Oleh
Komaruddin Hidayat
Dosen
pada Fakultas Psikologi UIN Jakarta
DI kalangan
sarjana ahli, sulit dirumuskan definisi agama yang bisa diterima dan disepakati
bersama.
Jadi, sejak
merumuskan definisi saja, para sarjana ahli sudah berselisih sehingga mudah
dipahami kalau sikap masyarakat terhadap dalil-dalil agama berbeda dari
penyikapan mereka terhadap formula sains yang lebih mudah diterima sekalipun
beda bangsa dan agama.
Di samping
persoalan definisi, juga ada beberapa kategori agama, misalnya, revealed religion dan natural religion. Agama wahyu bikinan
Tuhan dan agama evolusi alam rekayasa manusia. Agama langit dan agama bumi. Ada
agama rumpun Abrahamik, Yahudi, Nasrani, Islam, dan agama non-Abrahamik. Dalam
literatur filsafat, ideologi semacam Marxisme pun ada juga yang memasukkan kategori
religion.
Dibandingkan
ideologi sekuler dan ilmu pengetahuan, agama Abrahamik memiliki distingsi
tersendiri, yaitu doktrin keselamatan abadi di akhirat nanti, berupa kehidupan
surgawi yang telah dijanjikan Tuhan. Bagi orang beriman, seindah dan senikmat
apa pun kehidupan dunia tak akan sebanding dengan kenikmatan janji surga yang
dijanjikan Tuhan. Oleh karena itu, terdapat pemeluk agama yang lebih
mengharapkan kehidupan akhirat dan mengecilkan kehidupan duniawi.
Bahasa agama
Oleh
pemeluknya, agama diyakini sebagai jalan keselamatan yang menghubungkan dirinya
dengan Tuhan, yang di dalamnya terdapat kredo, kitab suci, pedoman ritual,
konsep tempat suci, dan etika sosial kemasyarakatan. Keyakinan tentang hari
akhir, pengadilan ilahi, dan balasan surga-neraka merupakan kredo yang paling
fundamental dalam rumpun agama Ibrahim. Oleh karena itu, konsep dan keyakinan
akan "jalan keselamatan" (salvation)
menjadi inti keyakinan orang yang beriman. Apakah jalan keselamatan, dan
bagaimana untuk meraihnya, masing-masing agama memiliki ajaran dan tafsiran
berbeda-beda yang tak mungkin dipersatukan, sifatnya doktrinal, sangat pribadi,
dan tidak bisa dipaksakan.
Pada awalnya,
semua agama merupakan peristiwa dan pengalaman rohani yang bersifat sangat
pribadi, kemudian berkembang ke lingkungan sosialnya. Dalam konteks Islam,
misalnya, bermula dari cerita dan pengakuan pemuda Muhammad yang ditemui
makhluk gaib ketika menyepi bermeditasi di Goa Hira, pinggiran kota Mekkah pada
abad ke-6. Di Goa Hira ini, Muhammad menerima wahyu, yang itu diyakini dari
Tuhan melalui malaikat Jibril, isinya mengajak manusia menjalani hidup yang
benar dan terhormat serta hanya menyembah pada-Nya. Pada awal mulanya Muhammad
pun tak tahu, siapa makhluk gaib itu. Secara historis-ilmiah sejarawan sepakat
mengenai peristiwa Muhammad sering ke Goa Hira. Itu fakta historis. Namun,
pengakuan Muhammad ditemui malaikat Jibril menerima wahyu Al Quran, hal itu di
luar jangkauan ilmu untuk melakukan validasi dan verifikasi. Sejarawan tak bisa
menemukan eviden sosok Jibril yang berbicara kepada Muhammad.
Bahwa Muhammad
menerima wahyu dari Jibril itu tafsir dan respons iman, didukung argumen
penalaran terhadap kebenaran kandungan isi wahyu. Contoh lain, peristiwa
Muhammad hijrah ke Madinah, itu peristiwa historis, faktual. Sejarawan Muslim
atau non-Muslim sepakat tentang terjadinya peristiwa hijrah. Namun, peristiwa
Isra Mi'raj itu peristiwa meta-historis, sifatnya sangat pribadi, menuntut
respons iman. Dalam Kristen pun banyak peristiwa serupa. Secara historis,
karier hidup Yesus berakhir kalah di tiang salib. Namun, bagi iman Kristen, itu
justru peristiwa kemenangan Yesus untuk mengalahkan dosa-dosa manusia sehingga
Yesus disebut Juru Selamat dan Sang Penebus Dosa. Demikian juga peristiwa
Paskah, itu mirip mi'raj dalam Islam,
yakni peristiwa rohani yang berada dalam wilayah iman, bukan faktual-historis.
Umat Kristen yakin, Yesus dibangkitkan pada hari Minggu, setelah penyaliban
pada hari Jumat, lalu naik ke atas (mi'raj)
menuju Tuhan.
Dari contoh di
atas, dalam tradisi dan paham keagamaan memang sering kali bercampur antara
narasi historis dan meta-historis, antara yang faktual dan simbolik-metaforis,
sehingga ketika semuanya hanya dipahami secara verbal-literal, pasti akan
kehilangan pesan dan makna terdalam. Atau, akan terjadi perbedaan dan konflik
tafsir atas teks kitab suci. Padahal, salah satu aspek dan karakter kitab suci
yang membuatnya abadi dan selalu hidup serta tidak habis-habis digali dan
ditafsirkan adalah karena kekuatan bahasanya yang sebagian simbolik dan
metaforik. Dengan demikian, perbedaan tafsir itu memang dimungkinkan dan salah
satu sumbernya adalah teks kitab suci sendiri.
Dari aku ke
kami
Meski bermula
dari pengalaman dan keyakinan pribadi, ketika ajaran agama disebarluaskan
kepada lingkungan sosial sekitarnya, muncullah komunitas yang percaya (community of believers) dan mereka yang
menyangkal (community of non-believers)
yang dalam bahasa Arab disebut kafir atau infidel
dalam istilah Eropa. Konsekuensinya, siapa pun orang yang beriman akan disebut
kafir oleh komunitas lain yang beda keyakinan agamanya. Menjadi persoalan
ketika penilaian dan penyikapan iman terhadap umat yang berbeda, yang semula
bersifat pribadi dan komunal, lalu bergerak keluar ke wilayah publik, bahkan
berebut hegemoni ruang publik dan jaringan kekuasaan dengan mengatasnamakan
agama. Ini akan dijumpai di berbagai belahan dunia.
Terbentuknya
umat beriman ada yang bersifat cair dan kolosal seperti halnya, dalam konteks
Islam, ketika umat Islam menunaikan ibadah haji atau melakukan istigasah. Namun, ada juga himpunan umat
yang terstruktur dalam ikatan institusi, organisasi, atau bahkan parpol. Namun,
yang mudah dijumpai, setiap agama akan melahirkan komune yang memiliki tempat
ibadah sehingga di mana pun akan dijumpai bangunan ibadah semacam masjid atau
gereja. Tempat ritual itu diyakini sebagai tempat suci di muka bumi yang
menghubungkan jemaahnya dengan singgasana Tuhan di langit, tempat menyampaikan
rasa syukur, ataupun mohon ampun dan petunjuk jalan keselamatan di dunia sampai
akhirat.
Pengelompokan
umat seiman ini di Indonesia masih kuat, salah satu faktornya karena diabadikan
dalam kartu tanda penduduk. Di sini agama menjadi identitas sosial dan data
kependudukan. Di tambah lagi banyaknya ormas keagamaan yang bermunculan. Identitas
keagamaan ini diperkuat lagi oleh pemerintah dengan memberikan fasilitas
pembinaan keagamaan yang masuk dalam anggaran belanja negara yang disalurkan
melalui Kementerian Agama. Peran agama secara vertikal menghubungkan dengan
Tuhan, sedangkan secara horizontal berkembang cukup kompleks, bercabang dan
beranting. Ada kalanya agama menjadi motor dan pilar peradaban serta
perdamaian, ada kalanya agama dinilai sebagai sumber perpecahan, bahkan motor
peperangan.
Pada
tahun-tahun awal pertumbuhannya, para Rasul Tuhan dengan ajaran agamanya selalu
berpihak dan membela orang tertindas. Maka, para musuh Rasul Tuhan datang dari
penguasa yang tiran. Agama hadir sebagai kekuatan pembebas (liberating force). Namun, ketika agama
sudah berada di tangan pemenang yang memiliki kekuasaan, tak jarang terjadi
pergeseran pendulum peran sosial agama, yaitu sebagai instrumen untuk
mengawetkan kekuasaan, bahkan terlibat dalam penindasan. Makanya, sejarah
memiliki catatan panjang seputar keterlibatan agama dalam perebutan kekuasaan
serta konflik sosial. Pengalaman pahit inilah yang mendorong negara-negara
Eropa memilih jalan sekuler dalam mengendalikan kekuasaan. Agama cukup menjadi
urusan pribadi, sedangkan politik, ekonomi, dan peradaban dipercayakan pada
penalaran dan kekuatan ilmu pengetahuan.
Institusi
keagamaan di zaman modern ini mesti bersaing dengan institusi sekuler dalam
melayani kebutuhan manusia dan mengatur kehidupan sosial. Seperti dunia kampus,
rumah sakit, perbankan, industri, birokrasi pemerintahan dan negara yang
kesemuanya merasa bisa berkembang memenuhi hajat penduduk bumi tanpa melibatkan
agama. Yang tak tersaingi oleh ideologi dan institusi sekuler adalah agama
menawarkan jalan keselamatan di akhirat. Sebuah tantangan bagi para pemikir dan
aktivis keagamaan.
Sumber: Kompas, 3 Juni 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!