Oleh Yunarto Wijaya
Direktur Eksekutif Charta Politika
Indonesia
PILKADA serentak 2017 harus diakui menempatkan Pemilihan
Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta menjadi primadona. Ingar-bingarnya mewarnai
pemberitaan di media massa dan percakapan di media sosial.
Dua pilkada
lain yang biasanya juga mendapat atensi tinggi di tingkat nasional, Pemilihan
Gubernur-Wakil Gubernur (Pilgub) Banten dan Aceh, kali ini harus rela
tertepikan. Padahal, dinamika kontestasinya tak kalah menarik. Keriuhan Pilgub
DKI Jakarta 2017 sudah berlangsung sebelum masa pilkada dimulai. Faktor
kepemimpinan yang ditautkan dengan wacana primordialisme menjadi bahan baku
utamanya. Dan, hoaks menjadi bumbu terpentingnya.
Ketika
kandidat mengerucut pada tiga pasangan calon (Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana
Murni, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, Anies Baswedan-Sandiaga
Uno), sempat muncul harapan bahwa isu primordialisme akan tersisih. Namun,
harapan itu nyatanya tak berpijak. Para penantang seolah-olah ikut
"menikmati"-nya dan ini diimbuhi blunder komunikasi yang dilakukan
petahana.
Pilgub DKI
kian tinggi daya tariknya karena kemudian juga dimaknai sebagai ajang
pertarungan tak langsung para elite politik nasional, persisnya antara Susilo
Bambang Yudhoyono, Prabowo Subianto, dan Megawati Soekarnoputri. Bahkan, ada
yang beranggapan pilkada ini lanjutan dari Pilpres 2014. Ada pula yang
menilainya pemanasan menjelang 2019. Singkatnya, pilkada ini menjadi beraroma
pilpres.
Meski menarik,
Pilkada DKI bukanlah satu-satunya fenomena penting dalam penyelenggaraan pemilu
serentak tingkat daerah kedua di Tanah Air. Dari pemberitaan dan pengamatan
lapangan, pilkada serentak 2017 masih diwarnai berbagai masalah lama.
Akibatnya, pilkada tak sepenuhnya memadai sebagai ruang bersama bagi warga menentukan
ke mana pembangunan daerahnya akan diarahkan dan siapa yang akan jadi
pengelolanya.
Trilogi
masalah
Di sejumlah
tempat, termasuk Jakarta, ada trilogi masalah berulang yang terutama berpotensi
mendistorsi atau sekurang-kurangnya memengaruhi hasil pilkada. Trilogi yang
dimaksud adalah netralitas dan profesionalitas penyelenggara, daftar pemilih,
serta politik uang.
Netralitas dan
profesionalisme penyelenggara, termasuk pengawas pemilu, terus menjadi sorotan.
Di tingkat provinsi atau kabupaten/kota, seleksi pemilihan komisionernya
semakin ketat. Namun, tak terhindarkan, selalu saja ada dugaan mereka berpihak.
Dalam kasus Pilgub DKI, misalnya, penyelenggara dianggap kurang menerima
masukan masyarakat ketika memilih panelis ataupun moderator debat. Sebaliknya,
di Banten, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dianggap abai terhadap maraknya
politik uang.
Titik
persoalan utama yang kurang diperhatikan adalah pada tingkat eksekutor
lapangan, khususnya Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan
Suara (KPPS) ataupun panwas tingkat kecamatan. PPS dan KPPS pada pilkada
serentak masih dipilih dengan aturan lama (berdasarkan usulan kepala desa atau
lurah setempat) dan bukan seleksi terbuka sebagaimana diamanatkan UU Nomor 10
Tahun 2016.
Meski melalui
seleksi terbuka dapat diperoleh pelaksana yang lebih profesional, faktor
netralitas relatif sulit diprediksi. Selalu ada berbagai kemungkinan, pelaksana
terpilih menjadi tidak netral. Karena itu, KPU kabupaten/kota ke depannya harus
memiliki instrumen untuk memonitor dan indikator yang jelas untuk mengganti
petugas yang bermasalah tanpa menimbulkan keributan baru. Pada pilkada serentak
2017, masalah daftar pemilih kian melebar. Masalah berulangnya, sejumlah
pemilih tak terdaftar atau sebaliknya ditengarai ada pemilih siluman. Lebih
dari sebelumnya, keluhan tak mendapat undangan untuk memilih (Formulir C1)
lebih mengemuka. Terlebih ketika mereka juga merasa dipersulit di TPS.
Akibatnya, hak memilih mereka terampas. Ini terjadi terutama ketika KPPS setempat
atau yang lebih tinggi terindikasi tak netral.
Kisruh daftar
pemilih tetap (DPT) dan Formulir C1 ini bisa diminimalkan jika ada upaya
diseminasi informasi daftar pemilih yang lebih intensif. Selama ini, (calon)
daftar pemilih hanya diumumkan di tempat-tempat tertentu atau dipasang di TPS.
Secara individu, setiap pemilih bisa memeriksa namanya melalui situs Komisi
Pemilihan Umum (KPU) setempat. Persoalannya, tak semua KPU kabupaten/kota
memiliki situs atau menyediakan fasilitas untuk keperluan tersebut.
Ke depan,
kisruh daftar pemilih dapat dikurangi dengan dua hal. Pertama, ada ketersediaan
informasi semua pemilih yang dipilah menurut rukun tetangga (RT) di laman KPU
setempat. Kedua, daftar yang sama juga dibagikan pada tingkat RT untuk
didistribusikan kepada warganya. Berdasarkan daftar ini, warga bisa memantau
kemungkinan adanya pemilih yang tak dikenal atau malah tak terdaftar. Lebih
dari itu, pemilih terdaftar yang tak mendapat Formulir C1 dapat menggunakan
daftar ini sebagai penggantinya.
Meski aturan
politik uang sudah semakin ketat, nyatanya politik uang dilaporkan masih
terjadi. Menurut Bawaslu, ada 600 laporan dugaan praktik politik uang. Namun,
pembuktiannya tak mudah. Terlebih, kandidat atau pendukungnya kian kreatif
mengemas politik sogokan ini dalam rupa-rupa bentuk, mulai dari kupon hingga
pemberian barang melalui pihak ketiga. Politik uang tak mudah dihalangi karena
permintaan akan hal ini masih ada. Pemilih ada yang melihatnya sebagai
kesempatan untuk dapat rezeki tambahan. Namun, ada pula yang menganggapnya
kewajaran, bahkan keharusan. Dari sisi kandidat, terkadang ini dilakukan
sekadar untuk mengimbangi manuver lawan agar suaranya tak tergerus secara
signifikan.
Melakukan
politik uang yang terstruktur, sistematis, dan masif tidak saja butuh biaya
sangat besar, tetapi juga diragukan efektivitasnya. Namun, harus diakui, dalam
segmen atau wilayah tertentu, politik uang bisa sangat efektif mengalihkan
suara pemilih. Dan, bisa jadi kunci pemenangan ketika persaingan berlangsung
ketat. Dengan bekal dua informasi ini saja, Panwaslu ataupun pemantau pemilu
dapat bekerja lebih efektif untuk mencegah terjadinya praktik politik uang.
Menggugurkan
kewajiban
Selain trilogi
masalah di atas, dalam beberapa aspek penyelenggaraan pada tahun ini terkesan KPUD
masih sekadar menggugurkan kewajiban. Padahal, jika dilaksanakan secara
saksama, niscaya dapat meningkatkan kualitas kepemiluan.
Aspek
penyelenggaraan yang dimaksud adalah pertama, terkait informasi pilkada.
Perubahan format kampanye membuat paparan pemilih terhadap penyelenggaraan
pilkada ataupun kontestan menjadi berkurang. Penyelenggara pemilu terlihat
kurang memperhatikan aspek ini. KPUD, umpamanya, terlihat kurang memanfaatkan
medium seperti laman resminya.
Dalam beberapa
upaya penelusuran, masih ditemui ada KPUD yang lamannya sulit diakses atau
memang tak tersedia. Jika pun ada, tak sedikit yang tak menginformasikan
tentang pasangan calon, dan seperti sudah disebut, juga informasi terkait
daftar pemilih. Selain itu, masih sangat jarang laman penyelenggara pemilu di
daerah yang menunjukkan adanya kesinambungan data dari pilkada/pemilu
sebelumnya. Padahal, jika KPUD mampu menyediakan aliran informasi yang lengkap
dan terperbarui, ini akan sangat membantu pemilih, jurnalis, dan juga pasangan
calon yang berkontestasi.
Untuk wilayah
yang akses internetnya masih rendah, KPUD ke depan perlu mendorong aliran
informasi yang menyebar hingga tingkat RT lewat penyebaran semacam buletin yang
menjelaskan tahapan pelaksanaan dan tentu saja informasi tentang pasangan calon
serta pelaksana pemilu di PPS ataupun KPPS.
Akan sangat
baik jika dalam buletin juga dapat sedikit dimodifikasi per wilayah sehingga
mencantumkan pula nama personel penyelenggara ataupun pengawas, terutama di
tingkat kecamatan atau lebih rendah. Dengan informasi ini, pemilih bisa
melakukan rekonfirmasi jika tak mendapat Formulir C1 atau hendak melaporkan
adanya politik uang, umpamanya.
Kedua, prosesi
debat kandidat tetap tak banyak perubahan. Dengan format seperti sekarang,
kandidat tak dapat maksimal mengeksplorasi gagasan sendiri dan menyanggah
argumentasi kompetitor. Akibatnya, pemilih juga kurang dapat pemahaman utuh
tentang gagasan kandidat. Ke depan, perlu dipertimbangkan perubahan dan atau
penambahan format debat yang lebih fokus pada satu isu yang spesifik. Selain
itu, juga memberikan keleluasaan kandidat untuk memaparkan gagasan dan
menyanggah gagasan kompetitornya. Dengan kata lain, jika pun ada moderator,
perannya minimalis.
Syarat penting
dari debat tipe ini adalah penetapan tema merupakan kesepakatan bersama dengan
kandidat dan bukan ditentukan sepihak oleh KPUD atau panelis. Ini untuk
mencegah tudingan ketaknetralan dan untuk mendapatkan tema yang bisa menjadi
pembeda utama di antara para kontestan. Belajar dari Pilkada Jakarta, prosesi debat
bisa menjadi ajang bagi pemilih mempelajari kandidat dan juga isu-isu yang
dilontarkan. Karena itu, ke depan, KPUD perlu mempertimbangkan penambahan
frekuensi debat dan atau memperluas kegiatan debat yang menghadirkan
representasi resmi dari setiap kandidat sebagai peserta.
Ketiga,
terkait pelaporan dana kampanye. Sejauh ini, terkesan pelaporan dana kampanye
dan tindak lanjutnya sekadar "menggugurkan kewajiban" yang
diamanatkan perundang-undangan yang berlaku. Ke depan, KPUD sewajarnya membuka
laporan itu kepada publik. Dan, ini diinformasikan secara saksama. Dengan cara
ini, akan ada dorongan bagi publik untuk ikut menilai dan memberikan masukan.
Keterbukaan dana kampanye ini menjadi penting agar pemilih juga menjadi lebih
memahami siapa yang memberikan dukungan kepada kandidat. Informasi ini dapat
jadi masukan bagi pemilih untuk mempertimbangkan kemungkinan kebijakan yang
akan diambil seorang kandidat jika kelak terpilih.
Penanganan
pelaporan dana kampanye ini sudah saatnya ditempatkan dalam posisi penting,
bukan lagi sekadar untuk memenuhi persyaratan. Karena itu, kandidat harus
secara berkala melaporkannya, tidak hanya menjelang akhir pemilu.
Calon tunggal
Selain
rangkaian masalah di atas, rezim pilkada serentak sejak 2015 diwarnai kehadiran
calon tunggal. Pada 2017, jumlahnya kurang dari 10 persen. Persisnya, sembilan
pasangan dari 94 pilkada tingkat kabupaten/kota atau sembilan dari 101 pilkada
secara keseluruhan. Fenomena hadirnya calon tunggal tak diinginkan, tapi
dimungkinkan. Karena itu, telah mengemuka usulan untuk memagarinya. Misalnya,
melalui persyaratan maksimal jumlah partai politik yang bisa mengusung satu
pasangan calon. Aturan ini dapat dianggap melampaui hak prerogatif yang
dimiliki parpol untuk mengusung atau tidak mengusung kandidat tertentu.
Sebagai jalan
tengah, bisa dipertimbangkan memperberat persyaratan pemenangan bagi calon
tunggal. Misal saja, memberikan ambang batas bawah jumlah pemilih yang
mencoblos dan menetapkan batasan minimal untuk bisa dinyatakan menang dari
kotak kosong. Perberatan persyaratan ini akan memaksa kandidat untuk lebih
berinteraksi dengan para pemilih. Pada saat yang sama, KPUD harus memberikan
ruang bagi warga untuk mempromosikan memilih kotak kosong.
Beberapa
catatan dan usulan perubahan ini diajukan dengan maksud utama mendorong pilkada
sebagai ruang yang kondusif bagi pemilih dan juga kandidat. Pemilih bisa lebih
saksama mempelajari kandidat, pun sebaliknya kandidat bisa lebih terfasilitasi
mengeksplorasi gagasan-gagasannya. Catatan ini sejatinya juga bukan hal yang
terlalu baru. Kini kembali dilontarkan sebagai ajakan agar pembentuk UU ataupun
KPU(D) lebih berorientasi pada kebutuhan pemilih (dan juga kandidat).
Bagaimanapun, pilkada adalah momen bagi pemilih dan kontestan, penyelenggara
adalah pelayannya.
Sumber: Kompas, 9 Maret 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!