Headlines News :
Home » » Hidupkan Emosi Prososial

Hidupkan Emosi Prososial

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, November 09, 2017 | 10:45 AM

Oleh Boni Hargens
Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI)

JAUH hari, Carl Jung (1938), psikiatris sekaligus psikoanalis Swiss, sudah menegaskan, tak ada transformasi dari gelap ke terang dan dari apati ke gerakan tanpa adanya emosi. Perubahan menuntut emosi prososial untuk terlibat dalam aktivitas komunal untuk kemaslahatan umum.

Dewasa ini, kebohongan menjadi marak hadir bersama kemajuan teknologi internet. Proliferasi berita palsu hadir menimbulkan gempa sosial. Sejak 2016, kita dikejutkan dengan gosip Partai Komunis Indonesia (PKI) hidup lagi. Ketika pemerintah merespons gejolak radikal dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas, sebagian kalangan protes dan menuduh itu senjata anti-Islam.

Di titik lain, ada yang memainkan diksi "pribumi" untuk keuntungan politik. Mengapa orang mudah menyukai ketidakbenaran? Tentang ini, jurnalis sekaligus filsuf Sam Kriss (2016) memberi penalaran bagus: kekuasaan (politik) mendesak kita memikirkan sesuatu yang tak ada, yang tak benar, tetapi dipaksakan seolah-olah benar. Sesungguhnya, politik mendesak orang menginginkan ketidakbenaran.

Ketidakbenaran telah membentuk masyarakat baru. Ahli sosial menyebutnya post-truth society, yang saya terjemahkan sebagai "masyarakat pasca-fakta". Sulit untuk menyebutnya "masyarakat pasca-kebenaran" sebagaimana terjemahan leksikal.

Postulat kebenaran (truth) dalam istilah post-truth mengacu pada konstruksi berpikir strukturalis-positivis yang menganggap kebenaran itu tunggal, yang pada titik ekstrem menjadi metanarasi yang hegemonik, dengan ukuran seragam dan universal. Kebenaran seperti ini memperoleh penguatan dalam masyarakat liberal yang menekankan angka dan pencapaian ketimbang makna dan proses.

Di level praktis, orang lalu berpikir dengan enteng bahwa popularitas paralel dengan kualitas kepemimpinan. Industri survei subur dalam kontinum berpikir ini sebagai model pemasaran politik kekinian. Fatalnya, kalau hasil survei rendah, sebagian kandidat berlomba membayar lembaga abal-abal untuk membangun citra yang semu. Meski abstrak, permainan seperti ini selalu memperoleh ruang dalam pemberitaan media, terutama media daring dan sosial.

Dalam bingkai konstruksi "kebenaran" tadi, tak sedikit orang terkecoh. Mereka berpikir, post-truth society selalu bermakna negatif karena ditafsir lurus sebagai masyarakat hoaks, kampanye hitam, dan proliferasi kebohongan. Padahal, masyarakat pasca-fakta itu antitesis yang lahir dari rahim demokrasi liberal.

Paradoks kebebasan

Kebebasan yang jadi dalil pokok demokrasi liberal telah menjadi virus yang membunuh demokrasi dari dalam. Kebebasan jadi keleluasaan yang menembus batas. Kehadiran internet membuat kebebasan tak lagi dikungkung struktur kekuasaan tradisional, termasuk oleh agensi moral konvensional (seperti agama, budaya, dan tradisi). Kebebasan membentuk masyarakat pasca-fakta, ditandai menguatnya emosi, sentimen subyektif, dan pandangan parsial dalam membentuk wacana (discoursing).

Ini yang dilupakan Fukuyama (1992) ketika menulis "demokrasi sebagai akhir sejarah". Bahwa, dalam diri demokrasi sebetulnya terkandung potensi bunuh diri yang alamiah. Atas nama kebebasan, orang berselancar di dunia maya sambil menabur kebencian dan kebohongan, apalagi menjelang pilkada/pilpres, tanpa perlu bukti dan sanggahan empirik.

Jujur saja, fitnah dan berita palsu sebagian merupakan efek lanjutan dari kekecewaan pasca-pemilu atau upaya memenangi pemilu berikutnya. Seperti digarisbawahi Ralph Keyes (2004) dengan lugas, fenomena post-truth disebabkan relativisme moral di kalangan politisi-yang diperkuat oleh kebangkitan internet, individualisme impulsif, dan narsisisme baby boomer dalam generasi sosiopat.

Meski demikian, fenomena ini tak selalu buruk. Sebagian emosi dan pandangan bebas yang berkembang lewat internet mensinyalir perlawanan terhadap hegemoni kebenaran yang dalam banyak konteks dikuasai rezim terbatas yang cenderung bersetubuh dengan kekuasaan (politik). Di ranah mondial, hegemoni negara-negara raksasa sering kontraproduksi sehingga tak heran terorisme menjadi perang global. Di ranah lokal, kebenaran dimonopoli agensi kekuasaan (sosial, kultural, dan politik) dalam rupa oligarki, kartel, dan sejenisnya.

Persis ini keresahan Michel Foucault (1926-1984) ketika mengatakan kekuasaan dan pengetahuan bagai dua sisi dari satu koin. Tak semua yang dianggap benar merupakan refleksi dari kenyataan. Sebagian "kebenaran" dibentuk kekuasaan sehingga pada suatu titik dialektis muncul gugatan. Narasi PKI adalah contoh kebenaran yang dibentuk kekuasaan pada masanya. Karena itu, usulan Presiden Joko Widodo membuat film baru G30S/PKI sebentuk upaya memisahkan substrat kekuasaan dari rancangan sejarah. Tujuannya jelas: menghadirkan kebenaran dalam perspektif kekinian yang di dalamnya korban dan pelaku diperlakukan secara proporsional.

"Quo Vadimus"?

Ketika disrupsi sosial dan rantai kebohongan membelit masyarakat dalam lingkaran setan, lantas kita ke mana? Quo vadimus? Menghidupkan emosi prososial adalah jalan keluar. Sebab, perang melawan kebohongan butuh kepedulian sosial. Pada level akar rumput, tiap orang, secara pribadi dan kelompok dituntut untuk berpikir dan peduli pada kepentingan orang lain dan bersama. Kepedulian sosial membatasi peluang kehancuran basis-basis moral sosial.

Pada level elite, emosi prososial menuntut rezim kebenaran untuk (1) memproduksi kebenaran faktual dan menegasi muatan kekuasaan dalam postulasi kebenaran, (2) mencari cara kontekstual untuk mempromosi kebenaran di tengah kepalsuan pandemik, dan (3) memperkuat struktur moral untuk melawan kepalsuan dan desepsi.

Yang dituntut adalah teladan dukungan agensi politik, otoritas sosial, termasuk media massa, dan rezim budaya untuk menjaga daya magisnya sebagai agensi kebenaran. Publik perlu bukti bahwa (1) institusi politik memang dibentuk untuk kemaslahatan umum, (2) agensi sosial-budaya adalah benteng moral yang menjaga harmoni dalam koeksistensi demokratis multikultural. 
Sumber: Kompas, 9 November 2017
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger