Oleh Eddy OS Hiariej
Guru Besar Hukum Pidana FH UGM
KETUA DPR Setya Novanto
yang juga Ketua Umum Partai Golkar kembali ditetapkan sebagai tersangka dalam
kasus pengadaan KTP elektronik. Sebelumnya, penetapan Novanto sebagai tersangka
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dibatalkan lewat putusan praperadilan PN
Jakarta Selatan. Kali ini bahkan Novanto ditahan karena beberapa kali mangkir
atas panggilan KPK, baik dalam kapasitasnya sebagai saksi maupun sebagai
tersangka dalam kasus tersebut.
Sebenarnya proses
hukum terhadap Ketua DPR bukan hal baru. Beberapa tahun silam, Ketua DPR yang
juga Ketua Umum Partai Golkar, Akbar Tandjung, pernah terbelit kasus korupsi.
Bedanya, Tandjung secara gentlemen menghadapi proses hukum tersebut dengan
tenang. Mulai dari penahanan oleh Kejaksaan Agung sampai pada putusan pengadilan
negeri dan pengadilan tinggi. Tandjung menghirup udara bebas setelah MA dalam
pemeriksaan kasasi memutus bebas dari segala dakwaan meski seorang anggota
majelis hakim menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion).
Menyesatkan
Ada beberapa isu
terkait proses hukum terhadap Novanto. Pertama, putusan praperadilan yang telah
membatalkan penetapan status Novanto sebagai tersangka beberapa waktu lalu.
Pada hakikatnya, pemeriksaan praperadilan hanya terkait hal-hal bersifat formal
menyangkut sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan,
penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan.
Artinya, pemeriksaan praperadilan tidak masuk pada pokok perkara.
Jika dikaitkan enam
parameter pembuktian-(teori pembuktian; alat-alat bukti; cara menemukan,
mengumpulkan dan menyampaikan bukti di pengadilan; beban pembuktian; bukti
minimum; dan kekuatan pembuktian)-pemeriksaan praperadilan di Indonesia hanya
merujuk pada alat-alat bukti dan bukti minimum. Artinya, dalam penetapan
tersangka, apakah alat bukti yang dipunyai dan apakah telah memenuhi minimum
pembuktian untuk memproses suatu perkara.
Berbeda dengan
praperadilan di negara-negara yang menjunjung tinggi proses hukum yang benar
dan adil (due process of law), selain alat-alat bukti dan bukti minimum, maka
cara menemukan, mengumpulkan, dan menyampaikan bukti di pengadilan
(bewijsvoering) juga jadi obyek praperadilan. Karena itu, jika suatu bukti
diperoleh secara ilegal akan menggugurkan perkara (unlawful legal evidence). Namun,
di Indonesia, perihal bewijsvoering ini tidak diatur karena KUHAP yang dijadikan
landasan beracara, sementara sebagian besar kewajiban dan perintah yang
terdapat di dalamnya bersifat lex imperfecta (hukum tanpa sanksi atau akibat
yang jelas).
Celakanya,
pascaputusan praperadilan Novanto ada praktisi hukum-bahkan ada guru besar
hukum pidana-yang menyatakan Novanto tidak bisa lagi dinyatakan sebagai
tersangka dengan merujuk pada asas ne bis in idem. Jika pernyataan ini
dikemukakan oleh seorang praktisi hukum, kiranya dapat dipahami karena
kapasitas intelektual yang kurang memadai. Akan tetapi, jika pernyataan ini
dikemukakan oleh seorang guru besar hukum pidana, sungguh sangat menyesatkan.
Asas ne bis in idem
yang merujuk pada adagium nemo debet bis vexari, pada intinya menyatakan bahwa
seseorang tidak dapat dituntut lebih dari satu kali di depan pengadilan dengan
perkara yang sama (Pasal 76 KUHP). Syarat utama ne bis in idem harus ada res
judicata in criminalibuis. Artinya, telah ada pemeriksaan pokok perkara, sudah
ada putusan terhadap pokok perkara tersebut dan telah memiliki kekuatan hukum
tetap. Padahal, pemeriksaan praperadilan tidak meliputi pemeriksaan pokok
perkara.
Dengan demikian,
penetapan kembali seseorang sebagai tersangka bukanlah ne bis in idem, kendati
ada putusan praperadilan sebelumnya yang telah membatalkan status penetapan
tersangkanya. Tegasnya, proses hukum terhadap orang tersebut masih dapat
dilakukan.
Hak imunitas yang
salah kaprah
Kedua, masalah
imunitas. Beberapa kali Novanto tak memenuhi panggilan KPK dengan alasan
memiliki kekebalan hukum atau imunitas dalam kapasitasnya sebagai Ketua DPR.
Perlu dipahami bahwa dalam hukum pidana pada dasarnya tak mengenal imunitas.
Hal ini didasarkan pada dua postulat. Pertama, impunitas continuum affectum
tribuit delinquendi, yang berarti
imunitas yang dimiliki seseorang membawa kecenderungan pada orang tersebut
untuk melakukan kejahatan. Kedua, impunitas semper ad deteriora invitat, yang
berarti imunitas mengundang pelaku untuk melakukan kejahatan yang lebih besar.
Imunitas dalam
hukum pidana hanya diberikan kepada orang tertentu atas tindak pidana yang
dilakukan di luar teritorial negaranya. Seorang kepala negara memiliki imunitas
di luar wilayah teritorial negaranya. Hal ini berdasarkan postulat par in parem
non habet imperium; bahwa kepala negara tidak boleh dihukum dengan menggunakan
hukum negara lain. Demikian pula duta besar, konsul, dan diplomat yang punya
imunitas di negara penerima berdasarkan Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Diplomatik.
Selain itu, harus
diketahui bahwa korupsi adalah kejahatan internasional sebagaimana tertuang
dalam United Nations Convention Against Corruption yang telah diratifikasi
Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Pada hakikatnya korupsi
sebagai kejahatan internasional bagian dari hukum pidana internasional
substantif, yang salah satu karakteristiknya-menurut Bruce Broomhall-bahwa
pertanggungjawaban pidana individu tidak bergantung pada jabatan yang melekat
pada seseorang. Tegasnya, tanggung jawab individu tidak mengenal relevansi
jabatan resmi.
Adanya argumentasi
bahwa Ketua DPR memiliki hak imunitas dan karena itu tak dapat diproses hukum
secara serampangan, memperlihatkan ketidakpahaman atas penegakan hukum
pemberantasan korupsi. Sebagai kejahatan
luar biasa yang berdimensi internasional, proses pengusutan terhadap saksi
maupun pelaku tidak mengenal relevansi jabatan resmi.
Ketiga, upaya hukum
untuk melawan penetapan tersangka Novanto dengan cara mengajukan praperadilan
dan uji materi beberapa pasal ke Mahkamah Konstitusi. Kiranya upaya tersebut
tidak serta-merta dapat menghentikan proses hukum yang sedang berlangsung.
Bahkan, upaya praperadilan dapat gugur seketika jika pokok perkara mulai
diperiksa oleh pengadilan. Demikian pula uji materi yang diajukan ke MK
bukanlah sengketa prayudisial, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 KUHP, yang
dapat menunda penuntutan pidana. Berdasarkan memorie van toelichting, sengketa
prayudisial yang dimaksud adalah sengketa kepemilikan dalam ranah keperdataan
atau sengketa administrasi dalam konteks tata usaha negara dan bukan pengujian
suatu norma. Pengajuan uji materi ke MK tidak menghentikan proses hukum pidana
telah diejawantahkan dalam praktik penegakan hukum di Indonesia.
Jadi, alasan untuk
tak menghadiri panggilan KPK karena mengajukan gugatan praperadilan dan uji
materi ke MK, lebih pada logika jungkir balik untuk menghindari proses hukum.
Bukan atas dasar pemikiran normatif sistematis terhadap prinsip dan asas hukum
yang benar.
Sumber: Kompas, 23 November 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!