Oleh Lucius Poya
Hobamatan Pr
Imam Keuskupan
Pangkalpinang
HOMO
Viator: Manusia itu, makhluk peziarah. Begitulah St. Gregorius Agung berkata
tentang manusia. Beradanya manusia sebagai peziarah, karena di satu sisi manusia
dicipta untuk keabadian, selaras dengan Pencipta yang menciptakannya; di sisi
lain, manusia harus menenun hidup di sebuah dunia yang bersifat sementara dan
fana, sehingga perjuangan, penderitaan dan kematian juga harus menjadi
pengalaman nyata yang harus dicicipi.
Pergulatan untuk
membangun identitas yang paradoks, antara keabadian dan kesementaraan itu,
dirangkum dengan indah dalam kata homo viator, insan peziarah.
Karena manusia itu
pezirah, maka ia kembara di dunia namun terus mengarahkan diri menuju
keabadian. Karena manusia itu peziarah,
maka ia tunduk mengais nasib di dunia tempat awal hidup ditempuh, namun terus
menengadah kepada Sang Kahlik, karena di sanalah tujuan akhir seluruh kelana.
Karena manusia itu peziarah, maka walau ia terus berjuang menganyam hidup, dari satu tempat ke tempat yang lain, mendirikan kemah dan membongkar kemah, mengais nasib dengan peluh keringat untuk bertahan dalam hidup yang sementara; namun ia tetap sadar bahwa tempat pasti baginya yang tetap dan abadi adalah rumah Bapa.
Karena manusia itu peziarah, maka walau ia terus berjuang menganyam hidup, dari satu tempat ke tempat yang lain, mendirikan kemah dan membongkar kemah, mengais nasib dengan peluh keringat untuk bertahan dalam hidup yang sementara; namun ia tetap sadar bahwa tempat pasti baginya yang tetap dan abadi adalah rumah Bapa.
Rasanya identitas
sebagai homo viator, sebagai makhluk peziarah ini, melakat begitu erat dalam hidup Bapa Antonius Enga Tifaona; dan bagaimana
identitas ini dimaknai dalam tahun-tahun ziarah sampai dipenghujung hidupnya,
tanggal 15 Oktober 2017 yang silam.
Dari curiculum vitae
yang terpotret dalam bentang sejarah, tampak jelas bagaimana ia memaknai
idenitiasnya itu dengan setia.
Walau titik awal
terajut di bukit Imulolong, namun bukan di sana hidup itu ditancap, ia segera
hijrah ke bukit mandiri, terus meretas jalan menuju bukit Mataloko, untuk
menemukan kesejatian jalan hidupnya, namun di sana pun tak dijumpainya;
sehingga ia terus meniti jalan menuju bukit Syuradikara, untuk seterusnya
berziarah dari satu tempat ke tempat lain; pasang kemah dan bongkar kemah.
Kendati demikian,
sosok Bapa Anton tampil memukau sebagai peziarah, karena kualitas iman dan
kesejatian ilmu, yang membentuk integritas dirinya sejak dari tanah leluhur,
tak pernah tergerus oleh waktu, tak pernah tercemar oleh tempat walau cuaca terus
berbeda dan berubah, dari masa ke masa.
Integritas itulah
yang membesut dirinya bagai batu karang di tengah gelombang; menempatkannya di
bukit-bukit jabatan strategis dan mengantarnya menjadi salah seorang insan Nusa
Bunga untuk ikut memikirkan dan merumuskan ke mana seharusnya Gereja tempat ia
terlahir dan negeri khatulistiwa, tempat tumpah darahnya ini dibawa.
Begitulah Bapa Anton
memaknai identitasnya sebagai homo vator. Ia bagai sosok-sosok peziarah yang
ditampilkan Kitab Suci dalam pekan ini. Ia memang terlahir di pinggiran, namun ia
tidak mau menjadi orang buta. Tuhan membuka matanya untuk melihat dan mengikuti
Dia, kendati terus berpindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain.
Tuhanlah yang
meneguhkannya untuk membangun kejujuran dan
kesahajaan di tengah potret kehidupan yang diwarnai mentalitas pemungut cukai
seperti Zakeus yang lama, kendati dengan itu ia bersama keluarga harus tampil sederhana.
Tuhanlah yang mengasahnya untuk berjuang memeilihara diri sebagai Bait Allah, dan terus membesutnya menjadi hamba Allah yang setia menggandakan talenta dan mina, sehingga ia dipercaya untuk mendapuk jabatan-jabatan strategis baik untuk institusinya maupun untuk negeri ini, karena ia tidak mau negeri ini bersimbah darah, tinggal puing-puing seperti nasib Yerusalem, yang ditangisi Yesus di hari Kamis kemarin.
Tuhanlah yang mengasahnya untuk berjuang memeilihara diri sebagai Bait Allah, dan terus membesutnya menjadi hamba Allah yang setia menggandakan talenta dan mina, sehingga ia dipercaya untuk mendapuk jabatan-jabatan strategis baik untuk institusinya maupun untuk negeri ini, karena ia tidak mau negeri ini bersimbah darah, tinggal puing-puing seperti nasib Yerusalem, yang ditangisi Yesus di hari Kamis kemarin.
Pertanyaan kita
adalah mengapa Bapa Anton sanggup menampilkan sosok diri sebagai homo viator di
sebuah kanvas kehidupan yang penuh warna? Rasanya kuasa
Sabda Allah yang dikumandangkan pada 40 hari kematiannya hari ini memberi
jawaban.
Bagi Bapa Anton,
hidup bukanlah sekadar sebuah moment untuk dinikmati, melainkan sebuah tugas
dari Allah yang harus dipertanggungjawabkan. Dan oleh karena itu, ia tidak
melintasinya dengan kekuatan sendiri, melainkan selalu bersama Allah, dalam
spiritualitas seorang hamba.
Rasanya spiritualitas
dan integritas itu yang ditampilkan secara simbolik dalam hidupnya yang
sederhana namun berbobot, walau dengan itu, ia harus menghalau setiap moment
yang sebetulnya memberinya peluang untuk mendulang pundi-pundi; walau untuk itu
ia harus tegar di tengah simpang siur godaan di setiap posisi yang ia dapuk;
tanpa ada rasa gelisah di raut wajahnya; karena ia memiliki iman yang kokoh
akan Kristus yang wafat namun hidup kembali.
Kristus itulah yang
menjadi ragi yang mengembangkan adonan ziarah hidupnya; sehingga ia selalu sadar
diri bahwa hidup ini bersifat sementara dan keabadian ada di rumah Bapa. Dan
oleh karena itu, kendati hidup ini sementara, ia tetap memelihara diri sebagai
milik Tuhan dan menenun hidup itu untuk Tuhan, agar ia mati pun, mati untuk
Tuhan.
Oleh karena itu,
rasanya ada sebuah pesan dalam kebisuan Bapa Anton untuk saya dan anda yang
memperingati 40 hari kepergiannya, di penghujung ziarah Gereja hari ini, bahwa apapun situasi yang
dihadapi, bentuklah diri sebagai Homo Viator, tumbuhkanlah spiritualitas
sebagai hamba Allah yang berkualitas dan berintegritas, agar kita hidup, kita
hidup untuk Tuhan, supaya bila kita mati, kita mati dalam Tuhan.
Hanya dengan spiritualitas
ini, kita ditolong untuk menenun hidup sebagai tugas dari Allah yang harus
dipertanggung-jawabkan, saat Ia datang sebagai Raja Semesta Alam, yang akan
kita rayakan dalam misteri, pada Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam besok. Bapa
Anton, selamat menikmati Rumah Bapa. Berbahagialah di Nagi abadi. Doakanlah
kami yang masih berkelana sebagai Homo Viator. (Kotbah
disampaikan pada Misa 40 Hari Brigjen Pol (Purn) Drs Antonius Stefanus Enga Tifaona
di Gereja St Agustinus Halim Perdanakusuma, Jakarta, Sabtu, 25/11 2017)
Sumber: Harian Flores Pos,
27/11 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!