pengajar Ilmu Politik FISIP UI, Direktur Parrhesia Institute
Kita masih ingat kasus PT Asian Agri dengan majalah Tempo. Bagaimana dengan mudah majalah Tempo dituduh melindungi tersangka Vincent, sementara persoalan PT Asian Agri tidak membayar pajak nyaris diabaikan oleh otoritas hukum. Anehnya lagi (dan ini amat mengerikan), sejumlah intelektual berpihak pada Asian Agri. Barangkali ini yang disebut the treason of intellectuals oleh Julian Benda (1928).
Untuk diingat saja, PT Asian Agri diduga menggelapkan pajak hingga Rp 1,3 triliun dan belum membayar utang pajak beserta dendanya sebesar 400 persen dari nilai pajak terutang. Pernah ada berita bahwa PT Asian Agri bisa bebas dari jeratan hukum. Dalam Pasal 44b Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disebutkan, kejaksaan dapat menghentikan penyidikan pajak bila ada permintaan dari Menteri Keuangan yang didasarkan pada kepentingan penerimaan Negara (www.tempointeraktif.com tanggal 15/3/2008). Pada 19 Maret 2008, berita itu dibantah oleh Direktur Jenderal Pajak Departemen Keuangan Darmin Nasution. Ia mengatakan akan menyelesaikan kasus dugaan penggelapan pajak Asian Agri hingga tuntas dan tidak akan mengambil opsi out off court settlement untuk menyelesaikannya.
Tentu kita tidak bermaksud menjelaskan kasus Asian Agri dan majalah Tempo di sini. Penulis mau mengajak Anda masuk dalam wacana the power of capital dalam kaitannya dengan politik.
Kita mungkin bertanya, kenapa pengusaha selalu dekat dengan politisi? Kenapa, dalam fakta, kasus hukum pengusaha sering kali dilindungi oleh "orang kuat" dalam politik? Kenapa, sesudah 1998, peranan pengusaha dalam kancah politik cukup sentral?
Pada 1999, John T. Sidel menulis buku berjudul Capital, Coercion, and Crime: Bossism in the Philippines. Ini merupakan hasil studi mendalamnya di Provinsi Cavite dan Cebu. Sidel tiba pada kesimpulan bahwa akar dari bosisme di Filipina adalah institusi demokrasi yang mengesahkan pembangunan kapitalisme. Peran negara yang sentral dalam akumulasi modal melahirkan bos-bos lokal. Mereka inilah yang menjadi rezim ekonomi yang pada gilirannya menjadi mesin politik pusat.
Patricio N. Abinales juga melakukan studi di Filipina Selatan dan merangkumnya dalam buku Making Mindanao: Cotabato and Davao in the Formation of the Philippine Nation-State (2000). Kalau Sidel melihat negara pengisap sebagai hasil ciptaan dari para bos yang juga pengisap, yang merupakan bagian dari jaringan kompleks para bos, maka Abinales melihat negara yang lemah (weak state) membidani munculnya "orang kuat" (strong person) di level lokal yang kemudian memonopoli proses politik. Bagi Abinales, dalam konteks "negara lemah", patronase ekonomi-politik kekal di tangan "orang kuat".
Tidak sedikit sarjana sosial-politik mengakui bahwa studi Sidel dan Abinales bisa dipakai untuk memahami patronase politik di berbagai negara berkembang. Dan, saya kira, Indonesia perlu dipahami dalam kacamata Sidel dan Abinales. Setidaknya, beberapa hipotesis bisa diketengahkan.
Pertama, demokrasi di Indonesia dituduh gagal karena masih terlalu prosedural. Di dalamnya, kualitas belum menjadi determinan utama karena digeser oleh pengaruh uang dan jaringan patronase. Betul bahwa uang adalah salah satu sumber daya penting dalam politik seperti tesis Schumpeter (1957). Namun, ketika demokrasi berubah menjadi pasar, ia tidak lagi menjadi sistem yang "adil" untuk semua, tetapi hanya "adil" bagi mereka yang bermodal. Dalam konteks inilah, politik dengan mudah dicaplok oleh kaum kapitalis. Eksistensi kaum kapitalis dalam demokrasi yang mahal menjadi semakin krusial dan sentral ketika elite partai membangun piramida politik berdasarkan kekuatan modal. Maka, jangan pernah Anda bermimpi menjadi calon legislatif, gubernur, atau bupati/wali kota kalau tidak mampu membayar partai miliaran rupiah. Bahkan, kalau kita perhatikan, banyak partai politik sudah diketuai oleh pengusaha--selain bahwa menteri kita pun banyak dari kalangan pengusaha.
Kalau pada zaman Orde Baru politik dimonopoli oleh birokrat, tentara, dan Golkar, maka sesudah 1998 ada kecenderungan politik dikuasai oleh kelas pengusaha, selain partai, birokrat dan militer. Maka, pengusaha dalam lingkup politik kita adalah "orang kuat" dalam terminologi Abinales atau “bos” dalam istilah Sidel, jika terlalu kasar untuk disebut "patron"-nya Clifford Geertz.
Kedua, lokus sosial-kultural sudah menjelma menjadi lokus ekonomi dan politik sehingga tidak mudah bagi kita untuk mengharapkan peran elite sosial-kultural untuk mendorong demokratisasi. Kita lihat saja, elite agama sudah berubah menjadi pedagang dan pesulap politik. Elite adat pun perlahan-lahan memakai jubah ekonomi dan politik. Mereka diseret ke pusaran kapitalisme ekonomi dan politik. Semua ingin menjadi bagian dari jaringan "bos" yang bisa dengan mudah mengeluarkan imprimatur politik. Minimal, dalam setiap pemilihan kepala daerah atau pemilihan umum, mereka didekati oleh para kandidat--karena setiap bentuk pendekatan adalah rupiah.
Ketiga, menguatnya peran para "bos" dalam politik kita merupakan sinyalemen elitisasi. Politik berubah menjadi sesuatu yang elitis. Padahal, politik harus populis, selain karena rakyat empunya kedaulatan, juga karena politik demokrasi harus memberi ruang yang sama bagi setiap orang untuk berpartisipasi. Implikasi buruk dari elitisasi politik adalah bahwa rakyat biasa perlahan tergeser dari panggung demokrasi dan mereka kemudian hanya menjadi penonton dari proses politik yang mahal dan elitis itu.
Apa yang dilakukan majalah Tempo dengan memberitakan kasus PT Asian Agri sebetulnya sebuah teladan bahwa apa pun yang terjadi dalam konteks kepentingan negara harus menjadi titik perhatian semua warga negara. Kalau negara dirugikan karena ada perusahaan yang tidak membayar pajak, itu bukan sekadar urusan perusahaan, melainkan urusan seluruh negeri. Tempo mau memberi teladan bahwa demokrasi itu sesuatu yang sederhana. Bahwa dalam kenyataan demokrasi masih mahal, itu bukan kesalahan Tempo dan orang-orang yang berpikir sama. Itu semata-mata karena kesadaran tentang demokrasi belum tumbuh merata di tengah masyarakat--selain bahwa bosisme ekonomi-politik memang sering kali lebih kuat daripada hukum itu sendiri.
Lepas dari itu, bagaimanapun, demokrasi harus jadi milik semua. Demokrasi tidak boleh dicaplok oleh bos-bos pengisap atau membiarkan proliferasi "orang kuat" yang pada gilirannya mengisap semua lapisan masyarakat. Untuk itu perlu ada keberanian untuk membongkar jaringan bosisme dalam politik. Kita bisa memulainya dengan mengembalikan kedaulatan politik kepada rakyat, bukan kepada uang dan atau pemilik uang.
Sumber: Koran Tempo, 15 April 2008
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!