Oleh Alexander Aur
Dosen Filsafat Fakultas
Liberal Arts
Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Banten
PADA 31 Mei lalu
Setara Institute meluncurkan hasil riset berjudul Wacana dan Gerakan Keagamaan
di Kalangan Mahasiswa: Memetakan atas Negara Pancasila di PTN. Hasilnya
menunjukkan bahwa beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) terpapar gerakan
radikalisme agama. Peneliti Universitas Indonesia Ade Armando juga merilis
hasil risetnya yang berjudul Perkembangan dan Tantangan Gerakan
Islamis-Tarbiyah
di Universitas
Indonesia.
Baik hasil riset
Setara Institute maupun Ade Armando, menyingkapkan dua bentuk gerakan radikalisme
agama di perguruan tinggi, yakni bentuk puritanisme agama dan bentuk
ideologi-politik. Pada bentuk puritanisme agama, gerakan radikalisme agama
menekankan cara beragama yang lebih ketat sesuai dengan doktrin-doktrin agama.
Puritanisme agama juga tampak dalam cara pandang dan cara bersikap terhadap
ilmu pengetahuan ilmiah. Bagi kaum puritan, ilmu pengetahuan harus dibangun di
atas dasar dan dikembangkan dalam kerangka
Kedua hasil riset
itu menyingkapkan dua bentuk gerakan radikalisme agama di perguruan tinggi,
yakni bentuk puritanisme agama dan bentuk ideologi-politik. Pada bentuk
puritanisme agama, gerakan radikalisme agama menekankan cara beragama yang
lebih ketat sesuai dengan doktrin-doktrin agama. Puritanisme agama juga tampak
dalam cara pandang dan cara bersikap terhadap ilmu pengetahuan ilmiah.
Bagi kaum puritan,
ilmu pengetahuan harus dibangun di atas dasar dan dikembangkan dalam kerangka
doktrin-doktrin agama. Dengan kata lain, metode dan isi ilmu pengetahuan merupakan
manifestasi dari metode dan isi agama. Pada bentuk ideologi-politik, gerakan
radikalisme agama ini bertautan erat motif ideologis yakni universalisasi
doktrin komprehensif agama.
Isi doktrin
komprehensif agama ialah gugusan nilai etis-teologis yang bersumber dari
teks-teks agama. Para penganutnya menerima dan meyakininya sebagai hal yang
benar karena bersumber dari Tuhan. Doktrin komprehensif berfungsi sebagai acuan
bagi penganutnya untuk bertindak dan menilai atau merespons persoalan tertentu.
Tujuan gerakan
radikalisme agama yang ideologis-politis ialah menjadikan doktrin komprehensif
agama sebagai ideologi dan landasan politik negara. Dalam konteks Indonesia,
ideologi Pancasila oleh para radikalis ideologis, hendak diganti dengan doktrin
komprehensif agama yang dianutnya. Para radikalis percaya bahwa doktrin
komprehensif agamanya mampu mengatasi berbagai persoalan dalam negara.
Dua bentuk gerakan
radikal agama tersebut melahirkan dua akibat. Puritanisme agama melahirkan
sikap intoleran terhadap agama-agama lain. Adapun ideologis- politis melahirkan
sikap politik anti-Pancasila dan mengganti Pancasila sebagai ideologi dengan
doktrin komprehensif agama sebagai ideologi negara Indonesia.
Ilmu pengetahuan
integratif
Mengapa gerakan
radikalisme agama terjadi di perguruan tinggi? Hal ini tidak terlepas dari
tanggung jawab perguruan tinggi menemukan dan mengargumentasikan ‘yang benar’
(the truth) dari aktivitas-aktivitas akademik. ‘Yang benar’ itu termanifestasi
menjadi tiga jenis kebenaran yakni kebenaran koherensial, kebenaran
korespondensial, dan kebenaran pragmatis.
Ketiga jenis
kebenaran itu saling terintegrasi sehingga membentuk wawasan dunia epistemik
(wawasan dunia ilmu pengetahuan) integratif dan universal. Radikalisme agama di
perguruan tinggi merupakan cerminan dari belum terpenuhinya secara maksimal
tanggung jawab perguruan tinggi tersebut. Hal itu juga berarti momentum
radikalisme agama menjadi daya dorong bagi perguruan tinggi untuk membentuk
wawasan dunia epistemik yang holistik dan universal.
Untuk itu,
perguruan tinggi mesti menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan dan
pengembangan cara berpikir yang benar, cara bertindak yang tepat, dan cara
berselera yang tinggi. Apabila seluruh sivitas akademika memiliki cara berpikir
yang benar, cara bertindak yang tepat, dan cara berselera yang tinggi,
aktivitas-aktivitas akademik dimaknai sivitas akademika sebagai Bildung, yakni
proses kultivasi diri yang mengasah sensibilitas kultural dan spiritualnya.
(Bdk. F Budi Hardiman, 2017).
Mahasiswa dan dosen
sebagai sivitas akademika yang memiliki sensibilitas kultural akan menyikapi
ilmu pengetahuan sebagai wujud konkret cara berada manusia dalam alam semesta.
Ilmu pengetahuan yang dipahami dosen dan mahasiswa teraktulisasi secara konkret
dalam menjalankan tridarma perguruan tinggi; meneliti, mengajar, dan mengabdi
negara-bangsa (masyarakat).
Dalam melakukan
penelitian dan pengajaran, dosen dan mahasiswa mengajukan hipotesis, menjawab
hipotesis melalui verifikasi, falsifikasi, dan hermeneutika
yang bermuara pada teori-teori baru ilmu pengetahuan. Mahasiswa dan dosen
menyodorkan pula konsekuensi-konsekuensi terjauh dari teori barunya, seraya
tetap mempertimbangkan secara cermat implikasiimplikasi etis dari aktivitas
akademik dan penerapan teori
baru untuk masyarakat. Inilah matra penelitian dan pengajaran dunia kampus.
Perguruan tinggi
mesti merevitalisasi hakekat dan tujuan perguruan tinggi sebagai penemu the
truth dan pengembang ilmu pengetahuan integratif dan universal. Dengan
demikian, para sivitas akademika eksis dan aksis sebagai person yang menekuni
panggilan hidup di jalan ilmu pengetahuan.
Epistemologi-etika
Pancasila
Dalam pidatonya
pada Sidang BPUPKI 1 Juni 1945, Soekarno menempatkan Pancasila sebagai wawasan
dunia (weltanschauung) Indonesia, yang selanjutnya
menjadi cara berpikir, bertindak, dan berselera warga negara. Jika pidato
Soekarno itu ditempatkan dalam kerangka penumbuhan dan pengembangan ilmu
pengetahuan, jelas bahwa Soekarno mengintrodusir model penumbuhan dan
pengembangan ilmu pengetahuan yang berkarakter Indonesia.
Soekarno
menempatkan Pancasila sebagai epistemologi dan etika bagi penumbuhan dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Supaya ilmu pengetahuan yang berkarakter
Indonesia bisa tumbuh dan berkembang, Pancasila dapat landasan
epistemik-etisnya. Dalam konteks pelahiran teoriteori baru ilmu pengetahuan –khususnya dalam bidang sosiologi, antropologi, politik, ekonomi, budaya,
sejarah– sesungguhnya sivitas akademika
Indonesia
berpeluang besar melahirkan teori-teori baru ilmu pengetahuan yang berwawasan
dunia keilmuan Pancasila. Hal itu bukan berarti aktivitas akademik sebagai
proyek ideologisasi Pancasila. Sebaliknya aktivitas akademik yang bermuara pada
kelahiran teoriteori ilmu pengetahuan baru, merupakan sebuah proses kultivasi
diri dan usaha mewujudkan nilai-nilai epistemik-etis yang terkandung dalam
sila-sila Pancasila.
Dalam proses dan
tujuan yang demikian, ilmu pengetahuan mampu berdialog dengan agama, hormat
terhadap manusia dan kemanusiaan, dan berpihak pada keberlanjutan ekologis.
Dengan demikian ilmuwan dan calon ilmuwan Indonesia juga eksis dan aksis
sebagai warga negara yang memiliki integritas keilmuan.
Sumber: Media Indonesia,
3 September 2019
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!