Oleh Otto Gusti
Dosen Filsafat Politik dan HAM
STFK Ledalero, Maumere, Flores, NTT
PERSOALAN seputar kebebasan beragama atau
berkeyakinan sudah ada sejak awal sejarah peradaban umat manusia. Kita ingat
kisah dalam kitab suci Perjanjian Lama tentang pembunuhan Abel oleh saudaranya,
Kain. Keduanya berdebat soal persembahan yang paling pantas di hadapan Tuhan
atau dalam konteks kontemporer tentang agama mana yang paling benar dan mana
yang sesat.
Persoalan serupa
tetap aktual sampai sekarang. Di Indonesia kasus-kasus seputar ajaran sesat,
penodaan agama, ajaran agama yang paling murni, pelarangan pembangunan rumah
ibadat telah membatasi kebebasan warga dalam memeluk agama atau keyakinan.
Kondisi di
Indonesia
Badan Pusat
Statistik (BPS) meluncurkan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2018 pada 29 Juli
2019 dengan nilai 72,39 poin. Artinya, terjadi kenaikan 0,28 poin jika
dibandingkan dengan indeks demokrasi pada 2017, yakni 72,11 (Media Indonesia, 30/7). Akan tetapi,
jika ditelusuri lebih jauh kenaikan indeks demokrasi tersebut belum menjadi
alasan cukup untuk bersikap optimis tentang kualitas demokrasi di Indonesia.
Itu karena kenaikan
tersebut hanya disumbangkan perbaikan aspek lembaga demokrasi. Sementara itu, dua
aspek lainnya, yakni kebebasan politik dan hak sipil yang mencakupi kebebasan
beragama dan berkeyakinan mengalami penurunan masing-masing 0,29 dan 0,84.
Data ini
menunjukkan bahwa kewajiban negara untuk menjamin kebebasan beragama atau
berkeyakinan warga negara masih jauh panggang dari api. Ancaman atas kebebasan
ini diperparah lagi lewat fenomena menguatnya populisme kanan dalam
perkembangan demokrasi di Indonesia selama empat tahun terakhir. Hal itu
terungkap jelas lewat gerakan pengarusutamaan moralitas agama konservatif dalam
diskursus dan praktik politik (Vedi R Hadiz, 2017). Dominasi tafsiran agama
yang konservatif ini tentu saja berdampak pada pengabaian hak-hak privat warga
negara (hak-hak liberal) dari kelas sosial yang paling rentan, seperti kelompok
LGBT atau menguatnya tendensi iliberalisme dalam demokrasi di Indonesia.
Prinsip kebebasan
beragama atau berkeyakinan memberikan jaminan perlindungan bagi semua manusia
untuk memeluk agama atau keyakinan tertentu. Sebagai hak asasi manusia, kebebasan
beragama atau berkeyakinan dapat dipandang sebagai hak negatif dan positif
sekaligus. Sebagai hak negatif, kebebasan beragama atau berkeyakinan berarti
seseorang tidak pernah boleh dipaksa negara atau pihak mana pun untuk
menjalankan praktik keyakinan atau agama tertentu, bergabung dalam komunitas
agama tertentu, berpindah agama, atau dipaksa tinggal dalam sebuah agama dengan
cara melawan kehendak bebasnya.
Sebagai hak
positif, kebebasan beragama atau berkeyakinan mengandung arti bahwa setiap
orang berhak memilih agama atau keyakinan, menjadi anggota komunitas religius
tersebut atau mendirikan sebuah komunitas baru dan menjalankan ibadah serta
pelajaran agama baik secara publik maupun di ruang privat. Hak positif juga
berarti seseorang boleh memilih untuk tidak beragama.
Lahirnya konsep
kebebasan beragama atau berkeyakinan berkaitan erat dengan peperangan
antarkonvensi yang beberapa kali melanda Eropa dalam kurun waktu hampir 500
tahun (Bdk Hans-Georg Ziebertz, 2015). Kekristenan di Barat pada masa itu menolak
konsep kebebasan beragama atau berkeyakinan karena pandangan tersebut dianggap
sebagai ajaran sesat atau heresi oleh Gereja. Prinsip yang berlaku pada masa
itu ialah cuius regio, eius religio atau dapat diartikan dengan 'agama raja
ialah juga agama rakyat yang dikuasainya'. Doktrin ini juga menjadi pegangan
bagi gereja pada masa itu yang diperteguh keyakinan bahwa raja ialah titisan
dewa atau utusan Allah.
Basis
argumentasinya ialah mengakui konsep kebebasan beragama atau berkeyakinan sama
artinya mengakui bahwa kekeliruan berhak untuk ada atau hidup. Sementara itu,
kebenaran itu hanya mungkin satu dan jalan satu-satunya menuju keselamatan. Tak
mungkin ada pilihan lain. Iman kristiani ialah wahyu benar satu-satunya dan
final tentang Allah, sedangkan gereja ialah jalan satu-satunya menuju
keselamatan. Di luar gereja tak ada keselamatan.
Monopoli gereja
atas kebenaran telah menjadikan Eropa sebagai arena pertarungan berlumuran
darah untuk memperjuangkan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Di balik konflik
berdarah tersebut tersembunyi motivasi untuk mempertahankan homogenitas
religius masyarakat dan menjaga hubungan yang erat antara agama dan politik.
Persoalan seputar paksaan untuk pindah agama, penodaan agama, ajaran sesat
mewarnai sejarah Eropa. Peperangan dan konflik antarkonvensi tersebut kemudian
berakhir untuk sementara waktu pada 1648 yang ditandai dengan Perjanjian
Perdamaian Westfilia.
Peperangan
antaragama yang menghancurkan hampir seluruh Eropa memaksa para pemikir politik
untuk menjawab pertanyaan dasar: Bagaimana harus menciptakan sintesis antara
atau mempertemukan konsep kebenaran religius dan kebebasan politik? Pengalaman
penderitaan ini telah melahirkan pandangan tentang pentingnya kebebasan
berpendapat dan kebebasan beragama atau toleransi beragama dalam menata
kehidupan politik yang damai. Hal ini mengakhiri absolutisme dan feodalisme
absolut yang menandai kehidupan sosial politik masyarakat Eropa berabad-abad
sebelumnya.
Konsep kebebasan
beragama bukan produk dari agama itu sendiri, melainkan sebuah produk politik
atau negara yang mendefinisikan dirinya secara sekular (Bdk Ernst-Wolfgang
Boeckenfoerde, 1990). Dalam negara sekular agama tidak lagi dipandang sebagai
sumber legitimasi hukum negara dan negara juga dibebaskan dari kewajiban untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan teologis tentang agama yang benar atau yang
sesat. Tugas negara atau politik ialah menata kehidupan warga negara yang
berasal dari latar belakang agama, ideologi, dan etnik yang berbeda-beda.
Negara bersikap netral terhadap persoalan-persoan religius dan agama menjadi
urusan privat setiap citizen.
Pemahaman modern
tentang kebebasan beragama berpijak pada pengertian bahwa tatanan moral
religius berkaitan dengan manusia dan relasinya dengan Tuhan. Sementara itu,
politik atau hukum menata hidup bersama manusia dan relasinya dengan kekuasaan
negara. Hukum ialah jaminan perdamaian sosial dan kebebasan dan karena itu
menciptakan prasyarat bagi setiap individu untuk menghayati keyakinan
pribadinya, termasuk kebenaran religius. Hukum memastikan warga negara
menyembah Allah-nya dan beribadat menurut keyakinan masing-masing serta
melindungi hak-hak dasar tersebut dari intervensi instansi luar, termasuk dari
negara. Namun, proteksi tersebut akan berakhir ketika tatanan hidup bersama
yang damai dalam sebuah negara berada dalam kondisi bahaya.
Sumber: Media
Indonesia, 17 September 2019
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!