Di sebuah malam yang gelisah, percintaan tak lazim itu bergelora. Sang narator, si aku yang menjadi tokoh utama, melukiskan asmara itu, asmara di antara dua insan sejenis: "Dia tetap asing, meski kami berdampingan dan beberapa saat lalu kami menyatu. Penyatuan dalam beberapa menit rasanya tak menjamin timbulnya isyarat yang memandu. Sebab, sesudahnya hanya ada kosong. Dan gelap. Perasaan aneh segera mencipta jarak pemisah. Kami seperti udara dan air. Meski menyatu dalam gelas, di dalam sebuah danau, unsur-unsurnya tetap saja terpisah."
Ya, si aku dalam novel Cermin Merah adalah kepedihan yang berangkat dari perpisahan, dari rasa kehilangan: ayah yang lenyap ditelan huru-hara politik 1965, kakak yang tewas dalam pendakian gunung. Ia hengkang dari kota kelahirannya dan menggelandang di Jakarta. Di sanalah, dalam setting penghujung tahun 1960-an, ia terjebak petualangan percintaan tak lazim.
Jakarta tahun 1968, kota dengan banyak pemuda berambut kribo di jalanan—gaya rambut yang dipengaruhi drama musikal Hair dari Broadway, New York, yang kemudian diangkat ke layar putih. Kota dengan Jakarta Fair, perayaan di bulan Juni yang menyelenggarakan pemilihan the best wadam (wanita adam, waria istilah sekarangnya). Dan Nano Riantiarno, penulis Cermin Merah, menangkap "keberanian" itu.
Sepanjang 1968-1971, di pinggiran rel kereta api di Jalan Krakatau—sekarang Jalan Latuharhary—Jakarta, lokasi komunitas kaum wadam "buka bisnis", Nano mencoba mengamati, menyerap impian mereka. Termasuk eM, sumber inspirasi novel ini, seorang wadam yang lari dari desanya. Ayahnya difitnah, dituduh komunis, diciduk tentara, lantas tak jelas hidup-matinya. Sang kawan terdampar di Jakarta, menjadi wadam pekerja seks. Dari pengalamannya, lahirlah Cermin Merah, novel yang telah direvisi sembilan kali, sepanjang 1973-1983.
Gaya penulisan novel ini sangat lancar menggambarkan suasana yang berbeda-beda, menghidupkan dialog di antara tokoh-tokohnya. Sejak SMA, Nano memang banyak bersentuhan dengan bermacam jenis sastra. Bahasanya lentur, tapi teknik berceritanya yang penuh kilas balik membuat novel ini agak njelimet.
Buku ini dibuka dengan adegan ranjang di atas. Memikat, tapi berpotensi membuat pembaca kehilangan jejak. Dari ranjang, cerita tiba-tiba melompat ke sebuah adegan di pantai. Lalu sekonyong-konyong terbang ke sebuah masa di Kota C. Penulis menyebut gaya bercerita seperti ini gaya "bingkai berbingkai yang berbingkai-bingkai". Teknik ini dapat dijumpai dalam buku sepanjang 462 halaman itu. Teknik yang dipengaruhi Hikayat Bayan Budiman karya Abdullah Bin Abdul Kadir Munsyi dan Kisah Seribu Satu Malam. Juga gaya berkisah para penulis cerita silat, seperti OKT dan Boe Beng Tju.
Sebagai sebuah novel yang utuh, Cermin Merah terkesan "serakah". Ia seolah ingin menelan permasalahan besar sebanyak-banyaknya, lalu mengisahkannya sekaligus. Ia melingkupi banyak hal yang berbeda, baik dari segi isi cerita maupun gaya menulis. Alhasil, sejumlah pertanyaan menggantung tak berjawab. Novel ini berakhir tanpa ending jelas. Menurut Nano, Cermin Merah merupakan trilogi pertama dan lebih sebagai sebuah prolog. Beberapa tokoh dalam cerita ini sengaja digantung, seperti tokoh ayah, ibu, Nina, dan Johari. Dia berjanji akan menyelesaikannya dalam trilogi kedua, Cermin Bening: Langkah Menuju Panggung. Dan sebagai epilognya adalah trilogi ketiga: Cermin Cinta.
Cermin Merah memang tak mudah diikuti. Tapi, bagi pembaca yang mencari alternatif cara bercerita linear dan konvensional, mungkin novel ini cukup menantang untuk ditelusuri. (Nurdin Kalim)
Cermin Merah
Penulis : N. Riantiarno
Tebal : 426 + xii halaman
Penerbit : PT Grasindo, Jakarta, 2005
Sumber: Tempo, 11 April 2005
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!