Oleh
Bambang Kesowo
Ketua Dewan Penasihat
Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas
KETIKA
tiga atau empat tahun lalu ada buaian tentang Indonesia 2030, muncul gagasan
tentang batu penjuru (milestone) lain: mengapa tidak wajah Indonesia di 2045
nanti? Bagai terbangunkan, semua menangkap kita diajak membayangkan dan
menorehkan harapan, bagaimana kehidupan bangsa dan negara ini di usia 100 tahun
tersebut.
Sudah pasti
bukanlah kejahatan untuk membangun impian: di tahun 2045, pendapatan per kapita
tiap warga telah dapat mencapai setidaknya setara 10.000 dollar AS per tahun;
rakyat dapat hidup dalam perumahan dengan lingkungan yang tertata baik, dengan
dua mobil di garasinya. Pokoknya seperti orang Amerika Serikat dengan American
dream-nya.
Tidak pula
salah bermimpi di 2045 negara kita telah kuat secara ideologi, politik,
ekonomi, sosial, budaya, dan militer (ipoleksosbudmil), berdasar Pancasila yang
terejawantah dalam semua sendi dan napas kehidupan. Juga mimpi tentang
kehidupan politik nasional berkeadaban dan tanpa ada lagi korupsi. Mimpi betapa
rakyat hidup tenteram dengan disiplin sosial yang tinggi, sedangkan kekuatan
militernya "nggegirisi". Indonesia tumbuh sebagai penjuru geopolitik
dunia.
Namun, bukan
pula tidak mungkin apabila impian tadi terusik oleh interupsi jahil. Karena
2045 baru hadir 28 tahun mendatang, jangan-jangan generasi di lintasan kurun
waktu itu mempunyai gambaran yang lain tentang wajah kehidupan tadi. Dengan
persepsi tentang masalah dan tantangan di masanya, bukankah mereka juga berhak
punya jawab dan impian sendiri? Kalau keusilan tadi tak terlalu salah, lantas
apa relevansinya dengan angan generasi saat ini, yang juga menggantang wujud
negara dan bangsa Indonesia di tahun 2045, tetapi menurut persepsi tentang cita
yang mereka pahami?
Tujuan
nasional dan kelembagaan negara
Layaknya
generasi pengait antara masa lalu dan sekarang, memang wajar saja apabila kita
mengenalkan dan menanamkan pemahaman tentang cita-cita kemerdekaan, berbangsa
dan bernegara yang dahulu diuntai para pendahulu, para pendiri negara.
Memberikan landasan dan sekaligus bingkai agar apa pun corak dan wujud
kehidupan nasional di tahun 2045, tetaplah semua itu bersumbu pada cita-cita
yang dalam bahasa UUD 1945 dikenal sebagai Tujuan Nasional: "membentuk
pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...."
Mengingatkan
cita-cita, jelas baik dan perlu. Namun, lebih bertanggung jawab lagi apabila
kita juga dengan jelas menunjukkan arah dan mewariskan sarana dan pranata yang
memudahkan mereka bekerja dengan baik. Karena itu, memadaikah apa yang kita
miliki saat ini?
Menyangkut
elemen pertama dalam tujuan nasional tadi, yaitu membentuk pemerintah negara
Indonesia, memadaikah bangun dan tatanan kelembagaan negara setelah empat kali
perubahan UUD sekarang ini? Banyak yang melihat tujuan nasional sekadar rincian
empat tujuan, tetapi justru abai terhadap instrumen yang mesti mewujudkannya.
Lantas bagaimana dapat sampai ke tujuan tersebut? Bagaimana mungkin cita akan
digapai kalau tidak ada alat yang bernama pemerintah negara Indonesia sebagai
alatnya. Awal uraian tentang tujuan nasional bermula dengan soal kelembagaan
tadi. Pertanyaannya, dengan bangun dan tatanan kelembagaan pemerintahan negara
sekarang ini, sudahkah kebutuhan untuk menghadirkan stabilitas pemerintahan dan
kebijakan terpenuhi dengan baik?
Sistem
presidensial dalam pemerintahan yang semula ingin diteguhkan saat ini malah
bagai terbelenggu oleh pengaturan sistem kepartaian dan pemilihan presiden, dan
pada gilirannya hanya menyisakan kesibukan yang menghabiskan energi sekadar
untuk menghadirkan stabilitas yang dirasa semu. Demikian pula hadirnya ragam
dan tatanan tentang badan permusyawaratan dan perwakilan yang bukan saja remang
secara konseptual, tetapi senyatanya tidak efektif. Di tengah kian maraknya
radikalisme, serta bayang-bayang sekitar hantu komunisme, upaya untuk
memperteguh dan membumikan Pancasila sebagai ideologi, sebagai dasar negara,
sebagai pandangan hidup bangsa justru tidak tampak (untuk tidak mengatakan
tidak ada sama sekali). Yang namanya dinamika juga tinggi. Ya politik, ya
ideologi. Tetapi, siapa yang mesti mengelola?
Persoalan juga
masih menggelayut di sekitar elemen kedua dalam tujuan nasional, yaitu empat
tujuan yang menjadi tugas pemerintah negara Indonesia tadi. Ketika proses besar
untuk mewujudkan empat tujuan tersebut berkaitan dengan aspek komprehensivitas
dan kesinambungan dalam perencanaan, satu pertanyaan telah lama menggantung.
Tanpa adanya
instrumen yang dulu bernama GBHN, bagaimana kini mesti menjamin bahwa yang
namanya Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) yang lazim menyertai tak akan selalu berubah UU-nya
setiap lima tahun? Di tengah mekanisme pemilihan presiden yang bertumpu pada
janji program selama pilpres, yang namanya perubahan (penyesuaian,
penyempurnaan, atau dengan kata lain apa pun) RPJP, dan dengan begitu juga
RPJM, bukanlah tidak mungkin.
Waktu memang
berjalan. Tantangan juga selalu berbeda. Karena itu, apabila ada perbedaan cara
pandang tentang prioritas dan penahapan dalam gerak pembangunan, jelas bukanlah
masalah. Tetapi, yang namanya alur besar dalam sebuah peta jalan (roadmap),
yang diperlukan agar apa yang perlu dilakukan atau dikerjakan dapat dengan
jelas dilihat dan diketahui, kapan capaian sesuatu dapat diwujudkan di tiap
tahapan, akan sangat membantu terjaganya kesinambungan arah dan gerak
pembangunan. Lebih dari sekadar jaminan, transparansi soal tersebut juga
memudahkan mobilisasi dan meningkatkan partisipasi kekuatan nasional.
Ataukah
mungkin pola pikir lain yang ingin dikembangkan? Faktor kesinambungan dianggap
tidak penting. Yang lebih utama adalah wujud dan taraf kehidupan yang lebih
maju dan lebih tinggi. Setiap dari empat dalam tujuan nasional tetap dijadikan
penjuru, tetapi soal perwujudan, sekali lagi, mesti dianggap sebagai sekadar
persepsi dan tafsir. Bukankah setiap waktu membawa nilai dan tantangan yang
berbeda? Mungkinkah ini yang sekarang merasuk sebagai pola pikir baru?
Perlu
perubahan UUD?
Telah banyak
wacana soal ini. Mengapa seolah tiada gereget untuk menanggapi, mungkin soal
lain. Bukan mustahil hal itu antara lain terkait dengan semacam sangkaan yang
berkembang dalam masyarakat, tentang adanya kelompok yang masih enggan menerima
perubahan. Sangkaan serupa itu mungkin benar juga adanya. Namun, pengabaian
terhadap keberanian untuk melihat dan memperbaiki kekurangan pastilah lebih
tidak menguntungkan. Terlebih lagi kalau sikap pengabaian timbul karena
orientasi lain, bahwa kepemimpinan pemerintahan hanya berkisar pada pemenuhan
janji selama pilpres, dan terpasung dalam siklus lima tahunan.
Jika demikian,
soal 2045 benar-benar sekadar angka penanda 100 tahun kemerdekaan. Tidak lebih,
dan tidak kurang. Impian dan harapan akan adanya kehidupan yang maju dan modern
pasti tetap ada, tetapi tidak terlalu relevan dikaitkan dengan cita-cita awal.
Ujung dari
pertanyaan tentang memadai atau belum memadai sekitar dua elemen tadi sudah
sering terdengar walau hal itu dirasa tidak nyaman di sementara kalangan.
Pemikiran sekitar kesiapan sarana dan pranata tadi akhirnya berujung pada
pertanyaan: perlu perubahan UUD 1945 lagikah? Sudah jadi pengetahuan umum
adanya silang pandang tentang dampak empat kali perubahan UUD 1945. Ada yang
menolak, ada pula yang hanya menginginkan perubahan yang sekadar untuk
mengakomodasi kepentingannya. Ada yang ingin perombakan total, tetapi ada pula
yang menginginkan agar dikembalikan saja pada UUD 1945 sebelum perubahan.
Semuanya dengan alasan masing-masing. Sudah barang tentu, bukan saja kerja
besar yang akan muncul, melainkan juga risiko kehebohan baru.
Namun,
sekiranya kebutuhan untuk menata kembali bentuk dan tatanan kelembagaan negara
sebagai penyelenggara pemerintah negara (dalam arti luas) memang dinilai perlu,
bagaimana sebaiknya harus dicari penyelesaiannya? Bilamana menyentuh kembali
UUD 1945 karena berbagai pertimbangan tidak diambil sebagai opsi, mungkinkah
presiden mengambil pendekatan instrumental, dengan mengambil inisiatif
perbaikan UU yang antara lain dan utamanya menyangkut soal kepartaian, pemilu
dan pilkada, badan permusyawaratan dan perwakilan, pemerintahan daerah,
hubungan pemerintah pusat dan daerah?
Tabir
"negatif" yang seakan menyelimuti hubungan presiden dengan
partai-partai politik yang mendukungnya bisa sejenak dikesampingkan. Ditimbang
saja sisi positifnya, bahwa dengan dukungan yang besar dari banyak partai
politik, mestinya presiden tidak mengalami kesulitan dalam perjuangan politik
untuk melakukan penataan ulang kelembagaan negara melalui perubahan UU yang
selama ini mengaturnya. Adanya kesamaan pandang antara presiden dan partai
politik pendukung tentang perlunya kesiapan dan penataan kembali kelembagaan
negara (terutama yang berkaitan dengan fungsi dan kewenangannya), dan tentang
tanggung jawab bersama terhadap masa depan, semestinya memungkinkan hal
tersebut dapat berlangsung.
Namun,
sebaliknya juga bukan tidak mungkin hal tersebut tidak mudah terwujud apabila
dukungan partai politik sekadar karena orientasi kekuasaan, dan bukan pada
kerja presiden dan masa depan. Kalau bagi partai-partai politik pendukung tadi
berlaku "hukum Ligna: kalau sudah duduk, enggan berdiri", akan sempurnalah
kesulitan tersebut. Repotnya, apabila yang terakhir ini yang terjadi, yang ada
tinggallah benarnya penilaian bahwa tatanan sekitar kelembagaan negara memang
tidak menguntungkan dan perlu ditata ulang.
Lantas
bagaimana prospek penyelesaian persoalan tadi? Wallahualam. Apa pun, bagi
generasi yang hidup dan berperan saat ini, 2045 mungkin dirasa masih lama.
Tetapi, untuk pergulatan hidup sebuah bangsa, jangka 28 tahun pasti akan sangat
cepat berjalan.
Sumber: Kompas, 10 Maret 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!