Headlines News :
Home » , » Mengantisipasi Ancaman Kekerasan

Mengantisipasi Ancaman Kekerasan

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, July 30, 2013 | 8:57 AM

Oleh Ansel Deri
Alumni FKIP Undana Kupang;
tinggal di Halim Perdanakusuma, Jakarta

KEKERASAN berupa ancaman hingga tindakan membunuh sesama lain terus terjadi belakangan dan nampaknya selalu mengintai hingga mengancam keselamatan sebagian masyarakat kita. Tatkala kekerasan memakan korban, kesedihan menyelimuti. Duka lara keluarga dan kerabat serta orang-orang terkasih, lahir. Ada rasa prihatin, kecewa bahkan heran. Teror mental dan psikologis terhadap manusia lain pun sangat terasa. Dalam hati pelaku sepertinya berlaku ungkapan, “Kekerasan adalah satu-satunya bahasa yang saya pahami”. Negara melalui pihak berwajib bergerak sesuai tugas dan fungsinya. Namun, pertanyaan retoris lahir. Mengapa kekerasan berupa ancaman hingga aksi nekat pelaku menghabisi nyawa sesama saudara lain begitu mudah dan telanjang dipertontonkan?

Sejumlah kasus kematian menghebohkan terjadi belakangan di sejumlah wilayah di Tanah Air kemudian diberitakan media massa cetak, elektronik maupun on-line. Motif dan pelaku beragam. Aksi nekad pelaku ditengarai (salah satunya) bersumber dari keserakahan, by greed dan juga disebabkan karena himpitan atau tuntutan ekonomi, by need. Meski punya latar belakang berbeda, tapi akibat yang terjadi sama, yakni hilangnya nyawa manusia. Tindakan yang dilarang agama mana pun. Seseorang tidak bisa menghilangkan nyawa sesamanya kecuali Dia yang memberi nyawa itu sendiri, yakni Tuhan.

Sebagai orang beragama, setiap orang tentu menyadari hal ini. Tapi mengapa pembunuhan masih sering terjadi dan dilakukan oleh orang-orang di negeri ini? Apakah sudah tidak ada jalan lain dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi dalam hubungan antarsesama? Kesimpulannya, pembunuhan terjadi hanya karena para pelaku tidak bisa mengendalikan emosi. Kurangnya kemampuan mengendalikan emosi membuat seseorang bertindak nekad, baik secara langsung oleh dirinya maupun menggunakan tenaga orang lain untuk menghabisi nyawa dari lawannya (Pos Kupang, 18 Januari 2010).

Mental Masyarakat

Berbagai kemajuan yang dialami masyarakat kerap dilihat sebagai keberhasilan manusia dalam mengatasi persoalan yang dihadapi. Hadirnya gedung-gedung perkantoran megah, super mall, dan berbagai ikon kota lainnya merupakan simbol kemajuan manusia di bidang ekonomi. Namun, pada saat bersamaan lahir pula kasus-kasus kriminalitas menyertai kehidupan sosial masyarakat. Di tingkat dunia pun demikian. Di Amerika Serikat masih terjadi berbagai kasus bunuh diri, ketergantungan alkohol dan narkoba serta berbagai kasus pembunuhan di tengah derap pembangunan yang serba modern.

Kasus-kasus ancaman hingga pembunuhan seperti itu kerap pula dialami oleh kelompok sosial bahkan faksi politik dalam kehidupan berdemokrasi. Jack Snyder menyebut, demokrasi kerap dihadapkan pada bahaya yang mengancamnya yaitu konflik nasionalis. Ia mempertanyakan mengapa konflik nasionalis muncul tatkala kesempatan berdemokrasi hadir (Bdk. From Voting to Violance, Democratization and Nationalist Conflict tahun 2000).

Tiga kasus di atas: bunuh diri, ketergantungan alkohol dan narkoba serta berbagai kasus (dan ancaman) pembunuhan, masih melilit sebagian anak bangsa. Para ahli melihat bahwa kasus-kasus tersebut merupakan cerminan kurang stabilnya kesehatan mental masyarakat (patologi masyarakat).

Mengutip Erich Pinchas Fromm, teoretisi dan intelektual asal Jerman, Nur Iman Subono menyebut, kesehatan mental dipahami dalam dua sudut pandang. Pertama, dari sudut pandang manusia sebagai individu. Di sini kesehatan dan kenormalan mental manusia dipahami atau dimengerti sebagai pertumbuhan kejiwaan yang baik dan kebahagiaan individual yang otimal. Karakter sosial yang menyehatkan bagi individu adalah yang melahirkan orientasi-orientasi produktif seperti cinta, akal budi, dan kesehatan.

Kedua, dari sudut pandang masyarakat. Dalam sudut pandang ini manusia dilihat sehat atau normal jika ia memiliki kemampuan memenuhi orientasi dan peran sosial yang didapatkan dalam suatu masyarakat tertentu. Konkretnya, ini merujuk pada kemampuan manusia sebagai individu untuk berpikir, bertindak, dan bekerja dalam pola, gaya, dan karakter yan dituntut dan dibentuk oleh masyarakat. Pada saat bersamaan, manusia juga didorong memiliki peran dalam memproduksi masyarakat dalam artian memiliki kapasitas berkeluarga (Bdk. Erich Fromm-Psikologi Sosial Materialis yang Humanis ; 2010).

Hentikan Kekerasan

Sepintas, dua sudut pandang kesehatan mental di atas mestinya berjalan bersama dan saling mengkapi. Namun, nampkanya hanya jadi sesuatu yang ideal. Kekerasan berupa ancaman hingga pembunuhan atas manusia lain masih saja terjadi. Manusia dengan mudah membantai manusia lain yang merupakan makluk paling mulia. Mereka (manusia pembunuh) ini, oleh Fromm, dikategori sebagai “masyarakat yang sakit” atau sick society.

Para ilmuwan sosial juga sudah mencoba mengamati fenomena kekerasan dengan wujud seperti di atas. Para ilmuwan sosial kemudian mencari akar masalah, menganalisa kemudian mencari alternatif solusinya. Salah satu akar masalah kekerasan berupa pembunuhan bersumber dari kesenjangan ekonomi dan keadilan. Kesenjangan ekonomi dan keadilan tak hanya terjadi di kota-kota besar tetapi juga sudah masuk ke kampung-kampung yang jauh dari pusat-pusat industri dan perdagangan.

Menurut Thomas Santoso, ada empat jenis kekerasan yaitu (i), kekerasan terbuka (kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian); (ii), kekerasan tertutup (kekerasan tersembunyi atau yang secara tidak langsung dilakukan seperti pengancaman); (iii), kekerasan agresif (kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu, seperti penjambretan); dan (iv), kekerasan defensif (kekerasan untuk melindungi diri).

Semua teori sosial jelas menguraikan tentang kekerasan. Namun, satu hal pasti bahwa kekerasan harus dihentikan sebelum beranak kekerasan baru. Pemimpin spiritual asal India Mohandas Karamchand Gandhi alias Mahatma Gandhi mengatakan, kekerasan adalah senjata orang yang jiwanya lemah. Tak ada jalan menuju perdamaian karena damai itulah jalan satu-satunya.

Apa saja langkah konkretnya? Pertama, sebagai makhluk beragama manusia harus sadar dan ikut serta memotong mata rantai kekerasan. Mengapa? Kekerasan itu merupakan tindakan yang melanggar agama. Kedua, hukum harus benar-benar berfungsi secara normal. Negara melalui pemerintah maupun aparat penegak hukum harus menyadari fungsinya paling fundamental, raison d’etre, yaitu pemberi perlindungan hukum dan keamanan. Ketiga, relasi sosial antarpersonal dan antara anggota masyarakat perlu terus ditumbuhkembangkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa prasangka dan saling curiga satu sama lain.

Keempat, negara melalui pemerintah perlu mewujudkan pembangunan yang transformatif bagi warga negaranya. Munculnya berbagai kekerasan bersumber dari minimnya perhatian pemerintah melalui program-program strategis yang menyentuh kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Tatkala mereka (masyarakat) terdesak oleh karena absennya program pemerintah dan membuat masyarakat terjepit dalam urusan ekonomi maka pilihan radikal dan melanggar hukum dengan melakukan tindakan kekerasan, diambil. Bahkan akhirnya membunuh sesamanya tanpa merasa bersalah atau menabrak norma-norma yang berlaku. Karena itu, pemerintah perlu sadar bahwa kesejahteraan rakyat merupakan hukum tertinggi (salus populi suprema lex).
Sumber: Flores Pos, 29 Juli 2013
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger