ADA pesan dari leluhur tanah Kedang, Pulau Lembata yang sampai saat ini masih lestari. "I
hin weren, matan mear." Frasa ini dapat diterjemahkan seperti ini. Emas menjadi pelindung. Ia menjadi dasar pijak masyarakat. Juga
nuba nara di Lebatukan, Lembata sebagai pusat ritual adat dan pusat kekuatan spiritual kampung.
Sebagai pelindung berarti tak boleh diapa-apakan. Ia harus dijaga, dilindungi agar tak hilang atau diambil. Dia merupakan salah satu kekuatan yang ikut menjaga tanah Kedang. Hal itu menjadi dasar pijak mengapa gelombang protes masyarakat dalam tiga tahun terakhir begitu dahsyat?
Ungkapan ini pun ada dasarnya bila dilihat dari segi sejarah. Ada Gunung Uyelewun sebagai kepala (pemimpin),
okalewun (panglima-panglima perang) dan
beyalewun (turunan dari Kedang hingga luar negeri). Kaitan antara
ihin weren, matan mear, uyelewun, okalewun dan
beyalewun ini tak bisa dipisahkan, merupakan satu kesatuan dalam tata adat wilayah Kedang.

Banyak orang berpikir mengapa masyarakat Kedang (meliputi Kecamatan Omesuri dan Buyasuri) dan wilayah hukum adat Hadakewa dan sekitarnya menolak tambang ini. Dasar pemahaman masyarakat adalah ingin mempertahankan harta warisan. Bila harta sudah diambil demi kepentingan investor, maka pemangku hak ulayat dianggap sudah mati meski masih hidup.
Dasar penolakan lain, yakni Lembata adalah pulau adat. Itu artinya jangan dirusakkan. Bila investor memaksa menambang, maka pulau kecil ini bisa tenggelam karena deposit emas melingkupi sebagian besar wilayah ini.
Logikanya begini. Tambang akan menghasilkan puluhan bahkan ratusan lubang. Daerah itu adalah jalur vulknik. Jalur gempa. Ketika terjadi getaran gempa, maka lubang-lubang galian itu akan runtuh dan tentu saja pulau kecil itu bisa tenggelam dalam hitungan menit. Berbeda dengan Pulau Kalimantan, Sulawesi atau Papua dengan areal yang luas.
Karena itu, masyarakat meminta siapa pun boleh datang dan melihat langsung pulau adat ini. Dan, pulau ini jangan dijual demi kepentingan hegenomi. Kekuasaan akan berakhir. Masyarakat yang sadar akan tata adat yang melestari ratusan bahkan ribuan tahun itu menyadari eksistensi ini.
Pertimbangan lain, bila tambang berjalan maka masyarakat setempat hanya menjadi pekerja kasar dalam jangka waktu tertentu. Sebuah ironi memang. Tanah itu milik masyarakat tetapi mereka diperlakukan sebagai pekerja kelas dua. Memang, dalam konteks ini, dengan tingkat pendidikan masyarakat yang rata-rata SD tak bisa menjanjikan, siapa pun bisa memahami. Titik bidik utama bukan perkara ini, tetapi menjaga harkat martabat agar tak diinjak-injak oleh sistem kapitalisme yang memang kejam.
Banyak fakta telah berbicara. Di Freeport, Papua, masyarakat yang berdiam 30 cm dari tembok lokasi tambang masih memakai koteka. Padahal mereka pemilik ulayat. Perusahaan ini hadir bukan untuk masyarakat setempat, namun mementingkan kepentingan bisnis Amerika Serikat.
Di Buyat, Minahasa juga demikian. Masyarakat menjadi korban limbah tambang. Karena dongkol, sakit hati, mereka membakar kampungnya. Atau ambil contoh di Atanila sana. Apa yang masyarakat peroleh saat tambang barit berlangsung di sana? Tak ada memang.
Pikiran-pikiran ini mengalir deras dari mulut Anton Leumaran (32), salah satu aktivis yang menolak tambang emas ketika ditemui di Desa Peusawa, Kecamatan Omesuri –80 kilometer timur Kota Lewoleba, Senin (26/4/2010). Di kaki Gunung Uyelweun yang sejuk ini, Anton yang tergabung dalam Barisan Rakyat Kedang (Barak), terus berjuang.
Titian perjuangan mereka tak gampang. Harus menghadapi kerasnya arus kekuasaaan dan investor yang seakan menutup mata hatinya. Terbukti suara-suara "jernih" masyarakat ini hilang. Tak didengar. Muncullah gelombang protes ke Pemkab Lembata. Pemerintah dan investor pun tak mampu memberi keyakinan kepada masyarakat.
Lain lagi pikiran Abu Sama (66), pemilih hak ulayat bukit Puakayong, Desa Peuuma. Abu Sama melukiskan dalam bahasa daerah setempat. "
Kalu muar, muar ruang." Artinya, kebenaran itu akan kekal abadi. Sebaliknya, mudarat akan datang bila kebenaran itu dikangkangi. Kebenaran itu ia lukiskan seperti lombok yang dimakan, tapi tak langsung pedis.
Pikiran ini ia ungkapkan karena Pemkab Lembata seakan menutup matanya terhadap masyarakat pemilik ulayat. Ini terbukti dari sikap devensif pemerintah yang memaksakan kehendaknya. Sosialisasi tambang emas hanya melibatkan aparat pemerintah desa dan kecamatan. Sedangkan masyarakat sebagai pemilih hak ulayat tak dilibatkan. Masyarakat bukan menolak tambang, tetapi ada langkah yang salah dari pemerintah.
Kondisi yang digambarkan Abu Sama ini tak berbeda dengan pikiran Euripides (431 sebelum masehi). Dia bilang, "Tidak ada kesedihan yang lebih pahit di muka bumi ini daripada kehilangan kampung halaman yang tercinta."
Benar. Ini soal tata adat, tata krama dan sopan santun. Soal etika memasuki "rumah" orang. Bila pemilik rumah saja tak ditegur meski tamu itu bertujuan baik, maka tetap membawa petaka. Cara masuknya sudah salah. Hasil tambang pun tak akan membawa manfaat apa-apa. Bahkan masyarakat akan menjadi korban dari kebijakan ini.
Abu Sama juga menyetir ungkapan adat ini. Tubar lunin lein beler. Artinya, Kedang (Gunung Uyelewun) sebagai kepala, pemimpin dan Gunung Labalekan sebagai kaki. Bila pemimpin (kepala) sudah dirusakkan, maka dengan sendirinya kaki akan ikut rusak. Ia juga menyitir ungkapan adat lain yang syarat makna.
Iwang qari owang, edang paro. Artinya, kalau Ile Ape (masyarakat yang berdiam di kaki Gunung Ile Ape, Red) lapar, Kedang memberi asupan penganan. Juga ungkapan lain, edang birang, iwang qari loqe. Artinya, bila pakaian orang Kedang robek, orang Ile Ape akan datang menutup badannya.
Ungkapan ini menyiratkan banyak hal. Intinya terkait pada tata ekosistim alam. Bila alam Kedang rusak maka alam Ile Ape dan alam seluruh Lembata akan ikut rusak sampai ke Labalekan sana. Sampai ke Mingar.
Pandangan yang sama dikemukakan Hendrikus Hering Amunamama (83), warga Desa Meluwuting. Ia mengatakan, tambang emas merusakkan tanah, manusia dan harta benda. Apalagi adat Kedang tak boleh menggali harta dalam tanah. Pensiunan guru ini mengatakan, Kedang merupakan satu keutuhan yang tak bisa diceraiberaikan oleh kekuatan apa pun.
Sedangkan P Leumara (60) mengatakan, pemerintah jangan melihat persoalan tambang dari kecamata kuda. Jangan hanya melihat tambang dari kacamata ekonomi. Tetapi, perlu dilihat dalam bingkai, perspektif yang lebih luas. Bingkai budaya, sistem sosial dan antropologi.
Pandangan lain dikemukakan Tadeus Tukan, Ketua Forkomda Desa Tapolangu, Kecamatan Lebatuk. Tukan mengatakan, langkah-langkah yang ditempuh pemerintah banyak yang janggal. Ia menyebut kegiatan Musrenbangcam diisi dengan melakukan sosialisasi tambang emas. Dalam sosialisasi pemerintah tak menggambarkan secara jelas dampak negatif dari pertambangan.
Kepada masyarakat pemerintah mengatakan, masyarakat akan menjadi kaya dan investor akan membangun apartemen bagi masyarakat. Masuk akalkah itu? "Bohong. Itu penipuan," katanya.
Menurut PT Merukh Lembata Copper (MLC), yang merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan satelit Jepang dan Amerika Serikat pada tahun 1970-an menunjukkan bahwa kandungan emas dan tembaga di Pulau Lembata merupakan yang terbesar ketiga di dunia setelah Rusia dan Chili. Hasil foto satelit itu menunjukkan bahwa sekitar 15.970 hektar wilayah di Kecamatan Lebatukan mengandung potensi emas dan tembaga, sedang potensi emas dan tembaga di wilayah Kecamatan Buyasuri mencapai 33.890 hektare.
Harus Dipikirkan
Wakil Ketua DPRD Lembata, Hyasinthus Burin, mengatakan, pada masa DPRD periode lalu ada keputusan DPRD Nomor 17 yang menyetujui adanya tambang di Lembata. DPRD memberi persetujuan dukungan kepada pemerintah untuk melakukan investasi di bidang pertambangan.
Burin mengatakan, DPRD periode sekarang berbeda persepsi soal tambang. Pertimbangan-pertimbangan itu berdasarkan pengeluhan masyarakat yang gencar menolak tambang.
Oleh karena itu, anggota DPRD dari PDIP ini, mengatakan, DPRD periode 2009–2014 sangat hati-hati dalam menentukan sikap soal investasi di bidang tambang. Sehingga, kata Burin, banyak hal termasuk penyertaan anggaran untuk sosialisasi tambang golongan A (emas), perak, tembaga, ditiadakan. Memang anggaran yang dirancang pemerintah Rp 300 juta untuk sosialisasi tambang ada, namun dalam proses pembahasan APBD tak diakomodir. Penolakan ini dalam rangka menjawab tuntutan masyarakat atas penolakan investasi di bidang ini.
Dalam laporan keterangan pertanggujawaban (LKPj), pemerintah juga telah melaporkan kepada DPRD, terutama di Bab VI LKPj bahwa proyek berjalan, tapi banyak hambatan. Inti persoalan terletak pada pendekatan yang tak dilakukan secara sempurna. Sebenarnya masyarakat kurang "disentuh" yang kemudian berdampak pada protes dan penolakan itu.
Ia mengatakan, perlu ada pemikiran bahwa di Lembata perlu ada investasi. Apakah pertambangan dilanjutkan atau investasi di sektor lain. Tapi, perlu ada pikiran seperti ini untuk menjadi kajian bersama. Karena hakekat Otda adalah kemandirian daerah untuk mengurus rumah tangga sendiri.
Burin mengatakan, dalam periode tertentu investasi menjadi aspek yang harus diperkuat. Jalan keluarnya, yakni baik pemerintah, masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh agama dan investor duduk bersama mendiskusikan apakah perlu melanjutkan atau tidak investasi pertambangan di Lembata. Dan, perlu ada kerelaan untuk mendengar, baik pemerintah, masyarakat dan investor. Apakah ini mungkin? (Paul Burin)
Sumber: Pos Kupang, 6 Juni 2010
Ket foto: Masyarakat Leragere, Kecamatan Lebatukan, Lembata (gbr 1) tengah mendengar sosialisasi soal plus-minus tambang. Masyarakat Desa Benihading II di Kedang saat menyaksikan pemutaran film hasil rekaman JPIC OFM Indonesia terkait rencana tambang Lembata (gbr 2). Foto: dok. Ansel Deri