Oleh Paulus Agus Winarso
Dosen Sekolah Tinggi
Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika
HARI-hari ini kita memasuki iklim ekstrem, terutama
di Pulau Jawa. Kondisi kering sepanjang Agustus-September 2017, berubah menjadi
hujan lebat diawali dengan petir terkadang disertai angin kencang yang turun
dari awan (down draft atau microburst).
Hujan lebat dengan
intensitas tinggi ini —sama atau lebih dari 1 milimeter/detik— dalam 5 menit
tertumpah air dengan volume 5 x 60 x 1 mm/detik= 300 mm, saat ini masih terjadi
dalam waktu pendek. Padahal, sebelumnya, udara begitu panas. Apakah perubahan
cuaca harian, mingguan, dan musiman yang ekstrem ini berbeda dari kondisi 20-30
tahun sebelumnya?
Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, saya membuka catatan pribadi yang telah saya kumpulkan
sejak 1977.
Hutan dan awan
Pada 1990 di
berbagai kawasan di luar Pulau Jawa, sebutlah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
dan Papua, hutannya masih perawan. Hal ini membuat kegiatan awan konveksi yang
membentuk awan badai kumulonimbus (Cb), menjadi jarang.
Awan Cb di awal
menggiatkan tiga jenis badai, yaitu badai guntur (thunderstorm), angin
kencang/badai (wind storm, kecepatan angin di atas 34 knots= 70 km/jam), dan
hujan lebat (rain stormdengan intensitas hujan minimal 1 mm/detik).
Dengan berjalannya
waktu, awan badai kian marak dan kini meluas hampir seluruh kawasan Benua Maritim
Indonesia (BMI). Mudah tumbuhnya awan badai seiring dengan kondisi permukaan
Bumi yang mudah tembus sinar surya, akibat penggundulan hutan. Pohon-pohon
tinggi yang rimbun tidak hanya menghilang dari hutan, tetapi juga pohon-pohon
di kota yang berganti dengan hunian, kawasan parkir, jalan atau kondisi lain,
seiring pertambahan umat manusia.
Situasi dan kondisi
lingkungan mikro, seperti di perkotaan ini, terus berkembang. Akibatnya,
perubahan yang terjadi sudah bukan lingkup lokal atau regional, tetapi juga
global. Bahkan, di BMI kini tidak dapat lagi menghindari amukan badai tropis.
Pada 2017 kondisi
keragaman cuaca dan iklim diwarnai giatnya gejala global awal hingga
pertengahan tahun sebagai kondisi global normal. Kemudian giat gejala El Nino
2017 yang hanya 2 bulan dengan dampak kekeringan 2-3 bulan di beberapa kawasan
BMI bagian selatan.
Gejala El Nino
dihapuskan oleh hadirnya gejala mirip La Nina yang menggiatkan hujan sepanjang
Oktober 2017. Kondisi ini mengisyaratkan keragaman cuaca dan iklim yang diikuti
dengan tiupan angin musim (angin muson). Namun, angin muson barat di musim
hujan dan angin muson timur di musim kemarau tidak bertiup dengan baik seiring
keragaman tekanan udara permukaan. Tiadanya kontras tekanan udara memicu
gradienttekanan udara yang sama sehingga tak ada tiupan angin.
Karena aliran udara
atau angin itu terjadi bila terjadi beda tekanan atau ada nilai gradient
tekanan, seperti pada badai tropis yang gradient tekanannya tinggi. Bisa
puluhan hingga ratusan milibar dalam jarak satuan atau puluhan kilometer bila
sudah dalam kelas super badai tropis. Misalnya, taifun di Laut China Selatan
dan hurricane di Laut Karibia, Amerika Serikat.
Untuk kawasan BMI
gradient tekanan 1-3 milibar dalam jarak ratusan hingga ribuan kilometer.
Bahkan dari catatan kegiatan awal badai tropis yang giat di dalam wilayah BMI,
seperti badai tropis Vamei 2010 yang melewati Medan dan badai tropis Kirrily
2009 yang tumbuh di sekitar Maluku Tenggara dan bergerak menuju Pulau Seram,
Maluku Tengah. Kedua badai tropis itu bertekanan masih di atas 1.000 milibar
dan gradient tekanan kurang dari 3 milibar sehingga belum terjadi angin
kencang, layaknya badai tropis yang menerjang Filipina atau Australia.
Awan badai masuk
dalam kelompok awan konveksi, yaitu awan yang terbentuk oleh pemanasan
permukaan yang basah. Pemanasan ini menggerakkan udara hangat dan basah ke atas
dan terciptalah arus konveksi yang membentuk awan konveksi. Awan ini menjulang
tinggi dari jenis towering Cumulus yang disebut awan Cb.
Sepanjang tahun
Awan jenis konveksi
umumnya giat pada era kondisi cuaca dan iklim beragam sepanjang tahun dan
meningkat pada masa peralihan musim. Perubahan terkait dengan berpindahnya
garis edar Matahari dari belahan utara ke selatan (September, Oktober,
November= SON) dan untuk (Maret, April, Mei= MAM) berpindahnya garis edar dari
selatan ke utara.
Faktor lain adalah
berubahnya tiupan angin seiring angin musim atau angin muson untuk kawasan
belahan Bumi selatan BMI pada bulan-bulan SON yang biasanya dari timur berubah
dari barat. Sebaliknya bulan-bulan MAM angin barat berubah dari timur.
Bulan-bulan yang
berkaitan dengan masa peralihan, yaitu SON dan MAM, juga merupakan periode di
mana garis edar Matahari berada di atas wilayah BMI. Sudah selayaknya pancaran
radiasi surya yang optimal dan intens akan menggiatkan pemanasan permukaan yang
berdampak terjadinya proses konveksi.
Bila pemanasan
meluas ke seluruh kawasan BMI yang gundul karena deforestasi maupun pembangunan
gedung yang masif, homogenitas suhu udara hangat akan terjadi yang kemudian
diikuti dengan homogenitas kondisi tekanan udara permukaan. Hal ini yang
menghasilkan gradient tekanan kecil atau nol. Akibatnya angin kurang bertiup.
Siang-sore, awan Cb
akan giat di kawasan darat jauh dari pantai atau kawasan puncak bukit atau
gunung, malam hingga pagi hari giat di laut/pantai atau lembah kawasan yang
berbukit. Situasi dan perkembangan yang demikian sepertinya merupakan kondisi
keragaman cuaca dan iklim untuk masa mendatang.
Bisa disimpulkan,
kondisi saat ini masih dalam kerangka masa peralihan dari musim kemarau ke
musim hujan 2017/2018. Akhir tahun ini dan awal 2018 adalah puncak musim hujan.
Alangkah baiknya
bila kita juga menyiapkan diri menghadapi kondisi keragaman cuaca dan iklim ini
dengan mencermati data pada tahun-tahun sebelumnya, sekaligus mencari informasi
perkembangan kondisi cuaca yang terbaru dan tepercaya. Informasi cuaca dan
iklim juga telah tersebar dan disediakan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi,
dan Geofisika (BMKG) di seluruh kawasan BMI.
Menilik tingkat
keragaman cuaca dan iklim yang umumnya berinteraksi dengan kondisi tutupan
lahan, maka kerusakan lingkungan harus segera diperbaiki untuk meminimalkan
kondisi cuaca ekstrem.
Sumber: Kompas, 21 November 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!