Oleh Franz Magnis-Suseno
Guru Besar Emeritus STF Driyarkara
SEPULUH tahun
lalu harian Kompas memuat tulisan
saya dengan judul seperti di atas. Waktu itu, Pemerintah DKI mau menutup
beberapa jalan penting bagi sepeda motor, tetapi kemudian tidak jadi.
Namun, sekarang
lagi-lagi ada omongan bahwa jalan seperti Rasuna Said dan Sudirman mau total
ditutup untuk sepeda motor pada hari kerja. Benarkah?
Di sini saya hanya
bisa mengulang yang saya tulis sepuluh tahun lalu: kalau itu terjadi, itu tak
kurang perang terbuka kelas priayi, para pemilik Indonesia, terhadap orang
kecil.
Betul, kami para
pemakai kendaraan beroda dua pantas ditegur. Motor memang paling tak disiplin.
Lampu merah, kaki lima, jalan satu arah, jarak yang aman, sopan santun
perhatian biasa terhadap sesama pemakai jalan, belum lagi manuver-manuver
berani ala Valentino Rossi (kadang-kadang satu keluarga lengkap): tak ada yang
tidak dicuekkan. Maka, kalau peraturan yang sudah berlaku mau dilaksanakan
dengan lebih tegas, dengan hukuman atas pelanggaran efektif lebih keras, akan
dimengerti dan diterima.
Namun, menutup
jalan penting yang setiap hari diperlukan untuk ke tempat kerja atau melakukan
tugas, itu lain perkara. Katanya, supaya masyarakat jadi biasa memakai angkutan
umum. Tetapi, angkutan umum harus direalisasikan dulu, baru bisa ditawarkan.
Coba berapa waktu saya butuhkan dari Jembatan Serong di Jalan Percetakan Negara
menuju Dikti di Senayan kalau harus pakai kendaraan umum?
Lagi pula, yang
bikin macet jelas bukan sepeda motor. Kalau semua pemakai sedan ganti memakai
motor, tak akan ada kemacetan. Lihat saja Jalan Gatot Subroto, foto-foto
kemacetannya: yang bikin macet mobil. Jalan yang sudah tertutup bagi motor
tetap macet. Dikatakan bahwa sepeda motor paling banyak menjadi korban kecelakaan.
Perhatian itu
mengharukan, tetapi munafik. Kalau jutaan orang setiap hari pagi-sore
dipersulit memakai motor, jauh lebih banyak orang akan sakit paru-paru dan
saraf daripada yang ketabrak. Biar saja rakyat sendiri memutuskan apa mau
mengambil risiko ketabrak daripada sakit menunggu kendaraan umum atau
putar-putar di jalan tikus.
Kebebasan,
perjuangan
Saya ulangi yang
saya tulis sepuluh tahun lalu: Apakah Anda pernah mencoba memahami apa arti
sepeda motor bagi rakyat biasa? Sepeda motor merupakan salah satu barang paling
berharga dan bermanfaat bagi pemilik dan keluarganya. Para pemilik sepeda motor
rata-rata orang-orang paling produktif di DKI, para pekerja keras dalam segala
macam usaha dan kantoran.
Sepeda motor bagi
mereka membuka jendela sebuah kebebasan baru: bebas dari keharusan berada
selama empat jam per hari dalam bus dan angkot yang jorok dan tak aman. Bebas
dari biaya mencekik pemakaian angkutan umum. Bebas untuk cepat ke tempat yang
perlu. Dan, bebas untuk pada waktu di luar kerja membawa keluarga, misalnya, ke
tempat rekreasi secara murah.
Lagi pula, sepeda
motor bagi mereka hasil sebuah perjuangan. Mereka tidak mengiri pada pemakai
sedan yang ber-AC dan dikemudikan oleh sopir. Tetapi, mereka mengharapkan agar
hasil perjuangan mereka yang begitu berarti, ya kebebasan baru kepemilikan
sepeda motor, diakui juga. Lalu, saya mau bertanya: tersediakah sekarang,
September 2017, angkutan umum untuk mengangkut jutaan warga yang sekarang
memakai motor?
Sekali lagi:
melarang lima juta lebih pemakai sepeda motor menggunakan poros-poros utama
lalu lintas di DKI tak kurang merupakan pernyataan perang terhadap
masyarakatnya yang sederhana. Ora ilok mereka yang enak-enak duduk dalam mobil
bikin hidup orang kecil betul-betul menderita (miserable). Sebuah catatan: yang
akan dipersalahkan sebagai anti rakyat sudah pasti pemerintah. Sudah
dipertimbangkan?
Sumber: Kompas, 6 September 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!