Oleh Fajar Kurnianto
Peneliti Pusat Studi Islam &
Kenegaraan Universitas Paramadina
KELOMPOK terbang pertama jemaah haji
Indonesia sudah tiba di Madinah, Arab Saudi, 28 Juli lalu. Mereka di sana
beberapa waktu sebelum berangkat ke Mekkah untuk berhaji yang puncaknya adalah
berwukuf di Padang Arafah pada 9 Zulhijah sekitar akhir Agustus.
Haji adalah rukun Islam kelima. Namun, hanya diwajibkan bagi Muslim yang mampu secara finansial dan fisik serta hanya sekali dilakukan.
Ali Mustafa Yaqub
dalam Haji Pengabdi Setan (2006) mengkritik orang yang berhaji dan berumrah
berkali-kali. Ketika banyak anak yatim telantar, puluhan ribu orang menjadi
tunawisma akibat bencana alam, banyak anak balita busung lapar, banyak rumah
Allah roboh, banyak orang terkena pemutusan hubungan kerja, banyak orang makan
nasi aking, serta banyak rumah yatim dan bangunan pesantren terbengkalai, lalu
kita pergi haji kedua atau ketiga kalinya, kita patut bertanya kepada diri
sendiri, apakah haji kita itu benar-benar karena melaksanakan perintah Allah?
Pesan sosial
Haji itu sendiri,
meskipun termasuk ibadah ritual, sakral, dan berkaitan dengan aspek spiritual
(rohani), sesungguhnya punya nilai sosial yang terkandung di dalamnya.
Maksudnya, ada pesan sosial pada setiap ritualnya (manasik) yang dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari setelah ritual haji itu selesai dan
kembali ke kampung halaman atau negara masing-masing.
Makna yang dapat
mentransformasi tidak hanya diri orang yang berhaji, tetapi juga masyarakat dan
bahkan negara. Dengan kata lain, jika haji mampu dimaknai dengan baik, lalu
diaplikasikan secara nyata, ia dapat merevolusi mental manusia hingga dalam
tataran praksis: melahirkan transformasi sosial.
Dalam haji,
misalnya, ada ritual memakai pakaian ihram berwarna putih, menggantikan pakaian
yang biasa dikenakan sehari-hari, sebagai penanda dimulainya proses haji.
Ali Shariati dalam
bukunya, Hajj (1978), mengatakan bahwa pakaian melambangkan pola, preferensi,
status, dan perbedaan-perbedaan tertentu. Pakaian menciptakan "batas"
palsu yang menyebabkan "perpecahan" di antara umat manusia. Hampir semua
"perpecahan" ini melahirkan "diskriminasi".
Selanjutnya, dari
"perpecahan" itu timbul konsep "aku", bukan
"kita". "Aku" dipergunakan di dalam konteks seperti rasku,
kelasku, kelompokku, kedudukanku, keluargaku, dan bukan "aku" sebagai
manusia.
Di mikat, segala
pakaian yang telah menciptakan "perpecahan" itu ditanggalkan diganti
dengan pakaian yang sama, seragam. Di mikat itu, apa pun ras dan suku mereka
diperintahkan untuk melepaskan semua pakaian yang dikenakan sehari-hari.
Seperti dikatakan Shariati, lepaskanlah pakaian serigala (yang melambangkan
kekejaman dan penindasan), pakaian tikus (yang melambangkan kelicikan), pakaian
anjing (yang melambangkan tipu daya), atau pakaian domba (yang melambangkan
penghambaan). Tinggalkanlah semua pakaian itu di mikat dan berperanlah sebagai
"manusia" yang sesungguhnya.
Dengan pakaian yang
seragam, manusia melebur menjadi satu, tanpa perbedaan, bersama-sama menuju
Allah secara sadar. Ibnu Arabi dalam Al-Futuhat Al-Makkiyah menyebutkan dua
kondisi menuju kepada Tuhan: secara terpaksa dan secara sadar. Kesadaran yang
menggerakkan tidak hanya pikiran dan jiwa untuk merenungkan kebesaran Tuhan,
tetapi juga kenyataan tentang manusia dan kemanusiaan.
Manusia citra Tuhan
Manusia pada
hakikatnya adalah satu. Manusia, dengan berbagai perbedaan (agama, keyakinan,
pandangan, dan lain-lain), sejatinya adalah citra Tuhan. Di mata Allah, semua
manusia adalah sama. Dengan kesadaran eksistensial semacam ini, manusia
sesungguhnya tidak layak membenci, menyakiti, atau merendahkan sesamanya.
Manusia sejatinya
adalah bersaudara yang semestinya saling mencintai, mengasihi, menyayangi,
menghormati, dan menghargai sesamanya. Dalam bahasa Shariati, peristiwa haji
juga merupakan sebuah gerakan. Manusia bertekad untuk kembali kepada Allah.
Segala keakuan dan
kecenderungan yang mementingkan diri sendiri terkubur di mikat. Dia menyaksikan
tubuhnya sendiri mati dan menziarahi kuburannya sendiri. Kepadanya diingatkan
apakah tujuan hidupnya yang sesungguhnya. Di mikat itu ia mengalami kematian dan
kebangkitan kembali. Di dalam perpaduan aneka ragam manusia ini, nama, ras,
atau status sosial tidak ada artinya. Kita hanya merasakan persatuan yang
murni.
Haji benar-benar
menanamkan ke dalam pikiran dan benak terdalam manusia akan sisi kemanusiaannya
yang seakan-akan telah lenyap. Kita bisa melihat kenyataan betapa karena
perbedaan pandangan politik, bahkan keyakinan agama, telah membuat manusia
berpecah belah, saling membenci, memusuhi, dan mencurigai.
Tidak hanya di
dunia nyata, dunia maya juga penuh dengan caci maki, fitnah, dan kata-kata tak
pantas bagi manusia beradab. Haji ingin mengembalikan manusia pada kesadaran
eksistensialnya. Haji ingin mengubah secara fundamental dan cepat pola pikir
dan perilaku manusia yang telah jauh dari nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Karena itu, betapa
sayangnya jika haji sekadar memenuhi kewajiban tanpa memaknai pesan agung di
dalamnya. Apalagi, haji yang sekadar untuk kebanggaan dan pencitraan politik.
Seakan-akan dosa sosial, dianggap terhapus dengan melakukan haji (atau umrah).
Haji dengan motif duniawi ini tidaklah disebut sebagai haji mabrur (haji yang
diterima). Sebab, haji ini tidak berdampak positif apa-apa.
Haji sesungguhnya
adalah instrumen untuk merevolusi mental yang akhirnya melahirkan transformasi
sosial. Nilai-nilai haji erat kaitannya dengan kehidupan sosial yang menjadi
tujuan akhir dari disyariatkannya haji. Haji bukan sekadar ritual yang
berkaitan dengan aspek spiritual atau tapak tilas jejak historis Ibrahim,
Hajar, dan Ismail pada masa silam.
Haji membawa pesan
kemanusiaan, seperti persaudaraan, persatuan, persamaan, kesetaraan, toleransi,
dan seterusnya. Ini modal utama bagi terciptanya transformasi sosial yang nyata
dan membawa perubahan bangsa ke arah yang lebih baik. Semoga.
Sumber: Kompas,
10 Agustus 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!