Oleh
Boni Hargens
Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI)
JAUH hari, Carl Jung
(1938), psikiatris sekaligus psikoanalis Swiss, sudah menegaskan, tak ada
transformasi dari gelap ke terang dan dari apati ke gerakan tanpa adanya emosi.
Perubahan menuntut emosi prososial untuk terlibat dalam aktivitas komunal untuk
kemaslahatan umum.
Dewasa ini, kebohongan
menjadi marak hadir bersama kemajuan teknologi internet. Proliferasi berita
palsu hadir menimbulkan gempa sosial. Sejak 2016, kita dikejutkan dengan gosip
Partai Komunis Indonesia (PKI) hidup lagi. Ketika pemerintah merespons gejolak
radikal dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas, sebagian kalangan protes dan menuduh
itu senjata anti-Islam.
Di titik lain, ada yang
memainkan diksi "pribumi" untuk keuntungan politik. Mengapa orang
mudah menyukai ketidakbenaran? Tentang ini, jurnalis sekaligus filsuf Sam Kriss
(2016) memberi penalaran bagus: kekuasaan (politik) mendesak kita memikirkan
sesuatu yang tak ada, yang tak benar, tetapi dipaksakan seolah-olah benar.
Sesungguhnya, politik mendesak orang menginginkan ketidakbenaran.
Ketidakbenaran telah
membentuk masyarakat baru. Ahli sosial menyebutnya post-truth society, yang saya
terjemahkan sebagai "masyarakat pasca-fakta". Sulit untuk menyebutnya
"masyarakat pasca-kebenaran" sebagaimana terjemahan leksikal.
Postulat kebenaran (truth)
dalam istilah post-truth mengacu pada konstruksi berpikir strukturalis-positivis
yang menganggap kebenaran itu tunggal, yang pada titik ekstrem menjadi
metanarasi yang hegemonik, dengan ukuran seragam dan universal. Kebenaran
seperti ini memperoleh penguatan dalam masyarakat liberal yang menekankan angka
dan pencapaian ketimbang makna dan proses.
Di level praktis, orang lalu
berpikir dengan enteng bahwa popularitas paralel dengan kualitas kepemimpinan.
Industri survei subur dalam kontinum berpikir ini sebagai model pemasaran
politik kekinian. Fatalnya, kalau hasil survei rendah, sebagian kandidat
berlomba membayar lembaga abal-abal untuk membangun citra yang semu. Meski
abstrak, permainan seperti ini selalu memperoleh ruang dalam pemberitaan media,
terutama media daring dan sosial.
Dalam bingkai konstruksi
"kebenaran" tadi, tak sedikit orang terkecoh. Mereka berpikir,
post-truth society selalu bermakna negatif karena ditafsir lurus sebagai
masyarakat hoaks, kampanye hitam, dan proliferasi kebohongan. Padahal,
masyarakat pasca-fakta itu antitesis yang lahir dari rahim demokrasi liberal.
Paradoks kebebasan
Kebebasan yang jadi dalil
pokok demokrasi liberal telah menjadi virus yang membunuh demokrasi dari dalam.
Kebebasan jadi keleluasaan yang menembus batas. Kehadiran internet membuat
kebebasan tak lagi dikungkung struktur kekuasaan tradisional, termasuk oleh
agensi moral konvensional (seperti agama, budaya, dan tradisi). Kebebasan
membentuk masyarakat pasca-fakta, ditandai menguatnya emosi, sentimen
subyektif, dan pandangan parsial dalam membentuk wacana (discoursing).
Ini yang dilupakan Fukuyama
(1992) ketika menulis "demokrasi sebagai akhir sejarah". Bahwa, dalam
diri demokrasi sebetulnya terkandung potensi bunuh diri yang alamiah. Atas nama
kebebasan, orang berselancar di dunia maya sambil menabur kebencian dan
kebohongan, apalagi menjelang pilkada/pilpres, tanpa perlu bukti dan sanggahan
empirik.
Jujur saja, fitnah dan
berita palsu sebagian merupakan efek lanjutan dari kekecewaan pasca-pemilu atau
upaya memenangi pemilu berikutnya. Seperti digarisbawahi Ralph Keyes (2004)
dengan lugas, fenomena post-truth disebabkan relativisme moral di kalangan
politisi-yang diperkuat oleh kebangkitan internet, individualisme impulsif, dan
narsisisme baby boomer dalam generasi sosiopat.
Meski demikian, fenomena ini
tak selalu buruk. Sebagian emosi dan pandangan bebas yang berkembang lewat
internet mensinyalir perlawanan terhadap hegemoni kebenaran yang dalam banyak
konteks dikuasai rezim terbatas yang cenderung bersetubuh dengan kekuasaan
(politik). Di ranah mondial, hegemoni negara-negara raksasa sering
kontraproduksi sehingga tak heran terorisme menjadi perang global. Di ranah
lokal, kebenaran dimonopoli agensi kekuasaan (sosial, kultural, dan politik)
dalam rupa oligarki, kartel, dan sejenisnya.
Persis ini keresahan Michel
Foucault (1926-1984) ketika mengatakan kekuasaan dan pengetahuan bagai dua sisi
dari satu koin. Tak semua yang dianggap benar merupakan refleksi dari
kenyataan. Sebagian "kebenaran" dibentuk kekuasaan sehingga pada
suatu titik dialektis muncul gugatan. Narasi PKI adalah contoh kebenaran yang
dibentuk kekuasaan pada masanya. Karena itu, usulan Presiden Joko Widodo
membuat film baru G30S/PKI sebentuk upaya memisahkan substrat kekuasaan dari
rancangan sejarah. Tujuannya jelas: menghadirkan kebenaran dalam perspektif
kekinian yang di dalamnya korban dan pelaku diperlakukan secara proporsional.
"Quo Vadimus"?
Ketika disrupsi sosial dan
rantai kebohongan membelit masyarakat dalam lingkaran setan, lantas kita ke
mana? Quo vadimus? Menghidupkan emosi prososial adalah jalan keluar. Sebab,
perang melawan kebohongan butuh kepedulian sosial. Pada level akar rumput, tiap
orang, secara pribadi dan kelompok dituntut untuk berpikir dan peduli pada
kepentingan orang lain dan bersama. Kepedulian sosial membatasi peluang
kehancuran basis-basis moral sosial.
Pada level elite, emosi
prososial menuntut rezim kebenaran untuk (1) memproduksi kebenaran faktual dan
menegasi muatan kekuasaan dalam postulasi kebenaran, (2) mencari cara
kontekstual untuk mempromosi kebenaran di tengah kepalsuan pandemik, dan (3)
memperkuat struktur moral untuk melawan kepalsuan dan desepsi.
Yang dituntut adalah teladan
dukungan agensi politik, otoritas sosial, termasuk media massa, dan rezim
budaya untuk menjaga daya magisnya sebagai agensi kebenaran. Publik perlu bukti
bahwa (1) institusi politik memang dibentuk untuk kemaslahatan umum, (2) agensi
sosial-budaya adalah benteng moral yang menjaga harmoni dalam koeksistensi
demokratis multikultural.
Sumber: Kompas, 9 November 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!