Headlines News :
Home » » Kepahlawanan Emansipatif

Kepahlawanan Emansipatif

Written By ansel-boto.blogspot.com on Saturday, November 11, 2017 | 12:56 PM

Oleh Geger Riyanto
Esais & Peneliti Sosiologi;
Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI

HIKMAH yang, menurut saya, paling bermakna dari kisah kepahlawanan adalah bagaimana mereka yang mengalami ketidakadilan, penindasan, dan ketidaksetaraan diemansipasi melalui pergerakan sang figur. Perjuangan bersenjata adalah perkakas untuk menggapainya, sebagaimana halnya perjuangan politik, pengorganisasian, pendidikan, serta pembentukan kesadaran. Dalam perjalanannya, sayangnya, perkakas ini acap kali tertukar dengan tujuan itu sendiri. Kekerasan, penyingkiran, penolakan kelompok liyan acap kali menjadi isyarat tindakan kepahlawanan per se.

Dari masa ke masa, hal ini terlihat dari bagaimana kita menakar martabat seseorang atau sekelompok insan sebagai warga negara dengan apa yang pernah dilakukannya untuk mengenyahkan penjajah melalui perjuangan bersenjata. Dan, tentu saja, dari bagaimana kita menganggap kemerdekaan sebagai semata hasil dari peperangan.

Akan tetapi, barangkali tidak ada yang lebih terang mengindikasikan kecenderungan ini dibandingkan dengan produk perundang-undangan kita sendiri. Pada Pasal 26 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, mereka yang didefinisikan sebagai pahlawan ditandai paling pertama dengan "perjuangan bersenjata", barulah setelah itu "perjuangan dalam bidang lain".

Kerumitan politik

Situasi di atas memiliki latar belakang sejarah yang sebenarnya masuk akal. Sejak awal, gagasan kepahlawanan tidak pernah bisa dipilah dari keruwetan politik yang berkembang pada satu masa.

Gagasan kepahlawanan yang kita anut sekarang ini, jika kita periksa, berakar dari kepenatan para nasionalis dengan sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah Belanda, yang melihat sejarah sebagai gerak berdirinya kekuasaan Belanda di kepulauan Nusantara.

Pada kurun 1930-an, para penggerak nasionalis pun memelintir narasi buku-buku sejarah tersebut dengan mengangkat tokoh-tokoh lokal yang menghalau tegaknya kekuasaan Belanda justru sebagai pahlawan. Pada kurun ini didapatilah tiga sosok pejuang yang dipanggil Soekarno sebagai "pahlawan tiga sekawan". Mereka adalah Diponegoro, Teuku Umar, dan Tuanku Imam Bonjol.

Latar belakang sejarah lainnya adalah dilema mempertahankan ke-utuhan Republik. Sewaktu penetapan pahlawan dilembagakan sebagai program negara pada akhir tahun 1950-an, persoalan yang paling kentara menggeluti Indonesia adalah pemberontakan demi pemberontakan.

Pada waktu itu, legitimasi dan otoritas Republik Indonesia di daerah-daerah masih sangat goyah. Dengan dukungan Soekarno, pemberian gelar pahlawan nasional pun dicanangkan sebagai program negara. Harapannya adalah daerah-daerah, setelah mempunyai tokoh yang ditetapkan sebagai pahlawan, merasa menjadi bagian dari bangsa Indonesia.

Di banyak tempat saat itu, kesadaran untuk menjadi bagian dari Indonesia tidak bisa dikatakan menancap sekuat hari ini. Akan tetapi, betapapun tipisnya perasaan kesamaan di antara daerah-daerah pada masanya, setiap daerah dipastikan mempunyai kisah perlawanan serta kepenatannya sendiri dengan kolonialisme Belanda. Narasi-narasi ini lantas dimanfaatkan untuk membangun perasaan mereka merupakan bagian dari kesinambungan sejarah yang sama.

Dengan menetapkan para penggerak perlawanan ini sebagai pahlawan bagi bangsa Indonesia, gagasan bahwa mereka adalah satu kemudian dikukuhkan. Mereka berjuang melawan penjajah zalim yang satu dan bergerak dalam derap historis yang sama untuk memerdekakan diri dari penjajahan.

Strategi pembentukan kesadaran sejarah ini punya faedahnya, tentu. Dan bagi para pemimpin yang merintisnya, mereka boleh jadi tidak mempunyai pilihan lain. Namun, kita pun menjadi terbiasa dengan identitas Indonesia yang dibangun secara negatif, yakni dengan penafian terhadap yang lain.

Yang terjadi selanjutnya, berkat kategori pahlawan yang leluasa ini, daerah-daerah berlomba-lomba untuk meraih kehormatan di panggung nasional. Mereka menyemarakkan kajian sejarah terhadap tokoh-tokoh lokalnya, tetapi dalam melakukannya, dari antara khazanah yang begitu luas yang digali, terbatas pada cerita-cerita peperangan di masa silam.

Satu habitus yang terpancang dari situasi ini adalah kita menjadi terbiasa mengisahkan sejarah sebagai drama memerangi yang lain. Militerisasi sejarah, yang berlangsung pada masa Orde Baru, pun memperkeruh kecenderungan ini.

Bentuk-bentuk perjuangan di luar perjuangan bersenjata tidak dianggap memiliki arti yang sama terhadap kemerdekaan. Usaha-usaha yang berkontribusi bagi berdirinya negara Indonesia yang berdaulat adalah yang dilakukan oleh militer, yang berkesinambungan dengan yang dilakukan oleh para pahlawan dari daerah-daerah di masa silam.

Bukan soal drama

Saya kira, tidak ada waktu yang lebih tepat lagi untuk memeriksa kembali pemahaman kita perihal kepahlawanan dibandingkan pada saat ini. Citra kepahlawanan yang antagonistis bukan hanya menghilangkan dimensi-dimensi yang justru esensial dari kepahlawanan itu sendiri. Kita seyogianya menyadari bahwa legitimasi populer dari kekuasaan politik hari-hari ini dilanggengkan melalui citra heroik yang merisak yang lain.

Dari mana, toh, muasal para pemimpin populis yang kini tengah naik daun di mana-mana? Mereka memperoleh momentum berkat keberhasilannya mengalihkan kegamangan dan frustrasi warga yang diakibatkan krisis-krisis sistemik menjadi kemurkaan kepada kelompok rentan.

Lantas, mereka membawakan diri mereka sebagai pahlawan yang akan mengenyahkan insan-insan liyan ini dan mengembalikan kedaulatan pemilihnya sebagai rakyat asli yang berhak atas segalanya. Dan masalahnya, dengan pengidentikan berlarut-larut kepahlawanan dan peperangan, retorika heroisme yang demikian pun sangat mudah terpatri dalam ingatan.

Anda bisa menanyakan kepada para siswa sekolah yang lemah dalam pelajaran Sejarah sekalipun. Terlepas mereka kesulitan mengingat tahun-tahun peristiwa bersejarah penting, mereka paham, Indonesia berdiri karena perjuangan bersenjata sebelum karena bentuk-bentuk perjuangan lainnya.

Anda juga bisa mencermati para anak muda berpengaruh zaman kini yang gemar berceloteh dengan berbagai wahana. Kita akan menemukan tak sedikit di antaranya yang sulit untuk memilah kemerdekaan dari kemenangan perang.

Dengan beban khazanah sejarah yang demikian, bukankah kekerasan terhadap sang liyan dapat dengan mudah tergelincir menjadi isyarat kepahlawanan? Tidakkah ia akan melambungkan para pengumbar kebencian ke kedudukan-kedudukan yang tinggi? Lebih jauh, tidakkah ia akan menghilangkan mereka yang mempunyai andil nyata mengemansipasi sesama dari tempat yang seharusnya di halaman sejarah?

Kancah Tan Malaka, misalnya, yang berjuang dengan menulis, mendidik, mengorganisasi, akan terpendam jika bukan berkat peneliti "negeri penjajah" yang mendedikasikan hidupnya meneliti Tan. Tirto Adhi Suryo, pencetus surat kabar yang pertama kali menggunakan bahasa Indonesia, mungkin tak akan kita kenal tanpa tetralogi Buru Pram. 

Rasa keadilan

Pada titik ini, karena itu, kita perlu menyigi lagi pijakan perjuangan para sosok yang nama-namanya sudah dinobatkan sebagai pahlawan. Dari masa silam baik yang jauh maupun dekat, para sosok ini senantiasa berangkat dari tergugahnya rasa keadilan mereka.

Mereka bersolidaritas dengan insan-insan yang diperlakukan secara tidak setara dan berusaha untuk melakukan sesuatu untuk mengubah keadaan tersebut. Ketika mereka memilih perjuangan bersenjata, ia adalah cara yang tersedia bagi mereka saat itu. Ia penting, tetapi, bagi insan-insan lain, cara-cara lain pun tersedia.

Apabila kita memulai dari pemahaman yang demikian, saya percaya, kita dapat merayakan gagasan kepahlawanan yang lebih peka zaman dan ruang, yang mentransformasi alih-alih menihilkan. Kepahlawanan tidak akan selalu dramatis. Namun, dengan demikian, ia berorientasi pemberdayaan, bukannya permusuhan.

Kepahlawanan tidak akan selalu bergelora. Namun, ia dapat dilakukan semua dan bukan satu-dua. 
Sumber: Kompas, 10 November 2017
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger