Oleh
Haryatmoko
Pengajar Universitas Sanata Dharma &
FIB Universitas Indonesia
FENOMENA hoaks yang
masif menyebar mengentak akal sehat masyarakat dan dunia politik. Di satu sisi,
banyak orang skeptis terhadap kredibilitas media massa. Namun, di sisi lain,
hoaks menunjukkan, masyarakat justru mudah percaya pada beragam informasi media
sosial.
Masyarakat
dikondisikan untuk mengabaikan verifikasi kebenaran. Kredibilitas berita,
pesan, atau opini sering sudah tidak dipertanyakan lagi. Kebohongan menyelinap
masuk melalui kebingungan orang dalam membedakan antara berita, opini, fakta,
dan analisis. Akibatnya, di dalam masyarakat Indonesia yang sudah terpolarisasi
oleh ideologi, ketegangan dan konflik semakin mudah dipicu.
Parahnya, hoaks
semakin menyuburkan polarisasi masyarakat karena meneguhkan keyakinan setiap
kelompok. Setiap kelompok cenderung menolak penalaran yang berbeda meski masuk
akal atau obyektif. Kebohongan menyuburkan ideologi. Masalahnya, kebohongan
bukan hanya bentuk mekanisme pertahanan diri, melainkan dirancang, diciptakan,
dikembangkan, dan direkayasa ke dalam wacana publik. Kebohongan jadi bagian
dari serangan strategis terkoordinasi yang dimaksudkan untuk menyembunyikan
kebenaran, mengacaukan publik dengan menciptakan pertentangan yang awalnya tak
ada. Tujuannya, menghentikan kemajuan dalam kehidupan bersama demi kekuasaan.
Mengapa kebohongan
memikat? Karena pembohong, menurut Arendt, berbicara/menalar dengan mengikuti
logika dan harapan yang dibohongi (1979). Tesis Arendt ini mirip logika hoaks
yang mau memuaskan keyakinan audiensnya. Hoaks adalah anak kandung era post-truth.
Era post-truth, menurut JA Llorente,
merupakan iklim sosial-politik di mana obyektivitas dan rasionalitas membiarkan
emosi atau hasrat memihak ke keyakinan meskipun sebetulnya fakta menunjukkan
hal yang berbeda (2017: 9). Post-truth
lebih tepat disebut lawan kata dari fact-checking:
relativisasi kebenaran berhadapan obyektivitas data. Lalu terjadi banalisasi
data karena adanya supremasi wacana emosional (JA Zarzalejos, 2006).
Kebaruan
"post-truth"
Era post-truth mendapat momentumnya karena
massa jenuh dan membenci limpahan pesan dan rayuan: semua berujung meminta
untuk membeli, mengonsumsi, memilih, memberi pendapat, atau ambil bagian di
kehidupan sosial. Ada tiga kondisi era post-truth
yang disambut hangat masyarakat: (1) ada devaluasi kebenaran sebagai dampak
dari narasi politisi penebar demagogi, (2) banyak orang atau kelompok merasa
nyaman dengan informasi yang telah dipilih, dan (3) media menekankan sensasi
sehingga seakan hanya yang spektakuler atau sensasional layak disebut worth news. Kecenderungan ini
menyuburkan perkembangan hoaks.
Membanjirnya hoaks
membuat masyarakat tak sempat lagi atau malas, bahkan menolak, untuk memverifikasi
fakta. Hoaks mengukir karier gemilangnya melalui keberhasilan membungkam
pemikiran kritis. Meluasnya fenomena hoaks yang melemahkan obyektivitas dan
kredibilitas informasi tak bisa dilepaskan dari cara-cara baru mengakses ke
opini publik berkat berkembangnya media alternatif: WhatsApp, Facebook, blog
pribadi, SnapChat, Twitter, dan Youtube. Media sosial ini memudahkan berita palsu menyebar.
Kredibilitas media pudar, kalah dari opini pribadi. Fakta jadi nomor dua, kalah
dari keyakinan pribadi. Era post-truth
mengutamakan bagaimana melihat dan membaca versi fakta yang lebih dekat dengan
ideologi masing-masing. Lalu apa kebaruannya dibandingkan kebohongan yang sejak
dulu sudah dipraktikkan dalam politik?
Ada lima kebaruan
yang menandai era post-truth: (1)
luasnya akses ke konten informasi berkat digitalisasi komunikasi, (2)
masyarakat bisa membuat informasi sendiri melalui medsos berkat demokratisasi
media dan jurnalisme warga, (3) masyarakat lebih rentan menerima informasi yang
keliru karena berkembang komunitas-komunitas seideologi, (4) teknologi telah
merancukan kebenaran karena viral dianggap lebih penting daripada kualitas
informasi dan etika, dan (5) kebenaran tidak perlu lagi difalsifikasi atau
dibantah, tetapi kebenaran menjadi nomor dua. Kelima kebaruan itu memberi
peluang politisi yang haus kekuasaan untuk merekayasa agar prasangka negatif
kelompok-kelompok masyarakat diintensifkan melalui manipulasi emosi mereka.
Bangkitkan
permusuhan
Semua gerakan
politik yang mau mendiskreditkan lawannya berusaha menggunakan unsur-unsur yang
lebih sentimental/emosional. Tujuannya, untuk menciptakan dan membakar emosi
massa. Upaya seperti ini menjadi bagian dari populisme: persuasi emosional
lebih efektif daripada kriteria rasionalitas.
Populisme piawai
menggunakan demagogi karena inti komunikasinya membidik pengaruh melalui
manipulasi. Demagog disebut politikus yang meminjamkan suaranya kepada rakyat.
Maka, dia sangat piawai menyesuaikan diri dengan situasi emosi rakyat sampai
mampu menampilkan wajah sebanyak kategori sosial rakyatnya. Demagog mudah
mengaduk-aduk emosi massa. Bagi seorang demagog, merayu berarti mati sebagai
realitas untuk menghasilkan tipu daya (Bellenger).
Manipulasi menyusup
di celah-celah antara nilai, gagasan, dan opini sehingga ketiganya sulit
dibedakan untuk akhirnya diterima sebagai fakta. Bentuk disinformasi ini mau
menyentuh emosi masyarakat agar mudah membungkam pikiran kritis. Tujuannya:
membangkitkan ketegangan dan permusuhan untuk mobilisasi massa. Jadi,
disinformasi ini menjadi instrumen persuasi yang membidik empat hal: (1) bentuk
rekayasa informasi agar orang bingung dalam menafsirkan realitas, (2) manajemen
taktik konspirasi dengan membangkitkan kecurigaan dan permusuhan di antara
kelompok-kelompok masyarakat, (3) menciptakan mitos-mitos politik, dan (4) self-fulfilling prophecy: pembenaran
argumen politikus yang dikemas seperti ramalan, padahal sebetulnya peramal
sekaligus algojonya.
Menipu tanpa merasa
salah
Menipu tak lagi
menimbulkan rasa salah karena tipuan dianggap sebagai versi lain
semi-kebenaran. Mengapa bisa tak merasa bersalah? Kebanyakan orang sibuk dengan
apa yang dipikirkan orang lain tentang dirinya sehingga apa pun bisa dilakukan
demi citra baik di mata orang lain. Menipu jadi hal yang biasa di seluruh
tingkat kehidupan (R Keyes, 2004: 3-5). Tuntutan pencitraan diri itu yang
mendorong orang mudah berbohong.
Memilih mana yang
mau dikatakan seakan hanyalah masalah mana yang lebih nyaman, bukan lagi
terbebani tanggung jawab moral. Semua dilakukan demi citra diri di mata orang
lain, terutama kelompoknya. Kecenderungan berbohong menunjukkan, dalam hal
politik dan moral, manusia pada dasarnya lebih groupish daripada selfish
(Haidt, 2012: 97, 203). Orang lebih memberi perhatian kepada kelompoknya.
Kecenderungan berpihak kepada kelompoknya ini menjelaskan dari mana datangnya
fanatisme kelompok.
Haidt menunjuk
empat penyebab fanatisme kelompok: (1) insting sosial mendorong orang yang
merasa kuat dekat dengan kelompok, (2) berlakunya hukum kesalingan, yaitu yang
mudah menolong cepat mendapat pertolongan, (3) memuji dan menyalahkan jadi
faktor penting dalam membentuk ikatan kelompok karena seleksi kelompok
ditentukan berdasarkan keberhasilan upaya menekan selfishness (Haidt, 2012: 206-207), dan (4) pengaruh oksitosin,
hormon neurotransmiter yang dihasilkan hipotalamus, untuk mendorong mencintai
anggota kelompoknya dan membenci bukan kelompoknya. Menurut Haidt, hormon ini
akan muncul pada saat situasi intim berkat hubungan dekat dan berani
terluka/mati ketika menghadapi musuh (Haidt, 2012: 247). Berbohong juga dipakai
untuk melindungi kelompok.
Kebohongan memecah
belah kelompok-kelompok masyarakat dan melemahkan budaya politik sehingga
konsensus ideologis menjadi tidak mungkin. Warga negara biasa, bahkan intelektual,
tidak mampu melawan kebohongan yang terorganisasi rapi. Akademisi direkrut
manipulasi media mampu menciptakan situasi di mana kebenaran menjadi tidak
relevan lagi.
Sumber: Kompas, 15 November 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!