Headlines News :
Home » » Dari Ledalero untuk Indonesia

Dari Ledalero untuk Indonesia

Written By ansel-boto.blogspot.com on Saturday, August 31, 2019 | 2:12 PM

Oleh Otto Gusti
Alumnus Hochschule fuer Philosophie Muenchen, Jerman;
Dosen dan Ketua STFK Ledalero, Maumere, Flores 

PADA 8 September 2019, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Flores, Nusa Tenggara Timur, merayakan 50 tahun berdirinya. Perayaan 50 tahun itu merujuk pada pengakuan formal yang diberikan pemerintahan republik Indonesia kepada lembaga pendidikan tinggi ini pada 1969.

Akan tetapi, kegiatan belajar mengajar filsafat dan teologi sesungguhnya sudah dimulai pada 1932 ketika sebagian besar masyarakat Flores belum disentuh peradaban modern dan masih hidup berpindah-pindah di hutan-hutan.

Sejak berdirinya lembaga pendidikan tinggi Katolik ini sudah menghasilkan 5.800 alumnus dengan perincian 19 orang uskup, 1.822 imam Katolik, dan 3.978 (68,5%) awam. Sebanyak 500-an lebih di antaranya sedang bekerja sebagai imam Katolik atau misionaris di mancanegara.

Para misionaris yang diutus dari Ledalero tidak hanya mewartakan iman Katolik ke seantero jagat, tapi juga mewartakan Indonesia yang toleran dan pluralis. Itu karena sebagai kelompok minoritas di sebuah negara dengan mayoritas penduduk muslim, Gereja Katolik Indonesia di Ledalero tetap bebas mengelola sebuah panti pendidikan calon imam Katolik terbesar sedunia. Ini bukan saja prestasi Gereja Katolik, melainkan juga prestasi Indonesia di mata dunia.

Tantangan pasar kerja

Pada usia STFK Ledalero yang ke-50, pertanyaan penting yang perlu diajukan ialah bagaimana peran filsafat dan teologi harus dirumuskan dalam dunia dewasa ini yang ditandai dengan spesialisasi dan berorientasi pada teknologi dan ilmu pengetahuan empiris?

Pada 1845, dari tempat pengasingan di Brussel, Karl Marx dan Friedrich Engels merumuskan arti dari komunisme atau masyarakat tanpa kelas. Menurut keduanya, komunisme ialah sebuah masyarakat yang membuka ruang bagi setiap orang untuk bekerja apa saja sesuai keinginannya, seperti berburu binatang liar di pagi hari, menjadi nelayan di siang hari, menjalankan profesi sebagai gembala hewan di sore hari dan kritikus sastra atau filsuf setelah makan malam (Richard David Precht, 2018). Itulah gambaran sebuah masyarakat tanpa spesialisasi, tanpa kelas. Orang boleh bekerja apa saja sesuai dengan keinginan dan minatnya.

Belasan tahun silam kondisi yang sama juga masih dialami para tamatan STFK Ledalero. Mereka dengan mudah dapat bekerja apa saja sebab bursa pasar kerja belum menuntut spesialisasi yang ketat. Para filsuf dan teolog yang biasa mendapat julukan 'ilmuwan yang tahu banyak tentang sedikit' dengan mudah menembus segala ruang pasar kerja.

Akan tetapi, era bagi para generalis, waktu bagi para cendikiawan yang tahu banyak tentang sedikit sudah berlalu. Dunia kerja yang semakin kompetitif menuntut spesialisasi dari calon tenaga kerja. Bahkan, prototipe ideal seorang ilmuwan dewasa ini ialah 'Fachidiot'--orang yang ahli sekali di bidangnya, tapi tidak tahu apa-apa tentang ranah kehidupan yang lainnya. Tantangan spesialisasi ini menjadi lebih rumit lagi ketika dikombinasikan dengan perkembangan dunia ekonomi yang ditandai dengan proses 'digitalisasi'. Di kebanyakan negara industri maju, tenaga kerja manusia perlahan-lahan mulai diambil alih oleh apa yang dikenal dengan nama 'artificial intelligence (AI)' atau kecerdasan buatan, seperti robot dan komputer.

Peran filsafat dan teologi

Berhadapan dengan tantangan dan perkembangan zaman di atas, peran filsafat dan teologi tetap relevan. Pertama, filsafat dan teologi perlu sebagai sebuah strategi budaya. Perkembangan teknologi dan ekonomi tanpa strategi budaya akan menciptakan masyarakat yang inhuman, masyarakat barbar yang bekerja berdasarkan logika hukum rimba. Budaya di sini dimengerti sebagai orientasi dan visi dasar yang menata sebuah masyarakat agar menjadi lebih bermakna bagi hidup para warganya. Karena itu, filsafat dan teologi kontekstual hendaknya terus dikembangkan dalam dialog dengan ilmu-ilmu lain agar lebih peka dalam menjawabi tantangan zaman dan menawarkan makna bagi pertanyaan-pertanyaan dasar manusia dewasa ini.

Kedua, filsafat ialah metode berpikir kritis dan mandiri. Tantangan dan perubahan zaman hanya dapat dihadapi secara kreatif oleh seorang pribadi yang mandiri, kritis, dan terbuka terhadap peluang-peluang baru. Atau dalam kata-kata David Precht: 'Die Zukunkft kommt nicht! Die Zukunft wird von uns gemacht! Und die Frage ist nicht: Wie werden wir leben? Sondern: Wie wollen wir leben?" (Masa depan itu bukan nasib yang datang dengan sendirinya, kitalah yang merancangnya. Maka itu, pertanyaannya bukan bagaimana kita akan hidup, melainkan bagaimana kita mau merancang kehidupan).

Peran filsafat sebagai sebuah metode berpikir mandiri sangat penting agar masa depan hidup manusia dan tatanan sosial tidak diserahkan pada kekuasaan nasib minus tanggung jawab manusia.

Peran STFK Ledalero untuk kehidupan beragama di Indonesia ialah terus berkontribusi dalam membuka ruang komunikasi antara nalar dan teologi, akal budi dan iman. Pengembangan ilmu teologi dan filsafat berperan penting dalam menumbuhkan daya kritis agama-agama di ruang publik. Dengan demikian, agama-agama tidak terperangkap dalam bahaya radikalisme dan eksklusivisme yang mengancam kesatuan Indonesia dalam kebinekaan. 
Sumber: Media Indonesia, 29 Agustus 2019
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger