Oleh Cyprianus Aoer
Anggota Komisi X
DPR Periode 2004-2009
Kurikulum di
Indonesia tidak pernah baku karena selalu berubah. Kurikulum pendidikan
di Indonesia sepertinya belum pernah menemukan jati diri dan formulasi tepat
karena selalu berubah.
Gonta-ganti
kurikulum berlangsung sejalan dengan gonta-ganti menteri dalam kabinet. Kita
menyadari kurikulum menjadi bagian integral sebagai salah satu metode dan
parameter pencapaian mutu pendidikan. Demikian juga Kurikulum 2013.
Kurikulum baru ini
tampaknya dipaksakan sebagai perubahan dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) sebelumnya. Hingga kini kurikulum tersebut masih menjadi pro dan kontra
walaupun sudah diumumkan penerapannya dimulai 15 Juli 2013. Mengapa? Karena datangnya
mendadak, tanpa ada penelitian mendalam dan belum disosialisasikan secara
serius. DPR sebagai representasi suara rakyat tidak serius menanggapinya.
Seperti kita
maklumi, ada enam poin pada Kurikulum 2013 sebagai target perubahan. Penataan
sistem perbukuan, penataan Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) dalam
penyiapan dan pengadaan guru, penataan terhadap pola pelatihan guru. Memperkuat
budaya sekolah melalui pengintegrasian kurikuler, kokurikuler, dan
ekstrakurikuler, serta penguatan peran guru bimbingan dan konseling (BK).
Memperkuat NKRI
melalui kegiatan ekstrakurikuler kepramukaan, peserta didik mendapat porsi
tambahan pendidikan karakter, baik menyangkut nilai-nilai kebangsaan,
keagamaan, toleransi dan lainnya. Terakhir memperkuat integrasi
pengetahuan-bahasa-budaya
Dalam konteks enam
perubahan tersebut, menarik sekali komentar Darmaningtyas, pengamat pendidikan
yang merupakan satu anggota tim perumus Kurikulum 2013. “Kurikulum 2013 bukan
sesuatu yang baru, karena merupakan kombinasi dari Cara Belajar Siswa Aktif
(CBSA) dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan,” ujarnya baru-baru ini
seperti yang dikutip Antara.
Pernyataan
Darmaningtyas tersebut perlu ditanggapi serius karena sedikit memberikan
indikasi apa sebetulnya substansi dari Kurikulum 2013 itu.
Untuk itu, perlu
kita menoleh ke sejarah pendidikan masa lalu seperti dikatakan Presiden
Soekarno, jangan sekali-sekali melupakan sejarah (jasmerah). Sejak Indonesia
merdeka tercatat telah terjadi 11 kali perubahan kurikulum. Artinya pada zaman
Orde Lama (Orla) atau zaman Presiden Soekarno berkuasa, terjadi tiga kali
perubahan kurikulum.
Pada Orde Baru
(Orba) atau zaman kekuasaan Presiden Soeharto, terjadi lima kali pergantian
kurikulum. Lalu zaman Reformasi terjadi tiga kali perubahan kurikulum, yaitu
rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004, KTSP tahun 2006,dan
Kurikulum 2013 yang segera diberlakukan.
Apakah Kurikulum
2013 akan mengalami nasib sama seperti kurikulum sebelumnya? Kalau kita bisa
mengikuti alur pikiran tokoh di atas, bisa ditarik benang merah bahwa Kurikulum
2013 adalah kurikulum campur (gado-gado) antara CBSA dan KTSP. Kita mengetahui
CBSA dan KTSP dinyatakan gagal.
Uji coba CBSA
dilaksanakan di Kabupaten Cianjur tahun 1981. Setelah berlangsung 15 tahun
dinyatakan gagal oleh Menteri Pendidikan Nasional Prof Wardiman Djojonegoro.
KTSP selalu mendapat kritikan dari para guru dan pengamat yang dianggap gagal.
CBSA adalah suatu
metode belajar-mengajar untuk meningkatkan mutu pendidikan, dengan menekankan
keaktifan siswa disesuaikan kemampuan murid. Bentuk keaktifan itu dapat
bermacam-macam, misalnya diskusi kelompok, ceramah, menulis laporan, dan
lain-lain.
Bentuk-bentuk
kegiatan tersebut harus dikuasai dan dipersiapkan guru dengan matang, untuk
menghindarkan kebosanan di kalangan siswa. Dalam kegiatan tersebut, siswa
dilibatkan secara aktif, sedangkan guru bertindak sebagai pembimbing (tutor).
Sebagai wartawan
Suara Pembaruan, tahun 1987 saya ditugaskan mengamati pelaksanaan CBSA di
Cianjur karena hasil CBSA dianggap sangat menggembirakan. Contohnya, hasil
Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) tahun 1987, banyak SD di
Kabupaten Cianjur menduduki posisi paling baik se-Jawa Barat.
CBSA bertolak dari
anggapan, bahwa siswa memiliki kemampuan dan pengetahuan yang bisa
dikembangkannya sendiri kalau diberi motivasi, sehingga mereka terlibat secara
aktif, afektif, kognitif, dan psikomotoris.
Dengan CBSA diharapkan
siswa dididik untuk melatih keterampilannya, memproses segala sesuatu yang
ditemuinya dalam kehidupan sehari-hari sebagai sumber pengetahuannya.
Diharapkan siswa bisa bertanya, menemukan, mengamati, menganalisa,
menyimpulkan, dan membuat laporan sehingga bisa memiliki sikap kritis, penuh
inisiatif, dan mampu mengatasi masalah yang dihadapinya. Itu berarti CBSA dapat
mengganti sistem yang dikenal dengan istilah ”duduk, dengar, catat, dan hafal”.
Lalu mengapa
dinyatakan gagal? Seperti biasa setiap kali perubahan kurikulum, guru kurang
siap melaksanakan sistem baru. Pengetahuannya tentang CBSA dan pelaksanaannya
kurang memadai.
Sekolah Pendidikan
Guru sebagai penyedia tenaga pengajar juga kurang mempersiapkan siswanya untuk
mengajar dengan sistem CBSA. Banyak guru menghadapi kesulitan dalam membuat LK
setiap kali akan mengajar, sehingga proses belajar-mengajar yang dilakukan
cenderung dengan cara lama yang kurang mengaktifkan siswa.
Hambatan itu menjadikan
CBSA dilaksanakan hanya pada mata pelajaran tertentu dan tidak pada setiap
kelas.
Hambatan utama CBSA
berkaitan dengan kualitas pengajar yang tidak merata di seluruh Indonesia, di
samping terbatasnya dana untuk membeli alat-alat peraga sebagai daya penunjang,
seperti pengadaan LK dan biaya penataran bagi guru. Apakah Kurikulum 2013
mengalami nasib seperti CBSA?
Nasionalisme Bisa
Kandas
Lalu bagaimana
dengan persoalan KTSP? Rencananya KTSP semula diterapkan secara nasional tahun
2009. Kita mengakui, KTSP bukan satu-satunya model perencanaan pembelajaran,
sekalipun KTSP sangat nyata bagi pengembangan psikologi belajar.
KTSP tidak sekadar
mengembangkan kepribadian siswa dalam konteks masyarakatnya yang berciri
”lokalis”, tetapi harus diarahkan kepada jiwa nasionalis dan rasa kebangsaan.
Mata pelajaran bukan hanya berdasarkan kepentingan anak dalam masyarakatnya,
tetapi berdasarkan kepribadian anak untuk hidup berbangsa dan bernegara.
KTSP menjadi
masalah serius ketika pemerintah mengabaikan Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK), yang ketika itu langsung melakukan sosialisasi KTSP. Menghadapi
kenekatan pemerintah tersebut, periode 2004-2009 DPR (ketika itu penulis masih
di Komisi X) melakukan tindakan politik dengan membentuk panitia kerja (panja),
untuk menilai kebijakan pemerintah di beberapa provinsi dan mengecek persiapan
di lapangan tentang KTSP.
Saya dan beberapa
teman mendapat kesempatan mengunjungi NTT. Di lapangan ditemukan banyak guru,
kepala sekolah, dan masyarakat sebagai pemangku kepentingan pendidikan belum
tahu tentang KTSP.
Kenyataannya,
kualitas dan kualifikasi akademik guru SD masih rendah, yakni sekitar 80 persen
guru SD belum memiliki kualifikasi S-1. Kompetensi dan kapasitas keilmuan dari
pendidik SD dan SMP belum mendukung proses rumusan kebijakan pendidikan dalam
bentuk KTSP. Banyak silabus yang dicontek dari sekolah lain, dan lainnya.
Salah satu tujuan
KTSP adalah mengutamakan pendidikan kewarganegaraan, untuk menghayati identitas
nasional anak dalam konteks muatan lokal (konsep multikultural).
Namun, munculnya
sikap bangga berlebihan pada daerah sendiri sesuai prinsip otonomi daerah,
berakibat berkembangnya etnosentrisme yang bisa menjadi cikal-bakal kehancuran
ideologi kebangsaan dan nasionalisme Indonesia. Hal ini bisa mengkandaskan
nasionalisme. DPR ketika itu meminta pemerintah melakukan kajian komprehensif
dan uji publik merata, minimal di tingkat provinsi, untuk memastikan standar
isi lokal dan nasional.
Selain itu, keberadaan
faktor pendukung pelaksanaan kurikulum tingkat sekolah/kelompok belum maksimal
dilaksanakan. Pendidik terkadang kekurangan informasi dan stimulus mengenai
pengembangan kurikulum berbasis sekolah/kelompok.
Jika pendidik tidak
memperolehnya, pengembangan kurikulum sukar terwujud apalagi sampai mencapai
taraf yang standar. Padahal, keberadaan faktor pendukung yang membantu pendidik
dan warga sekolah/kelompok lain sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan KTSP.
Tidak hanya itu,
belum ada partisipasi semua jajaran sekolah/kelompok dalam pengambilan
keputusan dalam pengembangan kurikulum. Ada beberapa pertimbangan di mana
kurikulum pendidikan diserahkan ke sekolah dengan nama KTSP ternyata tidak
efektif. Buktinya, setelah dilakukan evaluasi ada beberapa hal yang dinilai
tidak tepat, terutama terkait kurikulum penguatan nasionalisme.
Mengapa? Selama ini
anak-anak kita dinilai tidak memiliki waktu untuk membangun karakter dirinya.
Pendidikan yang diberikan oleh sekolah hanya menekankan pembelajaran yang
bersifat akademik, sementara yang bersifat perilaku diabaikan.
Artinya, konsep
pendidikan nasional yang diterapkan telah mengabaikan pendidikan watak/karakter
dan kemampuan bernalar. Akibatnya, terjadi krisis moral di mana-mana, seperti
perkelahian pelajar, menyontek, banyak siswa terlibat masalah seksual, narkoba,
dan lain-lain.
Apakah Kurikulum
2013 mampu mengatasi masalah-masalah yang gagal implementasinya seperti CBSA
dan KTSP? Kita setuju saja alasan Kurikulum 2013 diterapkan adalah tuntutan
adanya perubahan fundamental terhadap perilaku dan pengetahuan peserta didik
secara mandiri, cerdas, kritis, rasional, dan kreatif.
Apakah tujuan ini
akan tercapai? Tentu saja, pengintegrasian CBSA dan KTSP bukan sekadar
gado-gado, tetapi berdasarkan kajian mendalam agar membawa manfaat untuk mutu
pendidikan. Walau masyarakat masih bingung dan belum memahami sepenuhnya apa
isi Kurikulum 2013 itu, kita tetap optimistis dan menunggu.
Sumber: Sinar
Harapan, 1 November 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!