Oleh W Wempy Hadir
Direktur Eksekutif Indopolling Network,
Jakarta
DINAMIKA politik menjelang pilkada di Indonesia selalu mengalami
fluktuasi. Hal ini terjadi sejalan dengan momentum pemilihan kepala daerah
(pilkada) yang digelar serentak pada beberapa wilayah di Indonesia. Misal pada
2017, terdapat 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten yang melakukan pilkada.
Dalam pelaksanaan pilkada terdapat berbagai tantangan sekaligus hambatan yang
terjadi. Sebut saja persoalan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) masih
menjadi isu yang empuk untuk digunakan mendulang dukungan publik. Akibatnya,
rakyat mengalami fragmentasi secara politik. Hal itu menjadi tantangan bagi
kita dalam membangun demokrasi yang rasional sehingga melahirkan pemimpin
daerah yang berkualitas dan inklusif.
Instrumentalisasi
SARA dalam pilkada bukan isu baru, bahkan di negara maju sekalipun, SARA
menjadi primadona dalam menggalang dukungan publik. Kita mengambil contoh dalam
pemilihan presiden AS beberapa waktu lalu. Setiap capres mencoba membangun
sentimen suku dan agama dalam menggalang dukungan publik. Artinya menghilangkan
sentimen SARA dalam sebuah kontestasi politik tidak mudah. Butuh kerja sama
elite dan elemen lainnya. Lalu bagaimana peran parpol membangun demokrasi yang
rasional?
Demokrasi dan
pendidikan ibarat sebuah koin yang kedua sisinya tidak bisa dipisahkan karena
saling melengkapi. Demokrasi tanpa pendidikan bisa melahirkan demokrasi
prosedural semata. Hal itu mengandaikan adanya kontestasi tanpa memikirkan
kualitas kontestasi itu. Dengan demikian, tidak mengherankan ketika pemilihan
menghasilkan pemimpin yang tidak mampu menerjemahkan program kerja dalam sebuah
kertas kerja konkret alias bisa diimplementasikan.
Demokrasi dengan
tingkat pendidikan yang baik tentu bisa menciptakan demokrasi rasional. Hal itu
ditandai adanya dialog atau diskursus atas kebijakan publik yang diusung
berbagai calon kepala daerah dalam setiap kontestasi. Dialog itu sangat penting
sehingga ada pertukaran informasi. Dialog juga mendorong masyarakat bisa
memberikan penilaian apakah program yang disampaikan calon kepala daerah itu
masuk akal. Masyarakat yang bernalar tentu bisa membedakan.
Oleh sebab itu,
momentum pilkada serentak pada 2018 yang akan diikuti 17 provinsi, 39 kota, dan
115 kabupaten harus menjadi kesempatan membangun demokrasi yang rasional tanpa
menggunakan sentimen SARA. Jika masih menggunakan sentimen SARA, akan terjadi
polarisasi dalam kehidupan masyarakat.
Polarisasi itu
tidak memberikan vitamin positif bagi kehidupan masyarakat, tetapi menjadi
masalah baru dalam membangun demokrasi yang sehat. Sudah saatnya calon kepala
daerah mengajukan gagasan yang brilian kepada publik. Jika publik berpikir
gagasan calon masuk akal, pikiran itu akan terkonfirmasi melalui dukungan.
Demikian sebaliknya, jika program yang diusung tidak masuk di akal, tentu tidak
mendapatkan dukungan signifikan.
Demokrasi yang
rasional mengindikasikan demokrasi yang mengedepankan pertarungan gagasan
terbaik untuk membangun sebuah daerah. Dengan demikian, pemimpin yang terpilih
ialah pemimpin yang betul-betul berdasarkan sebuah proses rasional dan mampu
mempertanggungjawabkan semua program dalam bentuk implementasi yang nyata. Lalu
bagaimana dengan peran parpol?
Peran parpol
Secara kuantitatif,
parpol di Indonesia tumbuh subur dari waktu ke waktu. Pertumbuhan parpol ini
secara matematis memberikan kemudahan dalam melakukan pendidikan politik bagi
masyarakat. Pendidikan politik bagi masyarakat merupakan salah satu fungsi yang
melekat dalam diri setiap parpol. Kalau semua parpol menjalankan fungsi mereka,
negara ini menuju ke negara yang matang secara politik.
Namun,
pertanyaannya, apakah parpol sudah menjalankan fungsi pendidikan politiknya?
Menurut pendapat saya, parpol perlu berbenah diri. Tidak sekadar hadir saat
kontestasi politik. Parpol mesti melakukan fungsi pendidikan politik sehingga
mampu mengusung kader yang matang.
Fakta yang terjadi
saat ini, parpol pada titik tertentu mengalami krisis kader. Pada gilirannya
mereka mendukung kader yang bukan dididik secara baik dalam partai itu, tetapi
mengambil kader di luar parpol. Karena itu, konsekuensinya, kader yang bukan
lahir dan berproses dalam parpol akan mengalami kesulitan menjalankan
kekuasaan. Kesulitan yang dimaksud ialah adanya perbedaan pandangan dalam membangun
sebuah daerah. Oleh karena itu, parpol mesti intens melakukan pendidikan
politik jika tidak ingin kehilangan dari radar konstetasi politik di setiap
tingkatan baik pilkada, pileg, maupun pilpres.
Pendidikan politik
menjadi roh penting dalam membangun demokrasi sehat dan rasional. Coba
dibayangkan saja, kalau parpol tidak melakukan pendidikan politik, yang terjadi
ialah lahirnya pemimpin yang tidak matang secara politik dan ideologi, dan bisa
membawa dampak buruk dalam membuat kebijakan publik.
Parpol sebagai
lembaga inklusif mesti menjadi garda terdepan memastikan kontestasi dalam
pilkada mengedepankan nalar dan logika rasional daripada menggunakan sentimen
SARA yang hanya membawa dampak polarisasi dalam masyarakat. Kita tidak ingin
ada fragmentasi politik dalam masyarakat. Apalagi, dalam waktu bersamaan kita
akan menghadapi pemilihan legislatif dan pemilihan presiden pada 2019 yang akan
datang.
Sumber: Media Indonesia, 8 November 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!