Oleh
Ignas Kleden
Sosiolog
SEPTEMBER dan Oktober seakan menjadi "musim
sejarah" dalam siklus politik Indonesia. Pada akhir September dan awal
Oktober diingat kembali Peristiwa G30S, yang mengakhiri rezim Orde Lama dan
mengawali munculnya Orde Baru.
Tetapi, pergantian
rezim itu disertai pembubaran PKI sebagai sebuah parpol dan langkah-langkah
yang menumpas siapa pun yang dianggap berhubungan dengan partai itu. Pembunuhan
para jenderal TNI telah membuat usaha kudeta 30 September 1965 dan PKI yang
dianggap mastermind-nya menjadi peristiwa yang amat memukul TNI, khususnya
Angkatan Darat, yang harus melihat para jenderalnya menemui ajal yang
dipaksakan lewat pembunuhan dan dimakamkan dengan cara amat tak terhormat di
sebuah tempat yang disembunyikan. Efek emosionalnya, TNI kemudian menganggap
PKI adalah masalah nasional yang juga telah menikam kehormatan mereka sebagai
satuan dengan semangat korps yang tinggi.
G30S adalah bab
kelam dalam sejarah Indonesia Merdeka. Sebuah film yang dibuat sineas Arifin C
Noer atas perintah Soeharto dimaksudkan, antara lain, sebagai dokumen melawan
lupa tentang bab kelam dalam sejarah politik negeri ini. Timbul kemudian
kontroversi tentang otentisitas peristiwa yang diperlihatkan, tentu saja dengan
pertanyaan apakah film itu mendokumentasikan dengan setia peristiwa yang
terjadi atau sudah mengalami distorsi agar sesuai dengan kehendak rezim
berkuasa waktu itu.. Sejarah, seperti
nasib ilmu sosial dan ilmu humaniora yang lain, mengalami suatu dilema yang
sulit.
Sejarawan Ong Hok
Ham pernah menulis, sejarah merupakan suatu bidang ilmu yang paling terbuka
untuk dimasuki orang-orang yang bukan sejarawan. Ini karena, seperti halnya
ilmu politik, antropologi, atau sosiologi, ilmu sejarah selalu melewati tahapan
penelitian fakta sejarah, tafsir tentang fakta sejarah, dan penggunaan atau
pemanfaatan sejarah. Ada perbedaan besar di antara penelitian sejarah dan
pemanfaatan sejarah.
Kesulitan yang
dihadapi para peneliti dalam ilmu pengetahuan: tanggung jawab terakhir mereka
sebagai peneliti hanya sampai pada akuntabilitas hasil penelitian, yaitu dengan
metode apa dia sampai kepada hasil itu, sumber-sumber apa saja yang digunakan
dalam penelitian, apakah hasil penelitian berlaku cukup luas atau amat
terbatas, apakah hasil-hasil itu dapat diuji melalui validasi menurut cara-cara
tertentu yang dibenarkan oleh ilmu pengetahuan. Apa yang tidak bisa dikontrol
para peneliti ialah penggunaan hasil-hasil penelitian, entah untuk promosi
bisnis, untuk tujuan pendidikan, untuk legitimasi suatu tindakan politik, atau
untuk kritik terhadap suatu kebijakan politik.
Kekacauan orientasi
Pelajaran yang
perlu diingat dari masa Orde Baru ialah menganggap kebijakan politik yang
dibuatnya punya dasar ilmiah. Oposisi politik dilarang waktu itu karena,
katanya, kebudayaan-kebudayaan Indonesia pada dasarnya menganut asas harmoni
dan tak mengenal konflik. Ini adalah suatu pernyataan politik, yang tak bisa
divalidasi melalui verifikasi ilmiah karena demikian banyak penelitian dalam
ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, dan ilmu politik, menunjukkan bahwa konflik adalah hal lumrah
dalam berbagai kelompok budaya di Indonesia, sama seperti kelompok budaya di
negeri lain di dunia. Yang berbeda cara menafsirkan dan menyelesaikan konflik
yang dapat berlainan dari satu kelompok budaya ke kelompok budaya lain.
Dalam praktik ini,
artinya kebijakan politik dapat memanfaatkan hasil-hasil penelitian ilmiah
(misalnya apakah program untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dapat terus
dilanjutkan sebagai suatu indikator keberhasilan pembangunan, sekalipun
diketahui bahwa angka pertumbuhan yang ada sering ditunjang pertumbuhan di
sektor ekonomi-uang yang sedikit sekali bersentuhan dengan sektor riil dalam
kegiatan ekonomi masyarakat).
Namun, sebuah
kebijakan politik adalah tindakan politik, yang harus dipertanggungjawabkan
dengan argumen politik dan bukan dengan argumen ilmiah. Ini penting
diperhatikan karena penelitian ilmiah berjalan dengan aturan dan kriteria
sendiri yang jelas berlainan dari kriteria politik. Kesadaran tentang perbedaan
di antara tindakan politik dan tindakan ilmiah ini sudah diberikan contoh yang
baik oleh para Bapak Bangsa dan Ibu Bangsa kita, yaitu mereka yang kita hormati
sebagaifounding fathers dan founding mothersnegara kita.
Pada 1928, Prof van
Vollenhoven, yang dikenal sebagai ahli hukum adat yang besar pengaruhnya di
universitas-universitas Belanda dan
dihormati di kalangan pemerintah di Hindia Belanda, menulis di majalah
Koloniaal Tijdschriftdan mempersoalkan pemakaian
nama Indonesia untuk seluruh Hindia Belanda. Menurut guru besar itu, nama
Indonesia tak bisa digunakan untuk Hindia Belanda. Alasannya, Indonesia
mencakup daerah yang lebih luas dari Hindia Belanda dan orang-orang Indonesia
yang tinggal di luar Hindia Belanda ada 15 juta orang meskipun jumlah terbesar
sebanyak 49 juta orang merupakan penduduk Hindia Belanda.
Dengan dua alasan
itu, nama Indonesia tak dapat dipakai untuk Hindia Belanda. Dalam tanggapannya
di koran De Socialist, 22 Desember 1928, Bung Hatta mengajukan bantahan
terhadap argumen van Vollenhoven. Menurut Bung Hatta, nama Indonesia adalah
suatu istilah politik ketatanegaraan, bukan istilah untuk geografi atau
etnologi. Istilah dan batasan ilmiah dalam geografi dan etnologi tidak dapat
menjadi dasar bagi suatu politik ketatanegaraan yang dikehendaki.
Demikian pun
menurut statistik kolonial, pendapatan rata-rata petani Jawa pada masa sebelum
malaise 1930-an adalah 8 sen sehari.
Menurut Economisch Weekblad, pendapatan rata-rata per hari itu kemudian merosot
tajam dalam masa malaise menjadi 2,5 sen sehari. Maka pada 26 Oktober 1932
Direktur Pemerintahan Dalam Negeri melaporkan dalam sidang Raad van Indie
(Dewan Hindia Belanda) bahwa seorang pribumi ternyata bisa hidup dengan
pendapatan 2,5 sen sehari. Dalam sebuah surat kabar masa itu (Fikiran Ra'jat), Bung Karno menanggapi laporan yang dinilai
mendistorsikan kenyataan karena pribumi bukannya bisa hidup atau cukup makan
dengan 2,5 sen sehari, melainkan terpaksa hidup dengan 2,5 sen sehari. Laporan
di atas memberikan kesan seakan sebuah survei ekonomi membuktikan pribumi
sanggup hidup dengan pendapatan serendah itu, juga jika dibandingkan negara
lain yang juga miskin.
Bulgaria yang
"tersohor melarat" masih punya pendapatan 13 sen sehari dan India
sebagai koloni Inggris, menurut Gandhi, punya pendapatan 10 sen sehari. Jadi,
pernyataan direktur itu suatu pernyataan politik untuk membebaskan pemerintah
kolonial Hindia Belanda dari tanggung
jawab terhadap kemiskinan dan kelaparan yang melanda nasib pribumi dan cara
untuk menurunkan upah pribumi, yang diajukan dalam bentuk yang seolah-olah
suatu temuan ilmiah. Apa yang lebih valid secara ilmiah ialah mengatakan bahwa
pribumi terpaksa hidup dengan 2,5 sen sehari karena pemerintah kolonial tidak
melakukan apa pun untuk meringankan keadaan penduduk pribumi selagi mereka ditimpa
malaise besar.
Contoh-contoh ini
cukup memperlihatkan bahaya yang timbul dalam pikiran kita berupa kekacauan
orientasi akibat rancunya perbedaan antara pernyataan politik dan proposisi
ilmiah dan antara keputusan politik yang harus dieksekusi dan kegiatan ilmiah
dalam mencari tahu apa yang terjadi dan memberikan pertanggungan jawab tentang
temuan dalam pencarian itu. Dalam arti
itu, pembubaran PKI oleh Orde Baru adalah tindakan politik yang harus dibenarkan oleh alasan dan argumentasi
politik, dan tak dengan sendirinya dilegitimasi alasan ilmiah.
Pembubaran PKI
secara politik tak memungkinkan lagi hidupnya partai dengan ideologi komunisme
di Indonesia, tetapi penelitian tentang peralihan rezim dari Orde Lama ke Orde
Baru akan berjalan terus, dan dalam hal itu penelitian tentang kasus G30S juga
akan berjalan terus karena suatu bangsa yang bertanggung jawab ingin mendapat
jawaban mengapa pada suatu masa bangsanya bertindak dengan cara itu dan bukan
dengan cara lain. Ilmu pengetahuan
adalah suatu bidang yang menarik perhatian dan kepentingan semua orang. Dengan
demikian, kalau penelitian tentang peristiwa sejarah penting seperti peralihan
ke rezim Orde Baru itu tidak dimungkinkan untuk peneliti Indonesia, maka
penelitian yang sama akan dilakukan oleh para peneliti asing.
Penelitian ini akan
dilakukan secara ilmiah dalam studi sejarah, ilmu politik, sosiologi politik
atau antropologi politik, dan ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang lain.
Temuan-temuan penelitian ini pada suatu saat mungkin bertentangan dengan asumsi
dan pertimbangan yang ada pada pemerintah Orde Baru tentang situasi politik
1965. Tetapi, temuan ilmiah tak dengan sendirinya memfalsifikasi suatu
keputusan politik yang telah dibuat karena keputusan-keputusan politik itu
didasarkan pada asumsi, argumen, dan pertimbangan politik, dan berbeda wataknya
dari suatu asumsi ilmiah. Suatu proposisi ilmiah dibuat berdasar data empiris
(on the basis of empirical evidence), sedangkan keputusan politik bisa dibuat
bertentangan dengan data yang ada (in spite of empirical evidence) karena
didasarkan pada political will atau kemauan politik.
Belajar dari
sejarah
Pertentangan antara
kemauan politik dan temuan ilmiah mendapat suatu locus classicus dalam
persiapan kemerdekaan Indonesia. Dapat dipahami sebagian besar pemimpin pada
1940-an masih skeptis tentang kemerdekaan yang dikehendaki karena secara
empiris berbagai kondisi yang ada belum memungkinkan Indonesia merdeka waktu
itu. Kemampuan ekonomi belum ada, kecakapan teknis administratif belum
dipersiapkan, tingkat literasi sangat rendah, pendidikan masih serba terbatas,
dan kalangan terdidik masih dapat dihitung dengan jari tangan. Itu sebabnya
Hatta dan Sjahrir mendirikan PNI Baru dengan platform yang bertujuan memberikan
pendidikan agar tenaga yang sudah dilatih kelak punya kecakapan teknis dan
administratif untuk menyelenggarakan pemerintahan setelah ditinggalkan para
administrator dan pejabat Belanda.
Di pihak lain, Bung
Karno dalam pidato 1 Juni 1945 mengatakan dengan tegas, sekalipun secara
empiris kita belum siap, kita harus merdeka sekarang juga karena hanya
kemerdekaanlah yang memungkinan kita mempersiapkan segala sesuatu yang kita
perlukan sebagai negara merdeka. Di sini kehendak politik bertentangan dengan
kenyataan historis dan empiris. Kehendak politik ini didasarkan asumsi
kehidupan negara merdeka tak ditentukan oleh kondisi historis dan empiris yang
ada, tetapi oleh kemauan dan keberanian untuk merdeka. Kita tak tergantung
sejarah karena kemerdekaan memungkinkan kita membuat sejarah baru dan mengubah
jalannya sejarah.
Sejarah konon
penting karena orang yang tak mengenal sejarah ditakdirkan mengulang kesalahan
masa lampau. Sejarah dianggap memberikan bahan pelajaran. Namun, dalam
kenyataan, orang bisa saja banyak membaca buku sejarah tetapi tak mengambil
suatu pelajaran daripadanya. Sudah diketahui
dari sejarah, pelanggaran hukum akan diadili dan dapat sanksi hukum, bahwa
korupsi merugikan negara dan masyarakat dan tak layak ditoleransi, bahwa sikap ekstremis dalam politik lebih
banyak merugikan daripada menguntungkan, bahwa menyerang lawan politik sebagai
musuh politik adalah salah besar, bahwa orang bisa saja menjadi king maker
tetapi dengan cepat dapat berubah menjadi king killer, bahwa politik sebagai
seni kemungkinan atau the art of the possible
tak sama dengan oportunisme politik-tetapi semua kesalahan itu tetap
berulang setiap masa. Maka jangan kita heran bahwa filosof lain sampai pada
kesimpulan bahwa pelajaran satu-satunya yang kita peroleh dari sejarah ialah
kita tak pernah belajar sesuatu pun dari sejarah.
Tragedi dalam
sejarah selalu menimbulkan rasa sakit untuk tiap orang yang menjadi korban.
Pengetahuan tentang tragedi itu dapat menimbulkan dendam pada korban dan
barangkali penyesalan pada pihak yang menimbulkan korban. Namun, penyesalan
saja tak cukup. Sesal (remorse), menurut filosof Max Scheler , hanya
mengandung suatu harapan irealis, berupa keinginan agar apa yang sudah terjadi
hendaknya tak terjadi. Sesal hanya berorientasi ke masa lampau, dan tak
mengubah apa-apa pada masa sekarang. Yang dibutuhkan oleh perubahan dan pembaharuan
bukanlah sesal (remorse) tetapi pertobatan (conversion), yaitu keputusan untuk
tak mengulang kesalahan yang sudah terjadi dan tekad untuk mengatur perilaku
yang lebih adil terhadap orang lain. Berlainan dengan sesal yang berorientasi
ke masa lampau, tobat adalah keputusan untuk masa depan. Tidak ada gunanya seseorang meratapi
kesalahannya sepanjang tahun tetapi tidak mengambil satu keputusan pun untuk
masa depan.
Jerman pernah
menanggung beban masa lampau amat berat karena merasa menjadi penyebab perang
dunia yang membawa korban jutaan orang, dan kemudian mengalami bagaimana bangsa
dan negaranya dipecah dua selama 40 tahun oleh kekuatan sekutu. Setelah tembok
Berlin runtuh 10 November 1989, kedua belahan Jerman bersatu kembali dan
menghadapi berbagai persoalan besar untuk penyesuaian kembali. Bangsa itu
kemudian bangkit dan memutuskan untuk tidak boleh terbeban terus-menerus dengan
masa lampau. Muncul semboyan baru Bewaeltigung der Vergangenheit, masa lampau
harus diselesaikan dan dibereskan. Beban itu harus diatasi.
Mungkin sudah
saatnya kita di Indonesia juga mengambil
sikap yang sama. Kita tak dapat maju apabila terus-menerus menjadi tawanan masa
lampau, tanpa mengambil keputusan baru untuk masa depan. Dengan menyesali atau
mengutuk masa lampau keadaan tidak akan menjadi lebih baik. Yang dibutuhkan
adalah suatu pertobatan nasional, suatunational conversion, yang mengandung
keputusan untuk membangun masa depan lebih adil dan lebih manusiawi. Pegangan kita adalah perilaku para pendiri
negara, yang sering sekali berbeda paham dengan sengit, tetapi tetap dekat
dalam persaudaraan yang saling menghormati. Bukan suatu kebetulan sejarah bahwa
mereka akhirnya melalui diri Bung Karno meninggalkan sebuah warisan bagi
seluruh bangsa dalam membangun masa sekarang: Pancasila sebagai filsafat dasar
Republik Indonesia.
Sejarawan Inggris,
Thomas Carlyle, meninggalkan suatu ucapan yang selalu dikenang dalam politik
Inggris, dan banyak dikutip dalam kepustakaan sejarah dunia, tentang pentingnya
menghormati para pendahulu dalam sejarah.
Katanya: swerving from our fathers' rules is calling our fathers fools,
menyimpang dari aturan leluhur kita sama dengan menyebut mereka tolol. Para
pendiri negara kita telah mengorbankan segala-galanya untuk mempersatukan kita
sebagai bangsa. Oleh karena itu, setiap perilaku yang berpotensi atau bermaksud
memecah belah kembali bangsa ini adalah
contoh soal bahwa selalu ada orang yang tidak (mau) belajar apa pun dari
sejarah bangsanya sendiri.
Sumber: Kompas, 3 Oktober 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!