Headlines News :
Home » » Wakil Pusat di Daerah

Wakil Pusat di Daerah

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, April 15, 2008 | 2:33 PM


Pemilihan langsung kepala daerah atau pilkada sudah berlangsung sejak 1 Juni 2005. Ada banyak pelajaran yang dapat dipetik. Pertama, tidak semua incumbent terpilih kembali–seperti dalam kasus pemilihan Gubernur Jawa Barat, yang sementara memenangkan pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf. Kedua, pola koalisi antarpartai politik kabur-mabur. Ketiga, biaya atau ongkosnya begitu mahal. Keempat, belum muncul calon perseorangan, kecuali di tanah Aceh.

Apa sebetulnya yang mau diperebutkan oleh para kepala daerah itu? Tentu kue kekuasaan dan jabatan publik yang makin terbuka untuk siapa saja. Suami-istri bisa menjabat kepala daerah di daerah berbeda. Anak dan keponakan juga begitu. Kita saksikan bahwa yang tumbuh ke permukaan adalah pertarungan klan-klan lama penguasa politik dan ekonomi lokal. Mereka tentu berasal dari kelompok yang memiliki uang, massa, atau gabungan keduanya, ditambah dengan kemampuan menggelindingkan beragam isu yang menyebabkan mereka dipilih.

Berapa rata-rata biaya untuk mengongkosi kegiatan pilkada? Kalau di level calon gubernur dan wakil gubernur, bisa mencapai angka Rp 10 miliar lebih. Bahkan bisa juga mencapai angka puluhan dan ratusan miliar rupiah. Konon, angka itu sudah makin mendekati Rp 1 triliun untuk provinsi-provinsi kaya massa dan kaya sumber daya alam. Sungguh angka yang memukau jika dibandingkan dengan gaji seorang gubernur, bahkan gaji seorang presiden dan wakil presiden sekalipun. Tapi jangan lupa bahwa di balik semua pemakaian anggaran itu juga terselip kehendak untuk mengembalikannya lewat beragam cara pengelolaan pemerintahan.

Yang sungguh mengherankan adalah tanggapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla betapa pilkada berlangsung tidak efisien. Pilkada dan pemilu dianggap menjadi ajang pemborosan. Tunggu dulu! Dari aspek penyelenggaraan, pemborosan anggaran pilkada bisa ditekan dengan pengalokasian jumlah anggaran yang tepat dalam APBD dan APBN, apabila memang dibutuhkan. Pemborosan anggaran penyelenggaraan tidak mungkin terjadi apabila Presiden dan Wakil Presiden memberikan alokasi yang terbatas melalui Menteri Keuangan.

Juga, apabila lembaga-lembaga audit keuangan, seperti Badan Pemeriksa Keuangan, sampai pengawas penyimpangan keuangan, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, mampu menjalankan tugas dengan baik, upaya menarik keuntungan finansial setelah terpilihnya kepala daerah baru akan sulit dilakukan. Pertanyaannya, apakah fungsi pemerintah pusat itu sudah dijalankan dengan baik, ketimbang hanya mengeluhkan inefisiensi penyelenggaraan pilkada dan pemilu?

Memang menjadi tidak masuk akal ketika anggaran pilkada menjadi besar di daerah yang pendapatan asli daerahnya (PAD) kecil. Juga sama tidak masuk akalnya kalau di daerah kaya, tapi dengan penduduk terbatas, anggaran membengkak. Pasti ada yang tidak beres dari sisi logika anggaran. Namun, justru yang paling tidak bisa diterima adalah anggaran penyelenggaraan pemerintahan turut melambung tinggi, ketimbang alokasi anggaran publik, ketika kepala daerah baru sudah terpilih dan pemerintahan daerah menjalankan janji-janji kampanyenya.

Yang juga menjadi aneh adalah ketika banyak bupati atau wali kota mencalonkan diri menjadi calon gubernur dan wakil gubernur. Mengapa aneh? Gamawan Fauzi, Gubernur Sumatera Barat, sudah mengajukan kritik tentang terbatasnya fungsi gubernur. Kekuasaan yang dimiliki atau dikendalikan oleh bupati dan wali kota lebih nyata ketimbang gubernur. Kalau ada yang berbeda, gubernur adalah wakil pemerintah pusat yang ada di daerah. Menjadi gubernur adalah bagian dari pendekatan terhadap presiden. Setelah menteri di kabinet, presiden sering kali mengkoordinasi jalannya pemerintahan dengan gubernur, juga terkadang dengan bupati dan wali kota. Lihat saja bagaimana Yudhoyono pernah memimpin rapat penanganan banjir DKI Jakarta di Balai Kota DKI Jakarta.

Namun, mengapa orang masih banyak yang ingin menjadi gubernur? Tentu ada jawaban lain, yakni menjadi gubernur berarti selangkah lagi untuk menjadi menteri, minimal Menteri Dalam Negeri, seperti yang dipercayakan kepada Mardiyanto, mantan Gubernur Jawa Tengah. Selain itu, ada yang lebih menggiurkan, yakni menjadi gubernur adalah jalan pintas untuk mencalonkan diri menjadi presiden dan wakil presiden. Dua orang gubernur sudah mulai dijajaki untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden alternatif tahun 2009-2014, yakni Gubernur Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono ke-X dan Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad. Satu lagi, mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso.

Hanya, bagi orang awam, tentu menjadi pertanyaan, apa enaknya menjadi presiden atau menteri di zaman ini? Sebab, sulit sekali melakukan korupsi atau menumpuk kekayaan. Juga akan menjadi sorotan media massa secara terus-menerus. Kalau marah, disindir. Kalau diam saja, disuruh marah. Apabila kurang tidur, dianggap terlalu menunjukkan kerja keras. Sebaliknya, apabila tidur terus, balik diomeli.

Menjadi menteri dan presiden lebih merupakan pengabdian tinimbang upaya menumpuk kekayaan. Walau pengabdian itu juga bisa menoreh kekayaan bagi sebagian (besar) orang. Minimal, keluarga menjadi ikut-ikutan penting. Rumah mendapatkan penjagaan ketat. Ke mana-mana ditemani banyak pengikut. Maklum, orang penting. Lebih enak menjadi orang penting daripada tidak penting. Katanya begitu.

Pilkada dan pemilu setidaknya menunjukkan bahwa Indonesia tidak kekurangan calon pemimpin. Bahkan ada yang berkelahi dan berkonflik secara terbuka untuk menunjukkan itu. Keabsahan yang terpilih diganggu-gugat, sementara yang gagal terpilih ditahbiskan sebagai pecundang. Sementara itu, rakyat, lagi-lagi, sibuk menuai masalahnya sendiri, hari demi hari, di tengah begitu banyak poster, spanduk, dan iklan mendayu di layar televisi.

Lalu, apakah kita jenuh dengan pilkada dan pemilu? Sepertinya belum. Tapi pasti akan. Mengapa? Kalau tidak ada perbaikan yang signifikan dari tingkat penyelenggaraan pemerintahan, rakyat akan kembali berpaling. Jadi, jangan lemparkan kesalahan kepada penyelenggaraan pilkada atau pemilunya, melainkan kepada jalannya pemerintahan yang terpilih. Proses pilkada hanya sekitar enam bulan, sementara mereka bekerja untuk lima tahun setelah terpilih. Waktu lima-tahun itulah yang harus diisi dengan prestasi, bukan dengan korupsi, apalagi dengan hanya sekadar berpuisi dan bernyanyi. Pilkada dan pemilu bukan sebuah kesalahan. Itu hanya proses. Memang tidak sempurna, tapi jauh lebih baik dari sekadar penunjukan.

Indra J Piliang
Analis Politik dan Perubahan Sosial CSIS Jakarta
Sumber: KORAN TEMPO, 15 April 2008
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger