Oleh Ansel Deri
Sekretaris Papua Circle Institute
KEAMANAN dan
kedamaian merupakan dua hal yang menjadi kerinduan masyarakat Kabupaten Nduga,
Papua. Jaminan keamanan dan kedamaian boleh jadi ialah napas kehidupan
masyarakat. Kerinduan rasa aman dan damai, terutama bagi sebagian umat
kristiani warga Nduga menjelang dan puncak perayaan Natal 2019, misalnya, masih
jauh dari kehidupan sosial warga setempat. Mengapa? Fakta memperlihatkan,
setahun belakangan ketegangan bahkan kekerasan masih menyelimuti Nduga.
Publik nasional
tentu masih ingat baik peristiwa kelam berbau SARA di Wamena pada akhir
September 2019. Buntutnya, seperti disampaikan Direktur Jenderal Perlindungan
dan Jaminan Sosial Kemensos RI, Harry Hikmat, Kamis (3/10), sebanyak 32 warga
meninggal, 67 luka-luka, belasan ribu orang meninggalkan wilayah Wamena,
Jayawijaya, untuk mengungsi ataupun kembali ke kampung halaman masing-masing.
Duka Nduga ialah
duka bangsa. Siapa pun tentu tak sudi kekerasan antarpihak beranak pinak di
tengah upaya pemerintahan Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin menggelontorkan
anggaran bersumber APBN, dan mendorong sejumlah kebijakan strategis guna memacu
ketertinggalan Nduga serta daerah-daerah lainnya di tanah Papua. Namun, konflik
masih saja terjadi. Bisa saja dalam hati pelaku berdiam frasa ini, ‘kekerasan
ialah satu-satunya bahasa yang saya pahami’. Mengapa Nduga bergelimang konflik
dan kekerasan?
Belum membaik
Sejak akhir
Desember 2018 hingga penghujung 2019, kekerasan di Nduga, Papua, belum
memperlihatkan tanda-tanda membaik. Persis dalam konteks relasi Jakarta-Papua.
Dalam Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua (2009), (alm) Neles Tebay,
salah seorang penggagas dialog damai Papua dari Sekretariat Keadilan dan
Perdamaian Dioses Jayapura, juga mengingatkan, jalan kekerasan tidak pernah
menyelesaikan konflik. Soal yang kini tengah dialami pemerintah dan masyarakat
Nduga.
Meski tak terkait
dengan kekerasan Nduga, Neles bicara ihwal kekerasan seperti yang melanda Nduga
saat ini. Kata Neles, kenyataan sejarah di Papua memperlihatkan secara jelas
bahwa hingga kini masalah Papua belum dituntaskan secara komprehensif kendati
telah diupayakan penyelesaiannya melalui berbagai cara.
Pada Rabu (14/8),
Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hesegem, memerinci
sedikitnya 184 warga sipil meregang nyawa pascaoperasi keamanan di Nduga sejak
Desember 2018 hingga Juli 2019.
Menjelang Natal
2019, kekerasan terus menemui ruangnya. Theo menyebut ada tiga aktor kekerasan,
yaitu masyarakat sipil, TNI-Polri, dan Organisasi Papua Merdeka. Buntutnya,
Senin (23/12/2019), Wakil Bupati Wentius Nimiangge di hadapan warganya
menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya.
Wentius berkilah,
sudah satu tahun terjadi kekerasan, pihaknya menghadap menteri, DPR, Panglima
TNI, dan Kapolri meminta pasukan di Nduga ditarik agar masyarakat kembali
beraktivitas seperti biasa. Namun, permintaan tidak direspons sehingga
penembakan terhadap warga terus terjadi. Karena itu, ia memilih mundur sebagai
bentuk protes atas operasi militer karena banyak memakan korban warga
masyarakat (Media Indonesia, 26/12).
Bara dalam sekam
Kekerasan di Nduga
sepintas bukanlah konflik yang berdurasi pendek, tetapi berkepanjangan sejak
puluhan tahun. Potensi konflik Nduga ibarat bara dalam sekam yang bisa
terbakar. Karena itu, tak berlebihan bila Nduga senantiasa berada dalam zona
konflik yang perlu penangangan serius, tak hanya pemangku kepentingan lokal,
tapi juga nasional.
Pertanyaan retorik
muncul dari Forum Kerja Oikumene Gereja-gereja Papua melalui sejumlah pendeta,
yaitu Dorman Wandikmbo, Socratez Yoman, dan Benny Giyai. Menurut mereka, kalau
Presiden Jokowi bisa gunakan pendekatan dialogis dengan Aceh, mengatasi krisis
kemanusiaan di Rohingya dan mendukung kemerdekaan bagi Palestina, mengapa masih
gunakan pendekatan militer di Papua?
Intelektual Papua
Markus Haluk dalam Konflik Nduga: Tragedi Kemanusiaan Papua (2019)
mengemukakan, Nduga dalam zona konflik mencakup beberapa dimensi.
Dimensi-dimensi dimaksud ialah, pertama, kehidupan sosial politik. Kedua,
religi dan sejarah gereja. Ketiga, administrasi pemerintahan. Keempat, perjuangan
hak penentuan nasib sendiri. Kelima, memoria passionis suku Nduga dari waktu ke
waktu. Memoria passionis ini mengungkapkan berbagai kejadian yang bertalian
dengan pembunuhan dan pelanggaran HAM orang Papua.
Penderitaan warga
Papua selama 55 tahun (1 Mei 1963 hingga Desember 2018) bersama Indonesia,
demikian Haluk, dialami dengan tindakan berbagai operasi terbuka dan tertutup
yang dilakukan pemerintah Indonesia kepada warga Papua.
Sejumlah contoh
operasi militer yang berakibat pada pelanggaran HAM terhadap rakyat Papua dapat
dikemukakan di sini. Misalnya, Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Barathayudha
(1967-1969), Operasi Wibawa (1969), Operasi Militer di Jayawijaya (1977),
Operasi Sapu Bersih I dan II (1980), dan Operasi Militer Pembebasan Mapenduma (1996).
Bagaimana langkah
efektif pemerintah pusat dan daerah serta semua pemangku kepentingan mengurangi
kekerasan Nduga? Ini pertanyaan penting. Salah satu pilihannya, dialog
sebagaimana disampaikan tiga gembala Papua: Dorman, Socratez, dan Giyai. Dialog
ini juga pernah disampaikan Muridan S Widjojo dkk (2009), bertolak dari empat
akar persoalan di Papua. Akar persoalan itu ialah diskriminasi dan
marginalisasi, kegagalan pembangunan, pelanggaran HAM, serta sejarah dan status
politik.
Catatan editorial
Media Indonesia, Jumat (27/12), menarik. Pendekatan kesejahteraan bagi Papua
(termasuk Nduga tentunya) sudah tidak bisa ditawar lagi. Semua sepakat,
kesenjangan pembangunan selama ini juga menjadi faktor pemantik munculnya
aksi-aksi perlawanan dari sebagian rakyat di sana.
Apresiasi tentu
juga dialamatkan kepada Presiden Jokowi dan jajaran pemerintahan mulai pusat
sampai daerah. Membangun Nduga dan daerah-daerah lainnya di Papua, mengupayakan
kesejahteraan rakyat ialah pilihan rasional sejak awal memimpin negeri ini.
Namun, kekerasan yang terjadi hampir setahun belakangan ini merupakan persoalan
serius yang tentu tak dapat dibiarkan berlarut-larut.
Presiden Jokowi
perlu mengundang para pemangku kepentingan lokal segera bertemu guna mencari
alternatif solusi mengurai kekerasan agar rakyat Nduga tak tersandera lagi
dalam kubangan konflik dan kekerasan berkepanjangan.
Para kepala
distrik, ondoafi (kepala suku), pimpinan gereja lokal, tokoh pemuda dan
perempuan juga perlu diundang bersama bupati, wakil bupati, DPRD setempat,
pimpinan aparat keamanan untuk duduk bersama mencari alternatif solusi damai.
Duduk bersama satu
meja dalam semangat persaudaraan sejati, boleh jadi ialah kado istimewa
pemerintah bagi masyarakat Nduga memasuki babak baru kehidupan awal tahun yang
damai dan penuh cinta.
Tiga aktor
kekerasan seperti disampaikan Hesegem: masyarakat sipil, TNI-Polri, dan
Organisasi Papua Merdeka perlu juga bergabung dan duduk satu meja. Memandang
Nduga dan Papua sebagai surga kecil yang jatuh ke bumi, surga penuh cinta dan
damai.
Sumber: Media Indonesia, 31 Desember 2019
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!