Oleh Emil Salim
Dosen PascasarjanaUI;
Anggota Akademi
Ilmu Pengetahuan Indonesia
PEMBUKAAN UUD 1945 terdiri atas pernyataan
kemerdekaan, yang isi pokoknya perlu dikembangkan dalam Indonesia merdeka
berdasarkan Pancasila.
Bagaimanakah
pelaksanaan Pancasila sebagai paradigma pembangunan? Mari kita coba menerapkan
tolok ukur yang dikembangkan dunia internasional, sebagai perwakilan dari
setiap bagian Pancasila.
Sila pertama
Ketuhanan Yang Maha
Esa. Dalam sila ini, mewujud pada hasil sensus jumlah penduduk dengan penganut
agama Islam 87 persen atau mayoritas. Karena itu, pola pelaksanaan agama Islam
di Indonesia sangat menentukan pengaruh hidup keagamaan pada pembangunan
bangsa.
Dalam kaitan ini,
mari kita kutip penilaian Profesor Scheherazade S Rahman dan Profesor Hasen
Askafri dari George Washington, AS, yangtelah meneliti dan mengukur pelaksanaan
pembangunan negara-negara dunia menurut Economic Islamicity Index (EII) dan
mengumumkan hasil penelitian mereka dalam Global Economic Journal, 2010,
Berkeley Electronic Press 2010.
Berdasarkan
surat-surat Al Quran, mereka simpulkan bahwa sistem ekonomi Islam adalah: (1)
tercapainya keadilan ekonomi dengan pembangunan ekonomi berkelanjutan; (2)
kesejahteraan dengan kesempatan kerja yang luas; (3) penerapan praktik ekonomi
dan finansial yang Islami.
Sasaran sistem
ekonomi ditopang oleh 12 prinsip yang bermuara pada rumusan Economic Islamicity
Index yang menjadi tolok ukur dalam mewujudkan prinsip ekonomi Islam di
negara-negara sedunia, baik yang berpenduduk Muslim maupun non-Muslim.
Jika tolok ukur EII
rendah adalah terbaik dan EII tinggi adalah terburuk, hasil studi mengungkapkan
bahwa dari 208 negara yang diteliti, maka EII rata-rata adalah 104,96.
Indonesia mencatat EII rata-rata 104,5 atau sedikit di atas nilai EII
rata-rata.
Negara
berpendapatan tinggi menunjukkan EII rata-rata 60,27, mencakup Irlandia,
Denmark, Luksemburg, Swedia, dan Inggris, yang meraih EII terbaik dalam
kategori ini.
Dalam Organization
of Islamic Countries, 56 negara meraih EII rata-rata 132,84. Sementara kelompok
lower middle income countries meraih EII terendah dengan rata-rata 160,48.
Kentara bahwa
tingkat pendapatan suatu negara berpengaruh besar, semakin maju ekonomi suatu
negara, semakin besar kemungkinan tumbuhnya kehidupan ekonomi yang Islami.
Sila kedua
Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab. Dalam perwujudan sila ini, Profesor Michael E Porter, Herman
De Soto, dan kawan-cendekiawan terkemuka lainnya membentuk organisasi nirlaba
yang mengembangkan Social Progress Index sebagai tolok ukur pengganti produk
domestik bruto.
Upaya tersebut
mencakup dimensi: 1. kebutuhan pokok manusia, seperti pencukupan nutrisi dan
perawatan kesehatan dasar, air, sanitasi perumahan, dan keselamatan pribadi; 2.
fondasi bagi well-being, seperti akses ke pengetahuan dasar, informasi dan
komunikasi, kesehatan, dan keberlanjutan ekosistem. 3. terbukanya kesempatan
untuk maju yang mencakup hak personal, kebebasan pribadi dan kebebasan memilih,
toleransi dan inklusi, serta akses pendidikan maju.
Hasil kajian Social
Progress Index 2014 yang mencakup 132 negara mengungkapkan, Selandia Baru
dengan PDB 25.857 dollar AS per jiwa penduduk menduduki posisi nomor satu
dengan skor tertinggi 88,24; negara Chad, Afrika,dengan PDB 1.870dollar ASper
jiwa penduduk meraih skor terendah 32,60 dengan posisi nomor 132. Indonesia
dengan PDB 4.272 dollar AS meraih skor 88 dan mencapai posisi nomor 88 di
antara 132 negara.
Ada catatan dalam
Social Progress Index 2014 tentang Indonesia, yakni toleransi agama adalah
salah satu kelemahan utama Social Progress Index 2014.
Sila ketiga
Yang mengganggu
pengembangan sila Persatuan Indonesia adalah timpangnya pembagian produk
domestik bruto nasional antarpulau. Menurut data tahun 2012, Jawa menghasilkan
57% PDB, Sumatera 24%, Kalimantan 10%, Sulawesi 4%, Bali dan Nusa Tenggara 3%,
serta Maluku dan Papua 2,2%. Pembagian pendapatan yang timpang, ditambah dengan
persebaran keterampilan dan keahlian yang juga pincang, membuka potensi kecemburuan
yang menyulitkan pengembangan persatuan dan kesatuan.
Perbedaan kualitas
dan kuantitas infrastruktur ekonomi dan sosial di antara pulau satu dengan yang
lain ikut melanjutkan ketimpangan antarpulau. Perbedaan suku yang tersebar di
antara kepulauan Indonesia juga memperparah usaha menciptakan persatuan bangsa
apabila tidak secara sadar dikelola.
Sila keempat
Sila yang berbunyi
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan dimaksudkan untuk mengembangkan pola demokrasi
Pancasila. Tolok ukurnya adalah Indeks Demokrasi Indonesia dengan indikator:
(1) kebebasan sipil; (2) hak-hak politik; dan (3) lembaga demokrasi.
Sepanjang tahun
2009-2015 tampak bahwa Indeks Demokrasi Indonesia meningkat dari 67,30 (2009)
ke 72,82 (2015). Namun, terjadi penurunan dalam tolok ukur kebebasan sipil yang
mencakup kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berpendapat, kebebasan
berkeyakinan, kebebasan dari diskriminasi.
Hal lain yang
menarik adalah sistem kepartaian Indonesia yang berjumlah 73 partai (2014)
berbadan hukum, tetapi dalam garis besar hanya ada dua aliran ideologi, (1)
nasionalisme-demokrasi dan (2) agama Islam.
Sempitnya beda
ideologi partai dan banyaknya partai, walau hanya 10 yang lolos duduk di DPR,
memberi kesan "kehidupan partai itu menguntungkan", tetapi tidak
dalam makna ideologi partai yang cenderung monoton.
Sila kelima
Keadilan Sosial
bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Jika garis kemiskinan rata-rata Indonesia adalah
11,96 persen (2012), maka 16 dari 33 provinsi buruk di bawah garis kemiskinan.
Umumnya terletak di Indonesia timur.
Indikator
ketimpangan pembangunan juga terukur pada Gini Coefficient yang bertengger pada
angka 0,40 selama beberapa tahun yang menunjukkan ketimpangan pendapatan yang
serius.
Dengan nilai tukar
petani (NTP) yang membandingkan rasio jumlah pendapatan terhadap jumlah
pengeluaran petani, tampak bahwa selama puluhan tahun NTP bergerak di bawah
nilai 130, belum layak manusiawi.
Karena ekonomi
Indonesia masih bertumpu pada produksi primer, maka "pemilikan tanah"
merupakan hal penting bagi penduduk. Pembangunan nonpertanian juga memerlukan
tanah sehingga masalah pembebasan tanah menjadi sumber konflik antara pelaku
pembangunan dan petani pengolah tanah.
Dalam mengusahakan
pelaksanaan Pancasila dalam kehidupan berbangsa, ada baiknya kita becermin pada
kehidupan bangsa-bangsa lain yang menggunakan tolok ukur mendekati sila-sila
Pancasila.
Dengan demikian,
dapat kita kembangkan Pancasila sebagai paradigma pembangunan yang efektif
berguna bagi masyarakat bangsa.
Sumber: Kompas, 2 Juni 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!