Headlines News :
Home » » Resensi: Dari Lamaholot untuk Indonesia

Resensi: Dari Lamaholot untuk Indonesia

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, June 01, 2009 | 10:44 PM

SALAH satu agenda penting reformasi yang bergulir sepuluh tahun lalu yakni amandemen terhadap Undang-undang Dasar (UUD) 1945 sebanyak empat kali: 1999, 2000, 2001, dan 2002. Sejumlah pasal ikut diamandemen dan salah satu poin penting dalam amandemen yakni dimasukkannya Bab XA ke dalam konstitusi berjudul Hak Asasi Manusia (HAM) yang memuat 10 pasal. Yakni Pasal 28A sampai 28J yang mengatur bagaimana hak-hak dasar manusia harus dilindungi dan diadvokasi.

Apa yang melatari dimasukkannya pasal-pasal tentang HAM pada perubahan kedua, misalnya, karena selama masa Orde Baru terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang dilakukan negara. Sementara di lain sisi, sepertinya tak ada landasan konstitusional yang kuat untuk melakukan pembelaan dan advokasi terhadap hak-hak asasi manusia yang tercederai.

Jika dicermati, sebanyak 10 pasal itu pun diadopsi dan dimodifikasi dari Universal Declaration of Human Rights tahun 1948. Juga International Covenant on Civil and Political Rights tahun 1966, terutama pasal tentang hak atas komunikasi dan akses kepada informasi. Pengalaman memasukkan pasal-pasal tentang HAM ke dalam konstitusi bukan kali pertama dilakukan oleh Indonesia. Misalnya, pada tahun 1950 diberlakukan UUD Sementara di mana pasal-pasal tentang HAM sudah dimasukkan.

Karena itu, menurut Marianus Kleden dalam Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Komunal merujuk Muhammad Yamin, selama hamper 10 tahun, Indonesia merupakan satu-satunya negara di dunia dengan konstitusi yang paling lengkap pasal-pasalnya tentang HAM.

Ada pertanyaan menggelitik. Apakah dengan dimasukkannya sebuah bab khusus tentang HAM, masyarakat Indonesia akan menjadi lebih dibela, diadvokasi, dan dipraktekkan dalam kehidupan bernegara. Guna menjawab pertanyaan itu, Marianus meneliti sejarah Indonesia dan sejarah beberapa negara.

Sesungguhnya tahun 1950, Indonesia sudah memasukkan HAM ke dalam konstitusi. Tahun 1950 merupakan tahun di mana Indonesia merupakan salah satu negara dengan konstitusi yang memiliki teks HAM terlengkap di dunia. Tetapi, selanjutnya terjadi perdebatan panjang dalam konstituante karena Bung Karno, Bung Hatta, Muhammad Yamin, dan lain-lain selalu berdebat apakah memang perlu dimasukkan pasal-pasal tentang HAM atau tidak. Dengan Kredit Presiden 5 Juli 1959, terhadap beberapa hak dalam teks asli UUD 1945.

“Tahun 2000, kita memasukkan lagi pasal-pasal tentang HAM yang dalam hitungan saya sudah memuat kurang lebih 17 HAM. Jadi, saya kembali bertanya apakah ini membantu masyarakat kita atau tidak. Pada tahun 1949, Cina melakukan hal yang sama yakni memasukkan pasal-pasal tentang HAM di dalam konstitusinya, tetapi sampai dengan saat ini pelanggaran berat HAM masih saja terjadi,” kata Marianus.

Artinya, dimasukkannya pasal-pasal tentang HAM di Cina tidak berdampak pada dibelanya HAM warga di negeri itu. Hal yang sama juga dilakukan negara-negara di lautan Pasifik seperti Fanuatu, Papua New Guinea, Kepulauan Salomon, dan beberapa negara kecil lainnya. Namun, akhirnya negara-negara itu menjadi bingung sendiri karena ketika pasal-pasal yang berwatak individualistik itu diperhadapkan dengan cara pikir kolektif, mereka menjadi gamang dengan apa yang disebut HAM itu.

Di Jepang malah sebaliknya. Pasal-pasal tentang HAM dimasukkan ke dalam konstitusi tidak dalam pengertian individual tetapi dalam pengertian kolektif atau komunal. Jadi, hak individu tidak disebutkan tetapi hak bersama warga negara, people’s right. Manariknya, meskipun hak-hak individual tidak diatur, perlindungan HAM di Jepang relatif baik dan penghargaan terhadap martabat manusia merupakan etos hidup yang dipraktekkan baik oleh pemerintah maupun rakyat (hal. xi). Dengan pengalaman ini, Marianus ingin mengajukan sebuah tesis bahwa dimasukkannya pasal-pasal tentang HAM perlu merespon cara pikir asli agar pelaksanaan HAM itu lebih jalan, lebih gayung, lebih nyambung dengan alam pikir masyarakat setempat.

Dosen yang pernah belajar pada Departemen Sosiologi Ohio State University, Columbus, AS, tahun 1991, itu mengemukakan, HAM tidak dipraktekkan sebagai sesuatu yang asing tetapi sesuatu yang dihayati sehari-hari. Pengalamannya di beberapa wilayah di Indonesia memperlihatkan bahwa setelah warga negara diperkenalkan dengan HAM mereka lebih suka mengklaim hak dan lupa dengan kewajiban. Karena itu, dalam perspektif komunal bukan hak yang terpenting tetapi kewajiban. Mengapa, karena dengan melaksanakan kewajiban-kewajibannya maka hak-hak asasi sudah terpenuhi dengan sendirinya.

Sekalipun mengeksplorasi HAM dalam teks adat Lamaholot –di bagian timur Pulau Flores, Pulau Adonara, Solor, dan Lembata– dibandingkan dengan teks HAM dalam UUD 1945 khusus Bab X pasal 28A sampai dengan 28J, buku itu cukup diapresiasi. Dr Adhi Santhika dari Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Hukum dan HAM RI menilai, buku itu merupakan karya yang “genuine” dan kontekstual karena dapat dijadikan dasar dan referensi untuk daerah masyarakat adat lainnya di Indonesia.

Ketua Dewan Pakar Sekretariat Nasional Masyarakat Hukum Adat dan mantan Komisioner Hak Masyarakat Hukum Adat Komnas HAM Dr Saafroedin Bahar menilai, tesis antropologi politik tentang masyarakat komunal Marianus perlu disambut gembira. Kalau tak salah, mungkin karya ini merupakan studi yang pertama kali.

Buku ini, kata komisioner Komnas HAM Adi Prasetyo, cukup luas membahas sejarah kelahiran konsep HAM hingga implementasinya. Termasuk berbagai dasar pemikiran mengenai konsep HAM secara filsafati. Namun, bagian terpenting dalam buku ini adalah pembahasan mengenai nilai-nilai HAM yang dianut masyarakat Lamaholot (kabupaten Flores Timur dan Lembata). Masyarakat di dua kawasan ini memiliki kearifan lokal, local wisdom, di mana ajaran dan tradisi setempat ternyata sangat menghormati nilai-nilai HAM. “Buku ini memperkaya pemahaman kita semua tentang apa itu HAM dan bagaimana nilai-nilai HAM telah mengakar kuat pada sebagian masyarakat Indonesia,” terang Adi (hal. xxvii).
Ansel Deri
persensi adalah penulis lepas tinggal di Jakarta
Sumber: Koran Jakarta, 1 Juni 2009
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger