mahasiswa Pascasarjana Fisipol UGM &
dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang
dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang
Tanpa sadar elite bangsa ini sedang mencabut nyawa rakyatnya sendiri. Aksi panas tukar-menukar kepentingan politik, hegemoni kebijakan korup para elite, membuat keseluruhan kesadaran moral kekuasaan seperti terlelap di tengah nyanyian penderitaan rakyat yang mengerikan saban hari.
Kasus 'rekening gendut' milik para perwira tinggi Polri disusul insiden pelemparan bom molotov ke kantor majalah Tempo serta penganiayaan pegiat antikorupsi, Tama, dari ICW belum lama ini adalah eksplanasi tragedi banal perihal nasib demokrasi bangsa yang sedang sekarat. Rupanya keekspansifan saluran intimidasi yang memantulkan hipokrisi kekuasaan di negara ini tanpa disadari terus bergerak memperuncing menjalarnya prahara kekerasan serta trauma di mana-mana. Teror dalam segala praktik insinuatifnya justru tak pernah jeda menebarkan ketakutan saat air gerimis reformasi belum mengering.
Sebagai bangsa, kita mengutuk kekejian tersebut. Bukan saja karena demokrasi yang terancam rubuh 'digerilyai' kebengisan kepentingan konspirasi besar, tetapi juga karena kian sempitnya ruang heroik bagi pegiat demokrasi dan keadilan untuk menyalaki serta-merta menghancurkan gerbong-gerbong hitam kekuasaan para elite nakal. 'Penjarahan' sistemik kemerdekaan berbangsa dalam menikmati hak hidup bebas telah berjodoh dengan nista ketidakadilan yang meletupkan skeptisisme ganda: kemerdekaan dan riuh reformasi mungkin hanya sebuah utopia di negara gagal semacam ini.
Betapa dari Sabang hingga Merauke mudah kita temukan kelumpuhan kedaulatan rakyat yang berjejer sebagai santapan lautan kedestruktifan kekuasaan keseharian. Kemelaratan dan korupsi yang eksesif telah membentuk republik ini bak geladak kapal karam tempat berkumpulnya nestapa, ingatan, dan trauma rakyat jelata yang disergap reruntuhan optimisme.
Di Provinsi NTT misalnya, prahara kemiskinan tetap menjadi hantu menakutkan bagi bayi-bayi tak berdosa, anak sekolah, dan rakyat akar rumput sehingga busung lapar, buta huruf, dan kelaparan tak asing lagi. Di Papua, Bumi Pertiwi yang kaya hasil tambang, rakyatnya terus memberontak meminta referendum karena keadilan tak kunjung datang. Republik yang adil dan makmur nyatanya hanya bisa dinikmati para bos kekuasaan yang kerap menggunakan baliho rakyat untuk meraup simpati dan kekayaan seketika.
Pejabat kita pun memiliki kekayaan membukit dari hari ke hari. Di negara berpenduduk miskin mencapai 32,5 juta jiwa ini (2009), orang terkaya sejagat terus bertambah, bahkan tujuh orang kaya Indonesia masuk jajaran seribu miliarder dunia menurut majalah Forbes (Jawa Pos, 12/3/2010). Ini memang sebuah prestasi ekonomi, tapi ironisnya tepat di sisinya tikar rapuh kemiskinan juga tak kalah luasnya terbentang.
Republik gelintir
Kesimpulannya, nilai kekayaan yang diperoleh mereka mungkin terakumulasi dengan mengambil bagian hak orang lain. Pengalaman rezim menjelaskan selama 30 tahun rezim Orde Baru, dari Rp300 triliun anggaran yang dikeluarkan untuk pembangunan ekonomi cuma 5%-6% yang dialokasikan untuk usaha kecil dan menengah. Sebesar 95% dinikmati kurang lebih 200 pengusaha besar yang berklientalisme dengan orang kuat Orde Baru (Effendi, 2010). Mereka diberi privilese dan aksesibilitas yang luar biasa untuk memperoleh gelembung keuntungan ekonomi untuk membangun dinasti bisnis dan kekuasaannya. Terkait kasus 'rekening gendut' para perwira tinggi Polri, diharapkan, bukti-bukti kekayaan mereka yang telah dilimpahkan ICW ke KPK perlu ditindaklanjuti secara serius agar transparansi hukum dan keadilan benar dapat berlaku untuk seluruh strata rakyat.
Jika tidak, republik ini akhirnya menjadi milik segelintir yang dipelintir menjadi konstruksi luas kemakmuran dan stabilitas seluruh rakyat. Stabilitas ekonomi dituntut demi memajukan republik dengan nilai-nilai ideologi kekuasaan manipulatif yang diindoktrinasi 32 tahun lamanya. Ideologi itu yang memendar keyakinan bahwa pembangunan mutlak membutuhkan pengorbanan rakyat. Tanpa afirmatif pengorbanan, rakyat tidak akan mengecap kesejahteraan.
Benarlah, kidung lawas: kelaparan, sulit mendapat kerja, dan kebodohan akan terus populer merasuki batin dan jiwa rakyat sehingga labirin kemiskinan seakan sudah menyatu dengan tarikan napas yang mesti dihirup sebagai kemestian untuk tetap hidup.
Rakyat dibiarkan diselimuti kutuk kebodohan dan sakit-sakitan dengan membuat sekolah dan puskesmas sebagai barang termewah agar mereka tak bisa kritis dan berteriak lantang terhadap kompleksitas kemalangannya. Sambil itu pula negara terus membombardir rakyat dengan dogma demokrasi, tetapi petatah-petitih demokrasi yang dipersempit maknanya sebatas kepesertaan rakyat dalam kampanye dan pemberian suara di pemilu, tapi nihil tanggung jawab.
Memberikan hak politik bukan karena rasa tanggung jawab dan kepemilikan tulus terhadap democracy building, melainkan karena prinsip: pemimpin diperlukan untuk 'hidupnya' demokrasi di republik ini. Ada semacam sindrom kelegaan psikologis jika rakyat mendengar pekikan para politikus tentang demokrasi. Ini hanyalah pembodohan karena fanatisme demokrasi yang demikian membuat pilkada di daerah-daerah dipenuhi rentetan konflik.
Padahal, menurut Hannah Arendt, republik adalah hasil kesadaran bersama dalam melintasi sebuah sejarah keberbagian, kebersamaan dan solidaritas yang tulus tanpa pamrih. Tanpa dialami dan dipertahankan dalam praktik, arti republik hanyalah sebuah nama. Mana yang lebih terpuji, melihat pindahnya 2.000 warga Bengkayang dan Sanggau di Kalimantan sejak 1997 untuk menjadi warga Malaysia, karena lemahnya keberpihakan anggaran terhadap daerah perbatasan tersebut, atau melihat pengungsi Timor Timur yang menolak disintegrasi dan memilih setia di Indonesia meski harus hidup mengenaskan di kamp-kamp pengungsian sampai sekarang?
Negara gagal ternyata tidak hanya karena kemiskinan kapital sebagaimana teori ketergantungan dunia ketiga (Arif Budiman, 1995:80), tapi--dalam kasus Indonesia--juga karena kehilangan keberpihakan moral para penguasanya. Inilah tragedi kekuasaan para elite bangsa kita yang sudah terbenam dalam nasi basi kekuasaan narsisistis.
Menanggung tragedi
Itu sebabnya, pejabat dan politisi kita tidak lagi takut dihukum karena korupsi. Rakyat Indonesia tidak mungkin sekejam rakyat di Filiphina, Thailand, atau Kirgizstan. Hukum kita pun sudah telanjur dianggap tunasusila yang genit menjual kesuciannya pada rente dan kekuasaan di kamar-kamar--kartel--gelap. Mereka akan terus memburu fulus secara permisif (machiavellian). Termasuk mengegolkan dana aspirasi/perdesaan atau alibi program lain untuk kesejahteraan konstituen meskipun motif serupa berlabel prorakyat sudah pernah terimplementasikan di daerah yang tetap tak berdampak pada rakyat karena pada akhirnya dana-dana itu dikorupsi juga.
Cara-cara politik itu, menurut Robert A Dahl (1994) dalam Analisis Politik Modern (terjemahan)-nya, disebut sebagai mountain climber problem: isu yang akan terus berkembang setelah program yang telah dilakukan ternyata tidak bisa memecahkan masalah secara tuntas. Kita tidak tahu, kalau isu ini gagal, wacana apa lagi yang dipakai ke depan demi membungkus nafsu korupsi para pemurka kekuasaan. Yang pasti di tangan elite, nujumitas dan nasib rakyat selalu dalam bungker ketidakpastian.
Seperti istilah Michael Foucault, praktik para penguasa di republik ini ibarat patris potestas. Suatu jenis kekuasaan yang dimiliki seorang bapak di zaman Romawi Kuno untuk memvonis hidup atau mati terhadap anak atau budak-budaknya karena kehidupan anak dan para budak tersebut dianggap berasal dari diri bapak sehingga ia punya hak mencabut apa yang diberikannya itu.
Tak seorang pun dari 4 jutaan rakyat mau dilahirkan dari 'bapak' bangsa yang gemar mencabut nyawa 'anak'-nya sendiri. Tapi apa mau dikata, rakyat harus 'memilih' menanggung tragedi: orang miskin dan jujur tidak lagi layak hidup di republik patologis ini. 'Nyawa'-nya akan dan telah musnah dicabut politik para perakus. Jika Machiavelli saja masih memiliki kekhawatiran terhadap 'nyawa' bangsanya (The Prince, Sang Penguasa, 2009:128-129), bagaimana dengan para elite dan pemimpin bangsa ini yang telah dikaruniai transendentalisme sejarah dan keluhuran nilai-nilai Pancasila?
Sumber: Media Indonesia, 21 Juli 2010
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!