Headlines News :
Home » , » Kurikulum 2013: Gado-gado

Kurikulum 2013: Gado-gado

Written By ansel-boto.blogspot.com on Saturday, November 02, 2013 | 12:11 PM

Oleh Cyprianus Aoer
Anggota Komisi X DPR Periode 2004-2009

Kurikulum di Indonesia tidak pernah baku karena selalu berubah. Kurikulum pendidikan di Indonesia sepertinya belum pernah menemukan jati diri dan formulasi tepat karena selalu berubah.

Gonta-ganti kurikulum berlangsung sejalan dengan gonta-ganti menteri dalam kabinet. Kita menyadari kurikulum menjadi bagian integral sebagai salah satu metode dan parameter pencapaian mutu pendidikan. Demikian juga Kurikulum 2013.

Kurikulum baru ini tampaknya dipaksakan sebagai perubahan dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebelumnya. Hingga kini kurikulum tersebut masih menjadi pro dan kontra walaupun sudah diumumkan penerapannya dimulai 15 Juli 2013. Mengapa? Karena datangnya mendadak, tanpa ada penelitian mendalam dan belum disosialisasikan secara serius. DPR sebagai representasi suara rakyat tidak serius menanggapinya.

Seperti kita maklumi, ada enam poin pada Kurikulum 2013 sebagai target perubahan. Penataan sistem perbukuan, penataan Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) dalam penyiapan dan pengadaan guru, penataan terhadap pola pelatihan guru. Memperkuat budaya sekolah melalui pengintegrasian kurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler, serta penguatan peran guru bimbingan dan konseling (BK).

Memperkuat NKRI melalui kegiatan ekstrakurikuler kepramukaan, peserta didik mendapat porsi tambahan pendidikan karakter, baik menyangkut nilai-nilai kebangsaan, keagamaan, toleransi dan lainnya. Terakhir memperkuat integrasi pengetahuan-bahasa-budaya

Dalam konteks enam perubahan tersebut, menarik sekali komentar Darmaningtyas, pengamat pendidikan yang merupakan satu anggota tim perumus Kurikulum 2013. “Kurikulum 2013 bukan sesuatu yang baru, karena merupakan kombinasi dari Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan,” ujarnya baru-baru ini seperti yang dikutip Antara.

Pernyataan Darmaningtyas tersebut perlu ditanggapi serius karena sedikit memberikan indikasi apa sebetulnya substansi dari Kurikulum 2013 itu.

Untuk itu, perlu kita menoleh ke sejarah pendidikan masa lalu seperti dikatakan Presiden Soekarno, jangan sekali-sekali melupakan sejarah (jasmerah). Sejak Indonesia merdeka tercatat telah terjadi 11 kali perubahan kurikulum. Artinya pada zaman Orde Lama (Orla) atau zaman Presiden Soekarno berkuasa, terjadi tiga kali perubahan kurikulum.

Pada Orde Baru (Orba) atau zaman kekuasaan Presiden Soeharto, terjadi lima kali pergantian kurikulum. Lalu zaman Reformasi terjadi tiga kali perubahan kurikulum, yaitu rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004, KTSP tahun 2006,dan Kurikulum 2013 yang segera diberlakukan.

Apakah Kurikulum 2013 akan mengalami nasib sama seperti kurikulum sebelumnya? Kalau kita bisa mengikuti alur pikiran tokoh di atas, bisa ditarik benang merah bahwa Kurikulum 2013 adalah kurikulum campur (gado-gado) antara CBSA dan KTSP. Kita mengetahui CBSA dan KTSP dinyatakan gagal.

Uji coba CBSA dilaksanakan di Kabupaten Cianjur tahun 1981. Setelah berlangsung 15 tahun dinyatakan gagal oleh Menteri Pendidikan Nasional Prof Wardiman Djojonegoro. KTSP selalu mendapat kritikan dari para guru dan pengamat yang dianggap gagal.

CBSA adalah suatu metode belajar-mengajar untuk meningkatkan mutu pendidikan, dengan menekankan keaktifan siswa disesuaikan kemampuan murid. Bentuk keaktifan itu dapat bermacam-macam, misalnya diskusi kelompok, ceramah, menulis laporan, dan lain-lain.

Bentuk-bentuk kegiatan tersebut harus dikuasai dan dipersiapkan guru dengan matang, untuk menghindarkan kebosanan di kalangan siswa. Dalam kegiatan tersebut, siswa dilibatkan secara aktif, sedangkan guru bertindak sebagai pembimbing (tutor).

Sebagai wartawan Suara Pembaruan, tahun 1987 saya ditugaskan mengamati pelaksanaan CBSA di Cianjur karena hasil CBSA dianggap sangat menggembirakan. Contohnya, hasil Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) tahun 1987, banyak SD di Kabupaten Cianjur menduduki posisi paling baik se-Jawa Barat.

CBSA bertolak dari anggapan, bahwa siswa memiliki kemampuan dan pengetahuan yang bisa dikembangkannya sendiri kalau diberi motivasi, sehingga mereka terlibat secara aktif, afektif, kognitif, dan psikomotoris.

Dengan CBSA diharapkan siswa dididik untuk melatih keterampilannya, memproses segala sesuatu yang ditemuinya dalam kehidupan sehari-hari sebagai sumber pengetahuannya. Diharapkan siswa bisa bertanya, menemukan, mengamati, menganalisa, menyimpulkan, dan membuat laporan sehingga bisa memiliki sikap kritis, penuh inisiatif, dan mampu mengatasi masalah yang dihadapinya. Itu berarti CBSA dapat mengganti sistem yang dikenal dengan istilah ”duduk, dengar, catat, dan hafal”.

Lalu mengapa dinyatakan gagal? Seperti biasa setiap kali perubahan kurikulum, guru kurang siap melaksanakan sistem baru. Pengetahuannya tentang CBSA dan pelaksanaannya kurang memadai.

Sekolah Pendidikan Guru sebagai penyedia tenaga pengajar juga kurang mempersiapkan siswanya untuk mengajar dengan sistem CBSA. Banyak guru menghadapi kesulitan dalam membuat LK setiap kali akan mengajar, sehingga proses belajar-mengajar yang dilakukan cenderung dengan cara lama yang kurang mengaktifkan siswa.

Hambatan itu menjadikan CBSA dilaksanakan hanya pada mata pelajaran tertentu dan tidak pada setiap kelas.

Hambatan utama CBSA berkaitan dengan kualitas pengajar yang tidak merata di seluruh Indonesia, di samping terbatasnya dana untuk membeli alat-alat peraga sebagai daya penunjang, seperti pengadaan LK dan biaya penataran bagi guru. Apakah Kurikulum 2013 mengalami nasib seperti CBSA?

Nasionalisme Bisa Kandas

Lalu bagaimana dengan persoalan KTSP? Rencananya KTSP semula diterapkan secara nasional tahun 2009. Kita mengakui, KTSP bukan satu-satunya model perencanaan pembelajaran, sekalipun KTSP sangat nyata bagi pengembangan psikologi belajar.

KTSP tidak sekadar mengembangkan kepribadian siswa dalam konteks masyarakatnya yang berciri ”lokalis”, tetapi harus diarahkan kepada jiwa nasionalis dan rasa kebangsaan. Mata pelajaran bukan hanya berdasarkan kepentingan anak dalam masyarakatnya, tetapi berdasarkan kepribadian anak untuk hidup berbangsa dan bernegara.

KTSP menjadi masalah serius ketika pemerintah mengabaikan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang ketika itu langsung melakukan sosialisasi KTSP. Menghadapi kenekatan pemerintah tersebut, periode 2004-2009 DPR (ketika itu penulis masih di Komisi X) melakukan tindakan politik dengan membentuk panitia kerja (panja), untuk menilai kebijakan pemerintah di beberapa provinsi dan mengecek persiapan di lapangan tentang KTSP.

Saya dan beberapa teman mendapat kesempatan mengunjungi NTT. Di lapangan ditemukan banyak guru, kepala sekolah, dan masyarakat sebagai pemangku kepentingan pendidikan belum tahu tentang KTSP.

Kenyataannya, kualitas dan kualifikasi akademik guru SD masih rendah, yakni sekitar 80 persen guru SD belum memiliki kualifikasi S-1. Kompetensi dan kapasitas keilmuan dari pendidik SD dan SMP belum mendukung proses rumusan kebijakan pendidikan dalam bentuk KTSP. Banyak silabus yang dicontek dari sekolah lain, dan lainnya.

Salah satu tujuan KTSP adalah mengutamakan pendidikan kewarganegaraan, untuk menghayati identitas nasional anak dalam konteks muatan lokal (konsep multikultural).

Namun, munculnya sikap bangga berlebihan pada daerah sendiri sesuai prinsip otonomi daerah, berakibat berkembangnya etnosentrisme yang bisa menjadi cikal-bakal kehancuran ideologi kebangsaan dan nasionalisme Indonesia. Hal ini bisa mengkandaskan nasionalisme. DPR ketika itu meminta pemerintah melakukan kajian komprehensif dan uji publik merata, minimal di tingkat provinsi, untuk memastikan standar isi lokal dan nasional.

Selain itu, keberadaan faktor pendukung pelaksanaan kurikulum tingkat sekolah/kelompok belum maksimal dilaksanakan. Pendidik terkadang kekurangan informasi dan stimulus mengenai pengembangan kurikulum berbasis sekolah/kelompok.

Jika pendidik tidak memperolehnya, pengembangan kurikulum sukar terwujud apalagi sampai mencapai taraf yang standar. Padahal, keberadaan faktor pendukung yang membantu pendidik dan warga sekolah/kelompok lain sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan KTSP.

Tidak hanya itu, belum ada partisipasi semua jajaran sekolah/kelompok dalam pengambilan keputusan dalam pengembangan kurikulum. Ada beberapa pertimbangan di mana kurikulum pendidikan diserahkan ke sekolah dengan nama KTSP ternyata tidak efektif. Buktinya, setelah dilakukan evaluasi ada beberapa hal yang dinilai tidak tepat, terutama terkait kurikulum penguatan nasionalisme.

Mengapa? Selama ini anak-anak kita dinilai tidak memiliki waktu untuk membangun karakter dirinya. Pendidikan yang diberikan oleh sekolah hanya menekankan pembelajaran yang bersifat akademik, sementara yang bersifat perilaku diabaikan.

Artinya, konsep pendidikan nasional yang diterapkan telah mengabaikan pendidikan watak/karakter dan kemampuan bernalar. Akibatnya, terjadi krisis moral di mana-mana, seperti perkelahian pelajar, menyontek, banyak siswa terlibat masalah seksual, narkoba, dan lain-lain.

Apakah Kurikulum 2013 mampu mengatasi masalah-masalah yang gagal implementasinya seperti CBSA dan KTSP? Kita setuju saja alasan Kurikulum 2013 diterapkan adalah tuntutan adanya perubahan fundamental terhadap perilaku dan pengetahuan peserta didik secara mandiri, cerdas, kritis, rasional, dan kreatif.

Apakah tujuan ini akan tercapai? Tentu saja, pengintegrasian CBSA dan KTSP bukan sekadar gado-gado, tetapi berdasarkan kajian mendalam agar membawa manfaat untuk mutu pendidikan. Walau masyarakat masih bingung dan belum memahami sepenuhnya apa isi Kurikulum 2013 itu, kita tetap optimistis dan menunggu.
Sumber: Sinar Harapan, 1 November 2013
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger