Oleh Geger Riyanto
Esais & Peneliti Sosiologi;
Mengajar Filsafat
Sosial dan Konstruktivisme di UI
HIKMAH yang, menurut saya,
paling bermakna dari kisah kepahlawanan adalah bagaimana mereka yang mengalami
ketidakadilan, penindasan, dan ketidaksetaraan diemansipasi melalui pergerakan
sang figur. Perjuangan bersenjata adalah perkakas untuk menggapainya,
sebagaimana halnya perjuangan politik, pengorganisasian, pendidikan, serta
pembentukan kesadaran. Dalam perjalanannya, sayangnya, perkakas ini acap kali
tertukar dengan tujuan itu sendiri. Kekerasan, penyingkiran, penolakan kelompok
liyan acap kali menjadi isyarat tindakan kepahlawanan per se.
Dari masa ke masa,
hal ini terlihat dari bagaimana kita menakar martabat seseorang atau sekelompok
insan sebagai warga negara dengan apa yang pernah dilakukannya untuk mengenyahkan
penjajah melalui perjuangan bersenjata. Dan, tentu saja, dari bagaimana kita
menganggap kemerdekaan sebagai semata hasil dari peperangan.
Akan tetapi,
barangkali tidak ada yang lebih terang mengindikasikan kecenderungan ini
dibandingkan dengan produk perundang-undangan kita sendiri. Pada Pasal 26
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda
Kehormatan, mereka yang didefinisikan sebagai pahlawan ditandai paling pertama
dengan "perjuangan bersenjata", barulah setelah itu "perjuangan
dalam bidang lain".
Kerumitan politik
Situasi di atas
memiliki latar belakang sejarah yang sebenarnya masuk akal. Sejak awal, gagasan
kepahlawanan tidak pernah bisa dipilah dari keruwetan politik yang berkembang
pada satu masa.
Gagasan
kepahlawanan yang kita anut sekarang ini, jika kita periksa, berakar dari
kepenatan para nasionalis dengan sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah
Belanda, yang melihat sejarah sebagai gerak berdirinya kekuasaan Belanda di
kepulauan Nusantara.
Pada kurun 1930-an,
para penggerak nasionalis pun memelintir narasi buku-buku sejarah tersebut
dengan mengangkat tokoh-tokoh lokal yang menghalau tegaknya kekuasaan Belanda
justru sebagai pahlawan. Pada kurun ini didapatilah tiga sosok pejuang yang
dipanggil Soekarno sebagai "pahlawan tiga sekawan". Mereka adalah
Diponegoro, Teuku Umar, dan Tuanku Imam Bonjol.
Latar belakang
sejarah lainnya adalah dilema mempertahankan ke-utuhan Republik. Sewaktu
penetapan pahlawan dilembagakan sebagai program negara pada akhir tahun
1950-an, persoalan yang paling kentara menggeluti Indonesia adalah
pemberontakan demi pemberontakan.
Pada waktu itu,
legitimasi dan otoritas Republik Indonesia di daerah-daerah masih sangat goyah.
Dengan dukungan Soekarno, pemberian gelar pahlawan nasional pun dicanangkan
sebagai program negara. Harapannya adalah daerah-daerah, setelah mempunyai
tokoh yang ditetapkan sebagai pahlawan, merasa menjadi bagian dari bangsa
Indonesia.
Di banyak tempat
saat itu, kesadaran untuk menjadi bagian dari Indonesia tidak bisa dikatakan menancap
sekuat hari ini. Akan tetapi, betapapun tipisnya perasaan kesamaan di antara
daerah-daerah pada masanya, setiap daerah dipastikan mempunyai kisah perlawanan
serta kepenatannya sendiri dengan kolonialisme Belanda. Narasi-narasi ini
lantas dimanfaatkan untuk membangun perasaan mereka merupakan bagian dari
kesinambungan sejarah yang sama.
Dengan menetapkan
para penggerak perlawanan ini sebagai pahlawan bagi bangsa Indonesia, gagasan
bahwa mereka adalah satu kemudian dikukuhkan. Mereka berjuang melawan penjajah
zalim yang satu dan bergerak dalam derap historis yang sama untuk memerdekakan
diri dari penjajahan.
Strategi
pembentukan kesadaran sejarah ini punya faedahnya, tentu. Dan bagi para
pemimpin yang merintisnya, mereka boleh jadi tidak mempunyai pilihan lain.
Namun, kita pun menjadi terbiasa dengan identitas Indonesia yang dibangun
secara negatif, yakni dengan penafian terhadap yang lain.
Yang terjadi
selanjutnya, berkat kategori pahlawan yang leluasa ini, daerah-daerah
berlomba-lomba untuk meraih kehormatan di panggung nasional. Mereka
menyemarakkan kajian sejarah terhadap tokoh-tokoh lokalnya, tetapi dalam
melakukannya, dari antara khazanah yang begitu luas yang digali, terbatas pada
cerita-cerita peperangan di masa silam.
Satu habitus yang
terpancang dari situasi ini adalah kita menjadi terbiasa mengisahkan sejarah
sebagai drama memerangi yang lain. Militerisasi sejarah, yang berlangsung pada
masa Orde Baru, pun memperkeruh kecenderungan ini.
Bentuk-bentuk
perjuangan di luar perjuangan bersenjata tidak dianggap memiliki arti yang sama
terhadap kemerdekaan. Usaha-usaha yang berkontribusi bagi berdirinya negara
Indonesia yang berdaulat adalah yang dilakukan oleh militer, yang
berkesinambungan dengan yang dilakukan oleh para pahlawan dari daerah-daerah di
masa silam.
Bukan soal drama
Saya kira, tidak
ada waktu yang lebih tepat lagi untuk memeriksa kembali pemahaman kita perihal
kepahlawanan dibandingkan pada saat ini. Citra kepahlawanan yang antagonistis
bukan hanya menghilangkan dimensi-dimensi yang justru esensial dari
kepahlawanan itu sendiri. Kita seyogianya menyadari bahwa legitimasi populer
dari kekuasaan politik hari-hari ini dilanggengkan melalui citra heroik yang
merisak yang lain.
Dari mana, toh,
muasal para pemimpin populis yang kini tengah naik daun di mana-mana? Mereka
memperoleh momentum berkat keberhasilannya mengalihkan kegamangan dan frustrasi
warga yang diakibatkan krisis-krisis sistemik menjadi kemurkaan kepada kelompok
rentan.
Lantas, mereka
membawakan diri mereka sebagai pahlawan yang akan mengenyahkan insan-insan
liyan ini dan mengembalikan kedaulatan pemilihnya sebagai rakyat asli yang
berhak atas segalanya. Dan masalahnya, dengan pengidentikan berlarut-larut
kepahlawanan dan peperangan, retorika heroisme yang demikian pun sangat mudah
terpatri dalam ingatan.
Anda bisa
menanyakan kepada para siswa sekolah yang lemah dalam pelajaran Sejarah
sekalipun. Terlepas mereka kesulitan mengingat tahun-tahun peristiwa bersejarah
penting, mereka paham, Indonesia berdiri karena perjuangan bersenjata sebelum
karena bentuk-bentuk perjuangan lainnya.
Anda juga bisa
mencermati para anak muda berpengaruh zaman kini yang gemar berceloteh dengan
berbagai wahana. Kita akan menemukan tak sedikit di antaranya yang sulit untuk
memilah kemerdekaan dari kemenangan perang.
Dengan beban
khazanah sejarah yang demikian, bukankah kekerasan terhadap sang liyan dapat
dengan mudah tergelincir menjadi isyarat kepahlawanan? Tidakkah ia akan
melambungkan para pengumbar kebencian ke kedudukan-kedudukan yang tinggi? Lebih
jauh, tidakkah ia akan menghilangkan mereka yang mempunyai andil nyata
mengemansipasi sesama dari tempat yang seharusnya di halaman sejarah?
Kancah Tan Malaka,
misalnya, yang berjuang dengan menulis, mendidik, mengorganisasi, akan
terpendam jika bukan berkat peneliti "negeri penjajah" yang
mendedikasikan hidupnya meneliti Tan. Tirto Adhi Suryo, pencetus surat kabar
yang pertama kali menggunakan bahasa Indonesia, mungkin tak akan kita kenal
tanpa tetralogi Buru Pram.
Rasa keadilan
Pada titik ini,
karena itu, kita perlu menyigi lagi pijakan perjuangan para sosok yang
nama-namanya sudah dinobatkan sebagai pahlawan. Dari masa silam baik yang jauh
maupun dekat, para sosok ini senantiasa berangkat dari tergugahnya rasa
keadilan mereka.
Mereka
bersolidaritas dengan insan-insan yang diperlakukan secara tidak setara dan
berusaha untuk melakukan sesuatu untuk mengubah keadaan tersebut. Ketika mereka
memilih perjuangan bersenjata, ia adalah cara yang tersedia bagi mereka saat
itu. Ia penting, tetapi, bagi insan-insan lain, cara-cara lain pun tersedia.
Apabila kita
memulai dari pemahaman yang demikian, saya percaya, kita dapat merayakan
gagasan kepahlawanan yang lebih peka zaman dan ruang, yang mentransformasi
alih-alih menihilkan. Kepahlawanan tidak akan selalu dramatis. Namun, dengan
demikian, ia berorientasi pemberdayaan, bukannya permusuhan.
Kepahlawanan tidak
akan selalu bergelora. Namun, ia dapat dilakukan semua dan bukan satu-dua.
Sumber:
Kompas, 10 November 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!