Oleh Otto Gusti
Alumnus Hochschule fuer Philosophie Muenchen, Jerman;
Dosen dan Ketua STFK Ledalero, Maumere, Flores
PADA 8 September 2019, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero,
Flores, Nusa Tenggara Timur, merayakan 50 tahun berdirinya. Perayaan 50 tahun
itu merujuk pada pengakuan formal yang diberikan pemerintahan republik
Indonesia kepada lembaga pendidikan tinggi ini pada 1969.
Akan tetapi,
kegiatan belajar mengajar filsafat dan teologi sesungguhnya sudah dimulai pada
1932 ketika sebagian besar masyarakat Flores belum disentuh peradaban modern
dan masih hidup berpindah-pindah di hutan-hutan.
Sejak berdirinya
lembaga pendidikan tinggi Katolik ini sudah menghasilkan 5.800 alumnus dengan
perincian 19 orang uskup, 1.822 imam Katolik, dan 3.978 (68,5%) awam. Sebanyak
500-an lebih di antaranya sedang bekerja sebagai imam Katolik atau misionaris
di mancanegara.
Para misionaris
yang diutus dari Ledalero tidak hanya mewartakan iman Katolik ke seantero
jagat, tapi juga mewartakan Indonesia yang toleran dan pluralis. Itu karena
sebagai kelompok minoritas di sebuah negara dengan mayoritas penduduk
muslim, Gereja Katolik Indonesia di Ledalero tetap bebas mengelola sebuah panti
pendidikan calon imam Katolik terbesar sedunia. Ini bukan saja prestasi Gereja
Katolik, melainkan juga prestasi Indonesia di mata dunia.
Tantangan pasar
kerja
Pada usia STFK
Ledalero yang ke-50, pertanyaan penting yang perlu diajukan ialah bagaimana
peran filsafat dan teologi harus dirumuskan dalam dunia dewasa ini yang
ditandai dengan spesialisasi dan berorientasi pada teknologi dan ilmu
pengetahuan empiris?
Pada 1845, dari
tempat pengasingan di Brussel, Karl Marx dan Friedrich Engels merumuskan arti
dari komunisme atau masyarakat tanpa kelas. Menurut keduanya, komunisme ialah
sebuah masyarakat yang membuka ruang bagi setiap orang untuk bekerja apa saja
sesuai keinginannya, seperti berburu binatang liar di pagi hari, menjadi
nelayan di siang hari, menjalankan profesi sebagai gembala hewan di sore hari
dan kritikus sastra atau filsuf setelah makan malam (Richard David Precht,
2018). Itulah gambaran sebuah masyarakat tanpa spesialisasi, tanpa kelas. Orang
boleh bekerja apa saja sesuai dengan keinginan dan minatnya.
Belasan tahun silam
kondisi yang sama juga masih dialami para tamatan STFK Ledalero. Mereka dengan
mudah dapat bekerja apa saja sebab bursa pasar kerja belum menuntut
spesialisasi yang ketat. Para filsuf dan teolog yang biasa mendapat julukan
'ilmuwan yang tahu banyak tentang sedikit' dengan mudah menembus segala ruang
pasar kerja.
Akan tetapi, era
bagi para generalis, waktu bagi para cendikiawan yang tahu banyak tentang
sedikit sudah berlalu. Dunia kerja yang semakin kompetitif menuntut
spesialisasi dari calon tenaga kerja. Bahkan, prototipe ideal seorang ilmuwan
dewasa ini ialah 'Fachidiot'--orang yang ahli sekali di bidangnya, tapi tidak
tahu apa-apa tentang ranah kehidupan yang lainnya. Tantangan spesialisasi ini
menjadi lebih rumit lagi ketika dikombinasikan dengan perkembangan dunia
ekonomi yang ditandai dengan proses 'digitalisasi'. Di kebanyakan negara
industri maju, tenaga kerja manusia perlahan-lahan mulai diambil alih oleh apa
yang dikenal dengan nama 'artificial intelligence (AI)' atau kecerdasan buatan,
seperti robot dan komputer.
Peran filsafat dan
teologi
Berhadapan dengan
tantangan dan perkembangan zaman di atas, peran filsafat dan teologi tetap
relevan. Pertama, filsafat dan teologi perlu sebagai sebuah strategi budaya.
Perkembangan teknologi dan ekonomi tanpa strategi budaya akan menciptakan
masyarakat yang inhuman, masyarakat barbar yang bekerja berdasarkan logika
hukum rimba. Budaya di sini dimengerti sebagai orientasi dan visi dasar yang
menata sebuah masyarakat agar menjadi lebih bermakna bagi hidup para warganya.
Karena itu, filsafat dan teologi kontekstual hendaknya terus dikembangkan dalam
dialog dengan ilmu-ilmu lain agar lebih peka dalam menjawabi tantangan zaman
dan menawarkan makna bagi pertanyaan-pertanyaan dasar manusia dewasa ini.
Kedua, filsafat
ialah metode berpikir kritis dan mandiri. Tantangan dan perubahan zaman hanya
dapat dihadapi secara kreatif oleh seorang pribadi yang mandiri, kritis, dan terbuka
terhadap peluang-peluang baru. Atau dalam kata-kata David Precht: 'Die Zukunkft
kommt nicht! Die Zukunft wird von uns gemacht! Und die Frage ist nicht: Wie
werden wir leben? Sondern: Wie wollen wir leben?" (Masa depan itu bukan
nasib yang datang dengan sendirinya, kitalah yang merancangnya. Maka itu,
pertanyaannya bukan bagaimana kita akan hidup, melainkan bagaimana kita mau
merancang kehidupan).
Peran filsafat
sebagai sebuah metode berpikir mandiri sangat penting agar masa depan hidup
manusia dan tatanan sosial tidak diserahkan pada kekuasaan nasib minus tanggung
jawab manusia.
Peran STFK Ledalero
untuk kehidupan beragama di Indonesia ialah terus berkontribusi dalam membuka
ruang komunikasi antara nalar dan teologi, akal budi dan iman. Pengembangan
ilmu teologi dan filsafat berperan penting dalam menumbuhkan daya kritis
agama-agama di ruang publik. Dengan demikian, agama-agama tidak terperangkap dalam
bahaya radikalisme dan eksklusivisme yang mengancam kesatuan Indonesia dalam
kebinekaan.
Sumber: Media Indonesia, 29 Agustus 2019
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!