Oleh Ahmad Najib Burhani
Wakil Ketua
Majelis Pustaka PP Muhammadiyah;
Peneliti Senior LIPI
PADA kuliah umumnya di S
Rajaratnam School of International Studies Nanyang Technological University,
Singapura, 26 Oktober 2017, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar
Nashir menegaskan alasan Muhammadiyah mengusung slogan "Islam
Berkemajuan". Menurut dia, Islam yang ramah, toleran, dan damai sudah
menjadi jiwa Muhammadiyah sejak lama.
Itu sudah
dipraktikkan dalam gerakan ini sejak dahulu. Yang justru menjadi pertanyaan
adalah apa yang perlu dilakukan selanjutnya?
Apa yang
dirancang Muhammadiyah dalam konteks ini adalah menunjukkan Islam yangmaju
dengan membangun berbagai pusat keunggulan dan terus menjadi "tangan di
atas, bukan "tangan di bawah". Inilah cara mengurangi rasa takut,
minder, mudah menyalahkan orang lain, memusuhi mereka yang berbeda,
dan inferiority complex yang kerap diidap oleh sebagian masyarakat Muslim.
Meminjam pepatah China, "Luohou Jiuyao Aida" (keterbelakangan itu
yang menyebabkan dikalahkan orang lain).
Sebagian umat
Islam menganggap agama lain atau kelompok etnis lain sebagai ancaman. Ini di
antaranya karena kondisi mereka yang lemah. Mereka memang mayoritas dari segi
jumlah, tetapi minoritas dari segi ekonomi. Ketika mereka termarjinalisasi,
baik secara nyata maupun imajinasi belaka, dan agama adalah satu-satunya
senjata yang dimiliki, maka tak ada alat lain yang bisa dipakai untuk melawan
selain dengan agama.
Ketika terjadi
persaingan politik, agama digunakan sedemikian rupa untuk bisa menang dalam
perebutan kekuasaan. Muhammadiyah meyakini langkah untuk mengatasi penyakit
umat Islam ini adalah dengan membuat mereka maju, menawarkan Islam Berkemajuan.
Memang, saat
ini gerak dan langkah dari Islam Berkemajuan masih lamban, bahkan terengah-engah. Terlalu banyak beban harus dipikul. Beban dari internal Muhammadiyah
ataupun beban dari luar, baik yang sifatnya nasional maupun yang berupa
tantangan dan ancaman global.
Paradigma lama
Di dalam
Muhammadiyah, beberapa anggotanya dan juga sebagian pengurusnya sulit diajak
berpikir dengan semangat berkemajuan atau progresif. Mereka masih berkutat
dengan paradigma lama tentang TBC (takhayul, bidah, danchurafat), berpikir
eksklusif, dan bahkan cenderung sektarian. Meminjam istilah Mitsuo Nakamura
(2017), peneliti Jepang yang sudah puluhan tahun mengkaji gerakan ini, sebagian
warga Muhammadiyah kurang peduli terhadap persoalan common good atau kemaslahatan
bersama sebagai bangsa.
Belum lagi
dengan tarikan konservatisme yang secara mesra berpasangan dengan kapitalisme
dan berusaha mengelabui kita bahwa ia seolah-olah seperti peradaban
berkemajuan, padahal sesungguhnya adalah kemunduran. Isu isbal dan non-isbal
dalam bercelana, memanjangkan atau memotong jenggot, dan masalah kepemimpinan
negara adalah beberapa contohnya.
Beban
eksternal tentu saja lebih berat lagi. Berbagai tuduhan dialamatkan ke
Muhammadiyah, terutama terkait konstelasi politik nasional. Alih-alih mendukung
BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) dan Densus 88, misalnya, dalam
beberapa kasus Muhammadiyah dituduh berpihak kepada teroris. Dalam hal Perppu
Nomor 2 Tahun 2017, Muhammadiyah dianggap mendukung ormas dan gerakan anti-Pancasila.
Muhammadiyah
juga tak jarang dituduh melindungi para aktor gerakan "NKRI
Bersyariah". Di Aceh, Muhammadiyah tidak dianggap sebagai bagian dari
Islam Suni atau ahlus sunnah wal jamaah. Muhamadiyah dituduh sebagai Wahabi dan
antek Yahudi, seperti tertulis dalam beberapa coretan di mushala Muhammadiyah
di sana. Masjid At-Taqwa Samalanga, Bireuen, dilarang berdiri dan bahkan
tiangnya dibakar oleh kelompok yang benci terhadap organisasi ini.
Posisi
Muhammadiyah dalam beberapa isu memang dilematis. Keinginan Muhammadiyah
mencegah negara berlaku sewenang-wenang terhadap teroris dianggap melawan BNPT
dan Densus 88. Padahal, Muhammadiyah hanya tak setuju dengan cara-cara yang
ditempuh BNPT dan Densus yang kadang justru melahirkan dendam kesumat dari
keluarga dan anak teroris yang pada gilirannya malah melahirkan teroris-teroris
baru. Hanya Muhammadiyah yang bisa jadi jembatan antara kelompok
radikal-teroris dan pemerintah. Kelompok Islam lain sudah tak didengar oleh
mereka karena dianggap selalu pro-pemerintah, apa pun kebijakannya.
Dalam konteks
perppu, semangat Muhammadiyah terus mengawal penegakan hukum yang merupakan
bagian dari ciri kehidupan demokratis kadang diartikan sebagai keberpihakan
kepada Hizbut Tahrir Indonesia. Padahal, keputusan resmi Muhammadiyah pada
Muktamar 2015 menyebutkan, "Negara Pancasila sebagai Dar al-'Ahdi wa
al-Syahadah". Indonesia adalah rumah bersama, sebagai hasil dari konsensus
bangsa yang terdiri dari berbagai agama, suku, daerah, dan warna kulit. Tidak
hanya sebagai rumah tempat mengukir perjanjian dan kesepakatan bersama,
Indonesia adalah tempat mengabdi dan menunjukkan karya-karya terbaik.
Muhammadiyah
hanya menuntut agar pengadilan dan pembubaran suatu ormas bisa jadi pendidikan
dan pembelajaran bagi masyarakat tentang demokrasi yang baik. Muhammadiyah tak
menginginkan sejarah buruk masa lampau terulang lagi; ketika partai politik dan
ormas tertentu mendukung kebijakan-kebijakan antidemokrasi dari pemerintah,
seperti dalam kasus pembubaran Partai Masyumi dan Murba pada zaman Orde Lama.
Langkah yang pada ujungnya menghancurkan rezim itu sendiri.
Dalam
kaitannya dengan NKRI, Muhammadiyah sebetulnya sudah selesai dengan urusan ini.
Sebagai bagian dari pendiri bangsa dan kelompok yang menumpahkan darah untuk
berdirinya republik ini, Muhammadiyah sudah menunjukkan loyalitas dan darma
baktinya kepada bangsa. Bukan hanya dalam slogan, meme, atau kata-kata,
melainkan dalam langkah nyata, kerja, dan amal usaha. Memang, saat ini perlu
upaya lebih keras lagi untuk menunjukkan nasionalisme dan keislaman kita yang
moderat.
Seperti
dikatakan Abdul Mu'ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Muslim moderat saat ini
masih terlalu banyak diam dan karena itu "Kita harus menjadi moderat yang
radikal". Ini terutama karena kelompok intoleran semakin lantang dan
berani.
Dalam beberapa
aspek, terkait kasus Aceh, keislaman Muhammadiyah memang berbeda dari kelompok
Islam lain. Sebagai gerakan Islam non-mazhab, Muhammadiyah tentu berbeda dari
gerakan Islam lain yang memilih untuk bermazhab. Namun, Muhammadiyah bukanlah
Wahabi. Muhammadiyah menggabungkan purifikasi dan dinamisasi. Ini yang
menyebabkan gerakan ini disebut reformis dan modernis.
Sumber: Kompas, 20
November 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!