Tak kali pertama
ini terjadi ketika orang-orang imajinatif bertemu matematika di masa lampau
membuat kita tergopoh-gopoh selama beberapa dekade untuk memecahkan
prediksi-prediksinya. Namun, baru di abad ke 21 ini, mereka berskala masif dan
agen-agen mereka tak hanya di kampung, kampus, atau di pabrik tertentu yang
terlokalisasi. Agen-agen revolusinya ada di supercomputer, robot-robot cerdas
(artificial intelligence/AI), smartphone, laptop, bahkan sudah ada di jam-jam
tangan! Pelurunya bukan logam tajam bermesiu, melainkan data besar (big data),
mulai dari tingkat konsumsi pulsa, jumlah klik, denyut nadi, tekanan darah,
jenis makanan, olahraga favorit, musik favorit, sampai golongan darah.
Selamat datang di
Revolusi Industri ke- 4, di mana data yang ditampilkan bisa diverifikasi
faktanya. Bahwa kemudian manusia membangun cerita, citra, dan mitos
terhadapnya, ia masih saja harus berbasis fakta dan data. Ini revolusi yang
mengaburkan batas-batas ruang fisik, digital, dan biologis. Revolusi yang
mengantarkan kita untuk hidup bersama robot cerdas, yang akan melayani atau
mengambil alih 58 persen pekerjaan fisik, dan menyisakan hal-hal yang kreatif
saja untuk diselesaikan otak dan otot manusia.
Berjejaring
Jejaring adalah
wajah era digital. Ia sebenarnya wajah asli alam dan masyarakat yang lama
tersembunyi (baca: disembunyikan), hanya saja sekarang algoritma teknologi
informasi berhasil mengangkatnya ke penampakan mata manusia. Ia membuat dunia
seolah sebuah "desa" di mana segala hal tidak lagi berada jauh terpisah.
Teknologi telah membuat hampir semua hal yang ada di dunia saat ini terhubung
oleh jejaring fisik dan digital yang masif, di mana informasi, barang, dan jasa
mengalir bebas dalam skala yang sulit kita bayangkan sebelumnya. Segala
hierarki sosial yang vertikal mengarah menjadi horizontal. Paling tidak
diagonal.
Di dalam jejaring
itu, ekonomi digital tumbuh dan perlahan mendominasi. Hanya dalam 20 tahun
sejak kelahiran internet, potensi globalnya diperkirakan 3 triliun dollar AS.
Digital bukan lagi sekadar bagian dari ekonomi, melainkan ia ekonomi itu
sendiri. Jejaring merupakan wadah alami untuk memunculkan paradigma ekonomi
baru yang berlandaskan pada semangat kolaborasi dan partisipasi (participatory
market society) selayaknya gotong royong rakyat desa. Pendekatan kolaboratif
perlahan menjadi konsep yang menyeruak dalam praktik ekonomi generasi milenial,
menggantikan semangat kompetisi yang dominan di era sebelumnya.
Mayoritas bisnis
yang disruptif saat ini memfasilitasi munculnya kolaborasi berbasis platform
teknologi. Kolaborasi jadi prasyarat utama agar perusahaan dapat berinovasi dan
bersaing di pasar global yang terus berubah. Wilayah yang bekerja sama menjadi
prasyarat terbangunnya struktur ekonomi yang kuat dan tahan krisis. Individu
yang bekerja sama menjadi prasyarat utama tercapainya kesuksesan bersama. Di
depan warga desa sering saya istilahkan sebagai desa bekerja, desa berjejaring,
dan desa berinovasi agarwaras bareng, pinter bareng, dan sugih bareng.
Di era digital kita
merayakan kelahiran manusia sosial sebagai alternatif dari manusia ekonomi.
Berbeda dengan manusia ekonomi yang egois, manusia sosial berupaya mengejar
keinginannya sembari mempertimbangkan dampak dari setiap keputusan yang diambil
terhadap lingkungan kolaborasi yang dihidupinya. Rute menuju kesuksesan manusia
sosial bukanlah menuju puncak piramida keunggulan satu individu terhadap
individu lain, melainkan menuju sentral jaringan kolaborasi antarindividu dan
sumber daya. Keunggulan individual tak lagi diukur seberapa besar sumber daya
yang dikuasai, tetapi sejauh mana akses dimiliki mampu melingkupi keseluruhan
jejaring. Titik keseimbangan bukan pada puncak piramida statis, melainkan
titik-titik dinamika jejaring sosial yang terus bergerak.
Pergeseran
paradigma ini akan memunculkan perbedaan yang sangat fundamental secara makro.
Paradigma manusia ekonomi yang menjadi fondasi aktivitas ekonomi manusia selama
ini telah berujung pada persoalan eksploitasi sumber daya alam, ketimpangan,
polusi, dan kerusakan lingkungan. Kita mengenalnya dalam istilah tragedy of the
commons. Tragedi kepanasan, terendam air, atau sesak napas yang akan menimpa
siapa saja, apa pun agama, ras, akun Twitter, atau grup Whatsapp-nya. Persoalan
itu sangat mungkin teratasi di era saat ini. Konektivitas di era digital telah
menciptakan lingkungan yang sangat baik untuk munculnya partisipasi dan
kerjasama dari bawah secara mandiri (bottom up self regulation). Namun, ia
tidak selalu dapat muncul dengan sendirinya. Kita perlu secara sengaja
menyiapkan kerangka kelembagaan yang sesuai agar semangat kolaborasi dan
partisipasi dapat memberikan dampak sosial dan individu yang pantas. Inilah
tindakan politik.
Skenario
Skenario masa depan
di era digital tak selalu berakhir baik. Ia juga dapat berupa mimpi buruk yang
mengempas kita dalam perpecahan dan ketertinggalan. Persoalan pertama adalah
ketidakmerataan akses terhadap teknologi informasi. Penetrasi internet di
Indonesia saat ini masih di kisaran 25 persen penduduk, mayoritas berada di
Jawa dan Sumatera (digital divide). Akses terhadap teknologi merupakan
prasyarat mobilitas sosial di era digital. Namun, saat ini masih dipengaruhi
level pendidikan, pendapatan, dan pertemanan seseorang. Pemerataan akses harus
disertai peningkatan literasi atas teknologi. Revolusi teknologi mengharuskan
kita sesegera mungkin melakukan revolusi pendidikan. Pendidikan harus
memberikan penekanan pada penguasaan "cara belajar" daripada sekadar
banyak tahu karena banyak tahu bukan lagi keistimewaan di era digital. Belajar
"cara belajar" dalam rupa merumuskan pertanyaan dengan tepat akan
meningkatkan kemampuan adaptif manusia Indonesia pada perubahan cepat masa
depan.
Persoalan kedua,
proses otomasi produksi oleh mesin dan robot akan mengguncang pasar tenaga
kerja. Kemajuan teknologi saat ini telah memungkinkan produksi barang dan jasa
berlangsung tanpa melibatkan jumlah pekerja yang besar. Hal ini memberikan
sinyal, revolusi industri ke-4 bisa berujung pada sekadar pengulangan realita
ketimpangan antarindividu dan antarwilayah yang tinggi. Kita jelas membutuhkan
kerangka konseptual dan institusional baru untuk menanggulanginya. Lagi-lagi ia
juga butuh tindakan politik.
Alternatif pertama
konsep negara berbagi melalui pemenuhan kebutuhan dasar universal (universal
basic income/UBI) di mana negara menjamin pendapatan minimum bagi setiap orang
untuk melanjutkan kehidupannya meski tanpa bekerja. UBI, selain sebagai jaring
pengaman sosial, juga akan memberikan keleluasaan bagi setiap orang menjelajahi
daya cipta estetika dan membentuk kemanusiaannya sembari membiarkan persoalan
fisik ditangani mesin dan robot. Saat robot cerdas mengangkut batu atau
melakukan operasi jantung, insinyur dan dokter membuat puisi dan naskah drama.
Negara harus menjamin mereka tetap makan tiga kali sehari untuk membuat puisi lebih
baik lagi.
Alternatif kedua
adalah konsep perusahaan berbagi melalui adanya semacam valuasi dan kompensasi
keuangan kepada khalayak banyak atas informasi pribadi yang mereka berikan
secara "sukarela" di ruang-ruang digital. Informasi
"gratisan" tentang kolesterol, film favorit, atau detak jantung
adalah mata uang yang menjadi sumber keuntungan utama korporasi teknologi saat
ini. Persis inilah yang saya lihat di kantor pusat perusahaan teknologi di
Silicon Valley beberapa minggu lalu. Informasi publik di ruang digital masuk
dalam kategori aset terbuka (open asset), selain konsep aset publik dan
pribadi, yang perlu mendapat perlindungan dari negara. Keuntungan dari aset itu
harus dapat divaluasi untuk kemudian dikembalikan dalam manfaat keuangan
sepenuhnya kepada rakyat. Sekali lagi, ini butuh tindakan politik dalam rupa
undang-undang.
Menurut laporan
tahunan AI Vibrancy Index 2017, agregat perkembangan AI di kampus (publikasi
ilmiah, konferensi, dan lain-lain) dan industri (nilai investasi, start up, dan
lain-lain) mengalami peningkatan yang tajam, hampir 7 kali lebih besar
dibandingkan awal 2000. AS, Rusia, dan China adalah tiga negara terdepan dalam
balapan teknologi penguasaan AI, baik dalam kontribusi riset, investasi
industri maupun adopsi teknologi. Ini saja sudah memberikan gambaran sederhana
peta negara yang akan mendominasi dunia di masa depan. Indonesia tentu tidak
boleh melongo saja melihat yang seperti ini.
Tentu bagi
Indonesia kutipan Putin di atas bukan dalam kerangka mendominasi dunia.
Penguasaan AI (di antaranya robot-robot cerdas) adalah jalan untuk "ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial" sebagaimana amanat konstitusi kita. Namun, tak hanya
itu. Kita juga punya pekerjaan rumah besar untuk segera memajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa karena model ekonomi berbagi yang sedang
tren sejauh ini masih belum menjalar masif ke bawah. Kita perlu mendorongnya
melalui UBI, universal bassic assets, dan pemanfaatan teknologi oleh unit
bisnis rakyat dalam rupa BUMDes, dan badan usaha milik rakyat. Cuma dengan itu,
semua orang Indonesia di desa dan kota siap menyongsong Revolusi Industri ke-4
dengan wajah berseri-seri.
Sumber: Kompas, 16 Desember 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!