Headlines News :

Dukun di Lembata Ikut Bahas Ranperda

Written By ansel-boto.blogspot.com on Sunday, June 20, 2010 | 5:14 PM

Sejumlah dukun bersalin di Kabupaten Lembata, ikut dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir (KIBBLA).

Selain dukun bersalin, anggota DPRD Lembata, kader posyandu, tokoh agama, wakil perempuan, kepala desa, pengurus Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Lembata dan para kepala program dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Lembata juga ikut kegiatan yang berlangsung di Aula Don Bosco, Selasa (15/6/2010).

Sebagai salah satu pemateri dalam pembahasan Ranperda Kibbla tersebut, Anggota DPRD NTT, Gabriel Suku Kotan, S.H mengatakan untuk membuat Ranperda Kibbla, butuh pemahaman yang sama tentang prosedur anggaran.

Dengan begitu, lanjut Kotan, meskipun dana terbatas, tetapi anggaran tersebut dapat dimaksimalkan untuk kepentingan masyarakat banyak.

Menurut Kotan harapkan untuk mendapat dukungan dana yang maksimal untuk KIBLLA di Lembata, harus diperjuangkan. Dan, perjuangan itu harus dilakukan bersama semua stakeholder, termasuk kepala daerah bersama legislatif.

Dia mengatakan penyelenggaraan pemerintahan merupakan penjabaran dari kekuasaan politik. Untuk mengimbanginya butuh kekuatan politik di tingkat legislatif.

"Jadi, kalau ada usulan program ke propinsi dan kurang mendapat respon, selayaknya para pimpinan dinas melakukan pendekatan secara langsung dan beberkan urgensi kepentingan bagi masyarakat. Kalau pun masih terhambat, maka gunakanlah kami di legislatif. Kami siap membantu masyarakat," ujarnya.

Untuk itu, Kotan menyarankan beberapa langkah yang bisa diambil terkait Ranperda Kibbla tersebut. Pertama, tingkatkan kualitas perencanaan. Berikutnya, melibatkan semua komponen dan terakhir adanya komitmen politik dari para pengambil kebijakan.
Sumber: Pos Kupang, 19 Juni 2010
Ket foto: Gabriel Suku Kotan

Warga Woloklaus Sudah Sembuh Total

Bagi publik Lembata, nama Kampung Woloklaus sudah tak asing lagi. Kampung ini merupakan tempat domisili sejumlah warga yang dulunya menderita penyakit lepra. Tapi sekarang mereka sudah sembuh total.

Hal itu diungkapkan beberapa warga Kampung Woloklaus, ditemui FloresStar Kamis (17/6/2010) siang. Mereka itu adalah Karolus Kopong, Yoseph Marang, dan Antonius Wada, eks pasien lepra.

Menurut Antonius Wada di kampung itu ada sekitar 20-an kepala keluarga (KK). Mereka itu dulunya pasien lepra, yang bertahun-tahun menghuni Rumah Sakit Lepra (RSL) St. Damian-Lewoleba.

Ada yang meninggalkan rumah sakit itu tahun 1969, ada juga tahun 1970-an dan tahun 1980-an. Eks pasien lepra itu kemudian berdomisili di tempat itu. Rumah yang dihuni dibangun oleh Pater Klaus, saat masih bertugas di rumah sakit lepra itu.

"Saya tinggal di sini bersama keluarga hampir 20 tahun. Sebelum ke sini, saya berobat tujuh tahun di Rumah Sakit Damian. Setelah dinyatakan sembuh tahun 1969, saya sempat ke kampung dan baru datang lagi tahun 1972 sampai sekarang," ujar Woda.

Dia menyebutkan rumah yang ditempatinya bersama keluarga saat ini, diperoleh dari Pater Klaus. Pater Klaus-lah yang menmbangun rumah tersebut untuk eks pasien lepra.

Menurut Wada walau harus tinggal jauh dari sanak keluarga, tetapi pria asal Flores Timur ini mengaku tenang. Ia sangat menikmati kehidupan yang dijalaninya di Woloklaus bersama keluarganya.

Saban hari, ia berjuang menafkahi keluarga dengan berjualan minyak kelapa. Ia tak bisa jual hasil pertania, karena mereka tidak memiliki lahan sebagai sandaran ekonomi keluarga.

"Sebenarnya saya mau kembali ke kampung (Larantuka, Red). Tapi di sini juga aman dan nyaman, sehingga saya memilih menetap disini bersama keluarga," ujarnya.

Mengenai penyakit yang pernah dideritanya, dia mengatakan, penyakit itu sudah sembuh total. Kesembuhannya itu sudah sejak 20-an tahun lalu, sehingga selama ini ia tidak lagi mengkonsumsi obat-obatan tersebut.

"Saya berhenti minum obat sejak dinyatakan sembuh total dan keluar dari rumah sakit itu tahun 1969. Sekarang ini saya tidak lagi menderita penyakit ini," ujarnya dengan nada datar.
Sumber: Pos Kupang, 19 Juni 2010
Ket foto: Para penderita kusta di RS St Damian Lewoleba, Lembata bersama para suster (biarawati) yang merawat mereka. Dulu, setelah sembuh sebagian menetap di Woloklaus, Lewoleba. Foto: dok. Ansel Deri

Weslindo Menangi Tender Panas Bumi Atadei

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, June 18, 2010 | 11:15 AM

PT Weslindo Utama Karya terpilih sebagai pemenang tender proyek pengeboran panas bumi di Desa Watuwawer, Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata. Pengumuman pemenang itu di Jakarta, Rabu (9/6/2010).

Penandatanganan penetapan pemenang tender proyek pengeboran panas bumi itu, dihadiri Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk, Ketua DPRD Lembata, Yohanes de Rosari, S.E, Sekda Lembata, Drs. Petrus Toda Atawolo, M.Si dan Ketua Fraksi Nurani Peduli Keadilan, Fredrikus Wilhelmus Wahon.

Hal itu diungkapkan Wahon kepada FloresStar di Gedung DPRD Lembata Senin, (14/6/2010) siang. Dia mengatakan, dalam tender itu, perusahaan tersebut mengalahkan rivalnya, PT Merukh Atadei Enterprices.

Pasca pengumuman itu, PT. Weslindo Utama Karya diberi kesempatan selama sebulan melengkapi persyaratan admistrasi dan memberikan jaminan uang 10 juta dolar AS di bank, sebelum memulai pekerjaan dua sumur bor panas bumi di Watuwawer itu.

PT. Weslindo Utama Karya juga belum bisa melakukan eksplorasi di lokasi pengeboran panas bumi. Karena selain harus menginvestasikan uangnya 10 juta dolar, DPRD melalui Komisi II bersama pemerintah juga masih melakukan studi banding ke lokasi pengeboran panas bumi yang sedang dilaksanakan di Kalimantan.

"Sebelum memulai pekerjaan, komisi II dan pemerintah daerah akan melakukan studi banding ke daerah pengeboran panas bumi yang dikerjakan PT Weslindo Utama Karya di Kalimantan. Studi banding itu melibatkan tokoh masyarakat, tokoh adat, pemilik tanah dan pers," ujarnya.

Jika dalam kurun waktu 6 bulan setelah penandatanganan kontrak itu, PT Weslinda Utama Karya tidak segera melakukan explorasi, maka pemerintah kabupaten akan melakukan sita jaminan senilai 5 persen dari 10 juta dolar," jelas Wahon.

Dia juga mengatakan, hasil dari panas bumi Atadei yang akan dilakukan pengeboran oleh PT. Weslindo Utama Karya itu, akan dikelola PLN dengan sistem bagi hasil dengan kementrian PSDM.

Namun untuk itu, pihaknya mengharapkan pelaksanaan proyek ini, semua pihak yang terlibat di dalamnya memperhatikan aspek lingkungan alam di sekitar lokasi pengeboran.
Tarif Lebih Murah

Kepala PLN Ranting Lewoleba, Abdul Wahab Ibrahim, mengatakan energi panas bumi di Desa Watuwawer, merupakan aset Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lembata. Aset itu sangat potensial untuk dimanfaatkan demi kepentingan masyarakat.

Ibrahim menjelaskan energi panas bumi di Atadei, bisa menjadi sumber energi listrik untuk disuplai ke selurh masyarakat Lembata. Mengingat besarnya sumber energi itu, maka biaya listrik untuk masyarakat setempat menjadi lebih murah.

"Di Atadei 'kan ada energi panas bumi yang akan dimanfaatkan sebagai energi alternatif untuk kebutuhan listrik masyarakat. Kalau energi itu digunakan PLN, maka bisa saja harga listrik di Lembata lebih murah," ujarnya.

Karena itu, Pemkab Lembata harus serius memaksimalkan energi panas bumi itu. Apalagi pemenang tender proyek pengeboran itu sudah ada.

"Syukurlah kalau sudah ada pemenang tender untuk proyek pengeboran panas bumi di Atadei itu. Ini akan sangat menguntungkan masyarakat dan pemerintah," jelas Ibrahim.

Saat itu Ibrahim mengharapkan agar pemerintah memberi perhatian dalam rangka pembangunan rumah mesin di Batas Kota. Rumah mesin itu sebagai tempat pemindahan mesin PLTD yang digunakan selama ini.

Menurut dia, keberadaan PLTD yang berdampingan dengan Kantor PLN Lewoleba, dan berada di dalam kota, selain mengganggu aktivitas kantor PLN juga masyarakat yang bermukim di sekitar kantor PLN tersebut.

"Kami sangat mengharapkan agar pemerintah serius membangun rumah mesin PLTD di Batas Kota. Sebab letak PLTD di pusat kota sangat mengganggu kenyamanan masyarakat baik siang maupun malam hari," ujar Ibrahim.
Sumber: Pos Kupang, 16 Juni 2010
Ket foto: Tim dari Direktorat Jenderal Panas Bumi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI meninjau lokasi panas bumi di Desa Wauwawer, Kecamatan Atadei, Lembata, NTT pada Rabu,10 Februari 2009. Tim didampingi Asisten Perekonomian Setda Lembata, Drs. Bernadus Hipir.
Sumber: spiritentete.blogspot.com

RSU Lewoleba Tanpa Ruang Jenazah

Rumah Sakit Umum (RSU) Lembata ternyata diselimuti aneka masalah. Selain ruang paviliun belum rampung, di RSU itu pun belum ada ruang jenazah. Makanya setiap pasien yang meninggal dunia, diupayakan segera dikembalikan.

Direktur RSU Lewoleba, drg. Arnold Marbun yang dikonfirmasi FloresStar di kediamannya, Minggu (13/6/2010) malam, membenarkan hal itu. "Sampai sekarang belum ada ruang jenazah di rumah sakit ini," ujarnya.

Pantauan FloresStar siang kemarin kompleks rumah sakit yang berlokasi di wilayah batas kota itu, belum ada bangunan untuk ruang jenazah. Padahal ruangan itu merupakan bagian penting dari sebuah rumah sakit.

Sejumlah warga mengatakan ketiadaan ruang jenazah itu, akan menyulitkan warga jika ada sanak keluarga yang meninggal dunia di rumah sakit itu.

Menurut Marsel Werang (34), seharusnya pemerintah daerah dan DPRD mengalokasikan dana untuk membangun ruang jenazah di rumah sakit tersebut. Hal itu untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.

"Kalau tidak ada upaya pemerintah membangun ruang jenazah, bagaimana kalau ada pasien yang mengalami kecelakaan lalu lintas (lakalantas) dan meninggal dunia tapi yang bersangkutan tidak membawa identitas diri berupa KTP atau SIM dan lainnya. Jenazah itu akan disemayamkan di mana?" tanyanya.

Direktur RSUD Lewoleba, drg. Arnold Marbun, yang dikonfirmasi FloresStar di kediamannya, Minggu (13/6/2010) malam, mengakui kekurangan fasilitas di rumah sakit itu.

Dia mengatakan, pihaknya akan mengusulkan kepada Pemkab Lembata untuk dibangun secepatnya. Ruang jenazah merupakan salah satu bagian penting dari rumah sakit.

"Untung saja tingkat lakalantas di Lewoleba sangat minim. Kalau lakalantasnya tinggi seperti di Maumere dan kota lainnya di NTT, kami kelabakan mengurus jenazah," ujarnya.

Menurut dia, keberadaan ruang jenazah itu, selain jadi tempat penitipan jenazah, juga digunakan untuk kepentingan otopsi. Contoh kasusnya, seperti yang dilakukan terhadap korban pembunuhan Yoakim Laka Langodai.

"Waktu otopsi itu, kami terpaksa menggunakan bangunan yang diperuntukkan bagi klinik VCT. Itu sempat diprotes keluarga korban. Namun setelah dijelaskan, mereka mengerti," ujarnya.

Sedangkan pasien yang meninggal di rumah sakit, lanjut dia, diupayakan agar dimandikan secepatnya untuk diantar ke rumah duka dengan mobil ambulans rumah sakit.
Sumber: Pos Kupang, 16 Juni 2010
Ket foto: Salah satu ruang jenazah. Di Rumah Sakit Umum Daerah (RS UD) Lewoleba, Lembata, NTT, tak ada ruang jenazah. Bagaimana Ibu Menteri Kesehatan RI? Foto ilustrasi: google.co.id

Perburuan Paus di Lamalera & Lamakera, NTT

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, June 16, 2010 | 6:11 PM

Lamalera terletak di pantai selatan Pulau Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur. Saat ini Pulau Lembata sudah menjadi kabupaten sendiri yang sebelumnya gabung dengan Kabupaten Flores Timur. Di hadapannya terbentang laut sawu yang cukup ganas. Sudah sejak dulu masyarakat Lamalera terkenal sebagai masyarakat nelayan, dan penangkap ikan paus secara tradisional. Secara administratif desa Lamalera berada di wilayah Kecamatan Wulandoni, di perkampungan tersebut lamalera terbagi menjadi dua desa yaitu Desa Lamalera A dan Desa Lamalera B dengan jumlah penduduk kurang lebih 2.000 jiwa.

Dulunya kampung Lamalera merupakan kampung terpencil, terisolasi dan jauh dari keramaian, saat ini sudah mulai ada pembangunan PLN dan pembuatan jalan aspal untuk memudahkan alat tranportasi. Kampung-kampung Lamalera pun dibangun di atas batu cadas dan karang tepat di kaki atau di lereng bukit atau gunung. Desa Lamalera dengan panorama alam pegunungan yang sedikit gersang serta deruhnya ombak pantai selatan, topografinnya yang bergunung-gunung dan bebatuan dan disertai dengan kemiringan yang cukup terjal yang menantang hidup dan kehidupan orang Lamalera.

Sepertinya sangat tidak wajar nelayan bila masyarakat desa Lamalera lebih memilih berburu ikan-ikan besar yang sebenarnya adalah termasuk ke dalam jenis-jenis 'Mamalia Laut' (Cetacean) yang besar dan sangat beresiko tinggi bila dibandingkan menangkap ikan lainnya, tapi itulah kenyataan yang terjadi dengan kondisi alam, topografi, serta bekal kemampuan yang digariskan secara turun menurun oleh nenek moyang mereka. Sehingga membuat mereka terbisa dan pasrah akan bahaya yang selalu dihadapi untuk menyambung hidup dengan berburu paus.

Sebelum musim berburu, desa Lamalera memiliki tradisi atau budaya penangkapan paus yang setiap tahunnya diadakan uipacara adat sekaligus misa untuk memohon berkah dari sang leluhur serta mengenang para arwah nenek moyang mereka yang gugur di medan bahari bergelut dengan sang paus. Upacara dan Misa atau biasa di sebut lefa dilaksanakan setiap tanggal 1 Mei.

Secara resminya penangkapan ikan paus terjadi pada bulan Mei-November, namun tak jarang juga bulan Desember-April nelayan lamalera tetap melakukan penangkapan paus ketika paus tersebut melewati perairan laut Sawu. Hal ini bukan bearti melanggar adat yang sudah di tetapkan, di mana pada bulan-bulan tersebut orang Lamalera menamakan bulan perburuan atau yang disebut dengan baleo.

Musim Lefa ini merupakan waktu khusus untuk melaut, serta berburu ikan paus dan ikan -ikan besar kainnya seperti lumba-lumba, hiu, pari. Di saat musim inilah masyarakat Lamalera beramai-ramai pergi melaut. Menurut mereka di musim-musim inilah ikan-ikan besar sering muncul dan bermain menampakan dirinya di permukaan Laut Sawu.

Masyarakat Lamalera pada prinsipnya untuk berburu menggunakan cara tradisional, untuk menangkap Paus atau biasa disebut Kotoklema (Sperm Whale/Physeter macrocephalus) menggualakan perahu layar yang menurut bahasa daerah Lamalera disebut peledang. Perahu layar tersebut dilengkapai dengan alat tikam/harpun tangan yang disebut tempuling, tali panjang (tali leo), yang ikatkan pada mata tombak (tempuling), dan ditambah bambu sepanjang 4 meter sebagai alat bantu tikam. Dalam satu peledang biasanya di muati oleh 7 Crew dan orang yang khusus memegang peranan dalam menikam paus adalah juru tikam yang disebut balafaing (lamafa).

Peledang didisain tanpa ada penutup agar para awak kapal dapat memantau ikan yang muncul kepermukaan. Setelah sudah terlihat maka peledadang akan mendekati ikan tersebut dan juru tikam angkat tempuling dan siap untuk menancapkan tempuling tersebut tepat kebagian jantung paus tersebut, biasanya tiakaman sampai 4 kali atau bahkan lebih. Ketika tikaman pertama ini merupakan saat–saat yang paling berbahaya bagi para awak peledang karena paus akan berontak dan mengamuk, tak jarang perahu peledang akan di bawa oleh paus ke dalam laut atau terbalik balik bahkan dihancurkan oleh oleh kepala atau ekor paus.

Setelah paus sudah mulai lemah dan tidak berdaya lagi untuk lebih mempercepat kematian maka ada bagian yang di robek oleh pisau tajam agar darah cepat keluar dan paus tersebut cepat mati. Setelah terlihat mati maka paus tersebut di tarik/ditonda oleh perahu - perahu tersebut sampai kepantai lamalera, dan siap untuk dipotong dan dibagi-bagi. Pembagian daging paus sudah ditentukan sejak jaman nenek moyang mereka.

Semua bagian paus adalah penting dan terpakai semua antara lain adalah daging, kulit, lemak, darah, dan tulang. Ketika ada satu ekor paus ditikam maka semua masyarakat Lamalera akan mendapatkan jatah semua, walaupun tidak ikut kelaut, karena bisa dibarter dengan ikan lain atau hasil bumi.

Fakta Lain Yang Terjadi

Beberapa ketentuan yang sudah ditetapkan oleh nenek moyang mereka dalam memburu paus yang perlu diperhatikan adalah jumlah, ukuran jenis kelamin serta umur. Menuru nenek moyang mereka paus yang tidak boleh ditangkap adalah paus yang sedang kawin, anak, dan betina yang sedang hamil. Tapi nampaknya saat ini masyarakat sudah tidak menghirauakan aturan-aturan adat yang sudah di tetapkan oleh nenk moyang mereka, apalagi ditambah oleh kemajuan teknologi yaitu adanya peledang yang menggunakan mesin boat 15 PK, dan perahu/jonson (matros) yang mencari ikan – ikan besar dengan mesin boat 15 PK mereka juga memantau keberadaan paus di Laut Sawu, ketika mereka melihat maka jonson akan memberi tanda kepada jonson lain atau masyarakat didarat sebagai tanda “Baleo”.

Jenis paus yang ditikam oleh masyarakat Lamalera adalah paus sperma/sperm whale (Physeter macrocephalus) atau biasa disebut orang Lamalera adalah kotoklema. Mereka sangat pantang sekali untuk menikam paus-paus lain, seperti jenis “kelaru” (Minke whale/Balaenoptera acutorostrata) yang juga merupakan salah satu jenis paus yang biasa ditikam oleh masyarakat Lamakera di Pulau Solor, kerena munurut sejarahnya klaru pernah menolong nenek moyang mereka tapi apa yang terjadi ikan tersebut saat ini juga mereka tikam jika melewati laut sawu.

Memang unik dan sedikit aneh karena masyarakat Lamalera mempunyai kebiasaan menikam semua jenis ikan, dan sangat jarang sekali yang mencari ikan-ikan kecil, paling-paling ikan terbang. Salah satu orang yang berprofesi sebagai guru SLTP di desa Lamalera, beliau mencatat jenis dan jumlah ikan yang ditikam masyarakat Lamalara sejak tahun 1996 sampai sekarang.

Adapun jenis-jenis ikan yang biasa ditikam masyarakat Lamalera antara lain (1) Paus/Kotoklemah/Paus sperma/Sperm Whale/Physeter macrocephalus, (2), Temu Bela/Lumba-lumba besar / Pilot Whale / Globicephala melaena (3) Seguni / Ikan ganas / Killer Whale / Orcinus orca (4) Ikan Mera (5) Kelaru / Minke Whale / Blaenoptera acutorostrata (6) Iyu Bodo/Iyu Kiko / Whale Shark (7) Temu Blure / Lumba-lumba kecil / Dolphins (8) Moku / Pari kuning (9) Bou / Pari kecil (9) Blele / Pari besar (11) Kebeku / Ikan matahari / mola – mola (12) Ikan Raja / Tuna (13) Kea / Penyu

Dari catatan tersebut ternyata masyarkat Lamalera menikam 6 jenis paus yang melewati perairan laut sawu. Untuk panjang paus yang mereka tikam sekitar 6 – 13 meter. Bagian yang paling utama dimanfaatkan dari Paus adalah adalah :

Daging, warna daging paus adalah kemerahan, layaknya jenis mamalia lain. Biasanya daging – daging tersebut diawetkan dengan bantuan sinar matahari setelah dibubuhi garam, ketika daging paus benar – benar kering dapat disimpan sampai 1 tahun lebih.

Kulit, paus mempunyai ketebalan berkisar 10 – 20 Cm juga diawetkan dengan dijemur di bawah panasnya matahari

Minyak, diperoleh dari bagian kulit dan lemak otak biasanya ketika kulit di jemur maka minyak akan menetes sedikit demi sedikit, kemudian ditampung. Biasanya minyak yang diperoleh dari proses penjemuran kulit berwarna hitam dan bau tidak sedap, tapi jika minyak diperoleh dari hasil memanaskan dengan api diletakkan diatas kuali dan ditambah sedikit rempah – rempah akan terlihat kuning jernih seperti minyak kelapa dan bau harum. Minyak paus dimanfaatkan sebagai bahan bakar lampu pelita yang tidak menimbulkan efek polusi seperti lampu lentera bahan bakar minyak tanah, bisa juga dimanfaatka sebagai minyak goreng bahkan sebagai obat.

Tulang paus dulu dimanfaatkan sebagai tempat untuk menumbuk jagung, tapi saat ini banyak yang memanfaatkan sebagai suvenir seperti dibuat asbak dan miniatur kotoklemah dan di jual kewisatawan yang berkunjung ke Lamalera.

Gigi, biasa dimanfaatkan sebagai cincin atau bandl kalung karena menurut kepercayaan sebagian masyarakat Lamalera gigi seguni / killer whale bisa di gunakan sebagai penangkal ilmu hitam / black magic.

Darah paus juga dimanfaatkan masyarakat lamalera sebagai bahan campuran untuk mengolah masakan daging paus.

Dari tahun 1996 sampai tahun 2005 tercatat sekitar 1084 ekor cetacean yang di tikam oleh masyarakat Lamalera, dengan perbandingan paus sekitar 489 ekor dan lumba – lumba sekitar 595 ekor.

Mengintip Sisi Perdagangan Bagaian-bagian Paus

Penangkapan paus secara tradisional di Lamalera pertama kali dicatat pada abat ke-7. Kapal penangkap paus dari Amerika dan Eropa datang ke kawasan ini pada abad ke-18 (Barnes 1980). Sampai saat ini penangkapan paus secara tradisional masih berlangsung.

Data yang tersedia menunjukkan bahwa terjadi suatu penurunan hasil tangkap paus dari tahun ke tahun. Namun demikian sampai saat ini belum diketahui sebabnya secara jelas, yang pasti hal ini dapat di sebabkan adanya penurunan populasi paus dikawasan ini atau karena jumlah peledang sudah menurun atau kelompok paus bermigrasi dengan jalur lain? Hasil tangkapan terbesar terjadi pada tahun 1969, ketika itu tertangkap sekitar 59 ekor paus sperma/kotoklemah.

Lamalera merupakan salah satu desa terpencil yang sudah banyak dikenal dan diekspos oleh dunia luar tentang perburuan paus. Awal tahun 1980 suatu project yang di biayai oleh FAO mencoba untuk mengenalkan perburuan paus secara modern dengan menggunakan kapal yang lebih tinggi kecepatanya serta senjata untuk membunuh paus.

Proyek ini dilakuakn karena berbagai halangan dan masalah yang tidak dapat diatasi dengan hanya menyediakan teknik modern bagi penduduk desa, tetapi juga karena pandangan dan pendapat penduduk lokal, misalnya memasarkan daging paus adalah tidak mudah karena penduduk adalah nelayan subsisten, serta ekonomi pasar belum masuk kedalam cara berpikir mereka (Barnes: 1984).

Saat ini jumlah pemburu paus menurun, salah satu alasanya adalah ketersediaan kesempatan kerja selain berburu paus, anak-anak muda pun sudah mulai enggan belajar menikam ikan. Ini juga merupakan peluang yang baik bagi para paus untuk meneruskan kelangsungan hidupnya.

Dua tahun kebelakang ada orang berkebangsaan Korea ( Mr. on ) yang sudah melirik peluang bisnis daging paus dan lumba-lumba sebagai bahan konsumsi. Menurut penuturan Kepala desa, orang tersebut sebelumnya sudah memiliki restoran daging paus di Korea, tapi karena ada larangan maka restoran tersebut di tutup, di sudah lama di Jakarta dan memiliki istri orang Jawa.

Rencara baru orang tersebut adalah ia akan membuar restoran khusus orang Korean dengan menu spesial yaitu daging paus dan lumba-lumba. Bulan Mei 2005 beliau sudah akan melakukan kontrak pembelian daging paus dan lumba – lumba + sekitar 4 ton atau bahkan lebih dengan harga Rp. 5000 – Rp. 10.000,- per kilogramnya.

Masyarakat sempat tergiur dengan proyek tersebut, tapi melihat kondisi penangkapan paus tahun ini baru 1 ekor, maka untuk sementara kontrak tersebut diputus dahulu, tapi untuk sementara itu orang Korea tersebut pun pulang ke Jakarta untuk mengurus ijin, dan akan membawa mobil es untuk siap menampung daging-daging paus dan lumba-lumba tersebut.

Hal tersebut merupakan ancaman yang cukup serius jika hal tersebut benar-benar terjadi, karena dengan begitu akan semakin memacu perburuan paus dan lumba-lumba secara besar-besaran lagi. Sampai saat ini belum diketahui populasi paus dan lumba -lumba di dunia secara pasti, karena paus merupakan salah satu hewan “High Migratory” (migrasi panjang) seperti penyu.

Sementara bagian lain yang sudah ada peminatnya adalah tulang – tulang paus baru sekitar dua tahun kebelakang oleh orang Ende di beli dengan harga Rp. 5000- Rp.7000,- per kg kegunaanya pun belum jelas. Sedang untuk minyak dijual berkisar Rp.20.000 – Rp. 100.000 per botol 600 ml harga tergantung sasaran pembeli.

Tulang yang dimanfaatkan sebagai suvenir antar lain asbak dan miniatur paus dijual berkisar Rp. 40.000 – Rp. 200.000. Untuk gigi paus yang utuh sekitar Rp. 5000 – Rp 100.000, jika dalam bentuk cincin seharga Rp. 100.000,-

Bahkan karena tradisi penangkapan paus ini merupakan satu objek tontonan yang menarik perhatian orang banyak, sehingga babyak para wisatawan terutama wisman yang datang ke desa Lamalera hanya untuk melihat penangkapan paus tersebut, bahkan ada yang ikut dalam perahu untuk dapat melihat dari dekat proses penangkapan paus tersebut.

Sehingga saat ini atas dasar kesepakatan warga bahwa wisatawan yang berkunjung ke Lamalera dikenai daftar pembayaran Shooting antar lain sekitar Rp 3 juta untuk melihat pengkapan paus, dan ada daftar lain untu jenis – jenis ikan yang ditikam.

Sekilas Tentang Desa Lamakera

Desa Lamakera terletak di Pulau Solor, yang masih masuk kedalam Kabupaten Flores Timur, sebagian besar warga Lamakera beragama muslim. Menurut sejarah nya memang ada keterkaitan antara desa Lamalera dengan desa Lamakera, yaitu ada bebrapa suku di Lamalera yang pindah ke Lamakera dan menetap disini.

Memang desa Lamakera tidak setenar dengan desa Lamalera, tapi sudah ada catatat bahwa desa ini pun juga mempunyai tradisi berburu paus jenis “Kelaru”, tetapi desa tersebut tidak ada keharusan untuk berburu paus.

Tidak seperti di Lamalera yang hidupnya sangat bergantung sekali dengan kehadiran kotoklemah sebagai sumber makan utama. Masyakat Lamakera dari dulu sudah terkenal sebagai masyarakat pedagang, seperti berdagang ikan, garam dan parang karena di sana terdapat banyak pandai besi.

Tangakap utama masyarakat Lamakera ada jenis-jenis ikan pari, tuna, tongkol, cakalang dll, tapi tatkala para nelayan sedang mencari ikan melihat kelaru maka akan mereka tombak juga dengan alat sama seperti tempuling.

Ketika ada nelayan yang menombak paus kelaru biasanya sebagian dagingnya dijual di Pasar Weiwerang Pulau Adonara dengan harga Rp. 100.000,- per 1 m3 . Letak desa Lamakera memang sedikit strategis yaitu daerah pertemuan arus, dan umtuk menuju laut Sawu tidak begitu jauh. Dalam satu tahun tangkapan paus kelaru sekitar 4 – 10 ekor.
Sumber teks & foto: hardianto-taekwondo.blogspot.com

Tantowi Yahya : Pemerintah Sengaja Biarkan Video Mesum Beredar

Anggota Komisi Informasi Tantowi Yahya menyatakan pengusutan kasus video mesum terlalu lama. Seakan ada kesengajaan menjadikan video ini sebaga komoditas.

"Ini sudah dua minggu masih belum jelas. Kalau yang divideokan orang tidak terkenal belum seminggu sudah selesai," kata Tantowi dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika, Rabu (16/6).

Tantowi menilai seharusnya ada koordinasi antara Komunikasi dan Informasi dengan Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Riset dan Teknologi, dan Pihak Kepolisian.

Apalagi Kementerian Komunikasi dan Informatika sudah memiliki nota kesepahaman dengan Kepolisian RI. "Pemerintah telah melakukan tindak pembiaran. Data-data untuk mencari siapa penggandanya dan penyebarnya itu mudah. Tapi kenapa dibiarkan selama satu bulan," tambah Tantowi.

Pembiaran Pemerintah membuat video ini mudah menjadi konsumsi publik termasuk anak kecil. "Untung ada Piala Dunia yang bisa mengalihkan perhatian kita," tambah Tantowi.

Selain itu, Tantowi mewakili Komisi I juga mengapresiasi Komisi Penyiaran Indonesia telah menegur pihak-pihak yang telah menayangkan potongan video ini ke dalam programnya.

Dalam rapat ini, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Dadang Rahmat Hidayat menyatakan telah menegur empat program yang menayangkan video mesum ini. "Akhirnya sebanyak empat program kami berikan teguran. Kami tegur dan kami ancam akan menghentikan programnnya," kata Dadang tanpa menyebutkan program apa saja yang dimaksud.
Sumber: Tempo Interaktif, 16 Juni 2010
Ket. foto: Tantowi Yahya. Foto: dok. google.co.id

Secangkir Kopi untuk Havelaar

Foto itu hampir pudar warnanya. Hanya tersisa kuning yang memutih di siku-sikunya. Pria di foto tersebut duduk dengan berwibawa: sorot matanya tajam, rambutnya tebal bergelombang dengan kumis melintang di atas bibirnya. Dialah sang pengarang legendaris itu, Eduard Douwes Dekker alias Multatuli. Foto lapuk tersebut dipajang di kaca depan sebuah bangunan kecil berlantai tiga di Jalan Korjespoorsteeg Nomor 20, tak jauh dari Stasiun Amsterdam Central, Belanda. Di sanalah tempat Dekker dilahirkan.

Bangunan sempit yang menjulang itu kini menjadi Museum Multatuli. Lokasinya agak menyudut, masuk ke sebuah gang kecil di tengah-tengah permukiman. Seperti berusaha menjauh dari keramaian kanal di Jalan Singel yang tenar dengan kios-kios bunga tulipnya. Ketika Tempo berkunjung ke sana, awal Mei lalu, seorang perempuan muda membuka pintu, "Silakan masuk," katanya. Beruntung, karena museum itu hanya buka pada Selasa, Sabtu, dan Minggu.

Gadis itu adalah Ria Grimbergin, sukarelawan paruh waktu untuk Yayasan Multatuli-pengelola museum tersebut. Dengan cekatan, dia menjelaskan isi kamar demi kamar di rumah masa kecil Dekker itu. Ada barang-barang pribadi sang mantan Asisten Residen Lebak, seperti tas kulit yang biasa dia bawa ke mana-mana, foto-foto pribadi, dan satu lukisan cat air karya Dekker pribadi. Lukisan itu menggambarkan sebuah kapal layar di laut lepas.

"Ini buku edisi pertama Max Havelaar yang terbit pada 1860," kata Ria. Dia menunjuk sebuah buku bersampul hitam lusuh. Kertasnya mulai menguning dengan sampul mengelupas. Sepintas saja sudah tampak bahwa buku itu kini telah berusia satu setengah abad. Tergeletak di samping buku itu, setumpuk buku Max Havelaar dalam berbagai bahasa.

Menyambut perayaan 150 tahun terbitnya Max Havelaar, buku bersejarah itu diterbitkan ulang dalam format yang lebih luks. Berbagai seminar, diskusi, dan pergelaran kesenian juga diadakan di sejumlah kota di Belanda. Di Amsterdam sendiri, sebuah ekshibisi khusus tentang relevansi novel Havelaar untuk kesadaran sosial masyarakat Belanda diadakan di Universiteit van Amsterdam, selama sebulan lebih.

"Bahasanya sulit saya mengerti," kata Ria tersipu, saat ditanya pendapatnya sendiri soal buku yang mengkritik praktek tanam paksa di Lebak, Banten, itu. "Bahkan untuk orang Belanda sendiri, terutama anak-anak muda, sastra novel ini tergolong tinggi," katanya, seperti membela diri.

Meski begitu, edisi cetak ulang buku ini tetap diserbu publik Belanda. Di toko buku Athenaum, dekat Dam Square, Amsterdam, buku ini ditumpuk di dekat meja kasir agar mudah dicari pembeli. Harganya 13,5 euro sebuah. Bagi yang malas membaca, tersedia edisi audio yang bisa dimiliki dengan harga 20 euro saja. Toko buku ini sering disebut-sebut sebagai rujukan penjualan buku di seantero Amsterdam karena koleksinya yang lengkap. "Banyak sekali yang mencari Max Havelaar sekarang," kata pelayan toko buku itu dengan wajah sumringah.

Eduard Douwes Dekker atau Multatuli (1820-1887) menyelesaikan buku ini di sebuah losmen di Belgia dalam waktu sebulan, pada 1859. Diterbitkan pada tahun berikutnya, Max Havelaar lantas menawarkan dua hal baru kepada khalayak abad ke-19: estetika baru dalam gaya menulis dan kritik tajam terhadap kolonialisme Belanda.

Max Havelaar memang memukau banyak orang. Sastrawan Hermann Hesse dalam Die Welt Bibliothek (Perpustakaan Dunia) memasukkan Max Havelaar di antara buku bacaan yang sangat dikaguminya. Ada bagian tentang Saijah dan Adinda yang sangat menyentuh. Di Indonesia sendiri, Max Havelaar mendapat tempat istimewa karena ia mengungkapkan sebuah realitas sosial secara apa adanya. Roman ini bercerita tentang akibat buruk sistem tanam paksa di Lebak, Banten. Juga represi yang dilakukan seorang bangsawan setempat-inilah bagian yang kini mengundang reaksi keras dari keturunan sang bengsawan (lihat "Jejak Dekker di Tanah Lebak").

Max Havelaar adalah karya besar yang diakui sebagai bagian dari karya sastra dunia. Buku ini sekarang menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah di Belanda. Sastrawan H.B. Jassin menerjemahkan Max Havelaar dari bahasa aslinya, bahasa Belanda, ke dalam bahasa Indonesia pada 1972. Pada 1973 buku tersebut dicetak ulang.

Ekshibisi 150 tahun Max Havelaar digelar di Bijzondere Collecties, Universiteit van Amsterdam, sejak awal Februari lalu. Sebuah patung replika kerbau dalam ukuran sebenarnya langsung menyergap siapa pun yang memasuki ruangan pameran itu. Kerbau memang menjadi salah satu ikon yang menggambarkan kesengsaraan kaum petani dalam novel Havelaar.

Di sekeliling kerbau itu dipajang berbagai pakaian tradisional khas Lebak pada abad ke-18, masa-masa yang menjadi latar kisah dalam novel Multatuli tersebut. Yang menarik, satu dinding dari ruang pameran itu penuh diisi rentetan kronologi kolonialisme Belanda di Indonesia, yang kemudian dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa sejarah yang diangkat Multatuli dalam karya sastranya.

Misalnya saja, dijelaskan bahwa pada 1860 ada 42.800 orang Eropa yang tinggal di Indonesia, menguasai 12,5 juta penduduk pribumi. Sistem tanam paksa yang diterapkan pemerintah kolonial juga dijelaskan secara terperinci, termasuk jenis sanksi yang dikenakan kepada penduduk yang tanahnya kurang subur.

Sedikitnya ada 860 ribu petani yang dipaksa bekerja tanpa mendapat imbalan apa pun sebagai hukuman atas kurangnya panen kopi mereka. Di bagian paling bawah tertera bahwa semua keuntungan dari sistem tanam paksa ini dibawa ke Belanda untuk memperbaiki infrastruktur. Jembatan, jalan, kanal, sampai rel kereta api dibangun dari keringat buruh-buruh tanam paksa di Indonesia. Pemaksaan model inilah yang dikritik oleh Multatuli.

Di ruang ekshibisi kedua dipaparkan bagaimana semangat Multatuli kini diterjemahkan dalam kehidupan modern di Belanda. Sebuah layar televisi menayangkan sebuah film dokumenter berjudul China Blue. Film yang dibuat secara klandestin ini mengikuti proses pembuatan celana blue jeans dari sebuah pabrik di Cina hingga celana itu sampai di tangan konsumennya di Amerika Serikat.

Digambarkan dalam film itu bagaimana buruh-buruh perempuan di pabrik blue jeans tersebut harus bekerja di luar batas kemanusiaan. Mereka tidur di antara tumpukan celana jins setelah tak kuat lagi menahan kantuk di depan mesin jahit. Film produksi Teddy Bear dan disutradari oleh Micha Peled ini memenangi sejumlah penghargaan internasional pada 2005.

Danielle de Jong, aktivis fairtrade di Wereldwinkel Belanda-sebuah jejaring toko khusus produk perdagangan adil-mengaku amat tersentuh oleh film itu. "Sejak itu, saya benar-benar memastikan semua yang saya pakai tidak dihasilkan dari proses kerja semacam itu," katanya sambil bergidik.

Danielle mengaku baru selesai membaca Max Havelaar. "Ibu saya yang memberi tahu saya untuk membacanya," katanya sambil tertawa. Dia bisa menangkap kesamaan semangat novel itu dengan film China Blue yang muncul puluhan tahun kemudian.

Saat berbicara dalam peringatan 150 tahun Max Havelaar di Erasmus Huis, Jakarta, akhir April lalu, Marita Mathijsen-profesor sastra Belanda di Universiteit van Amsterdam-menyebut novel Max Havelaar sukses menembus seleksi alam. "Ada kepedulian sosial yang membara dalam buku itu, yang akan selalu relevan," katanya.

Di ruang ketiga dan terakhir dari ekshibisi ini, hanya ada empat dinding putih kosong. Setiap pengunjung diminta menuliskan sendiri kesannya dan bagaimana nilai Havelaar bisa diterjemahkan dalam kehidupan pribadi mereka masing-masing. Saat Tempo berkunjung ke sana, sebagian dinding sudah penuh coretan. Ada yang sekadar membubuhkan tanda tangan, ada juga yang menulis panjang laiknya puisi. "Kafetaria kita harus menggunakan bahan-bahan fairtrade," tulis seorang pengunjung yang tampaknya mahasiswa di kampus itu.

Di ruangan itu juga, empat mahasiswa Universiteit van Amsterdam tengah sibuk mendesain hasil karya instalasi mereka. Sepanjang pameran, mereka diberi kebebasan menuangkan ide-ide mereka soal relevansi Havelaar untuk anak muda seperti mereka. Satu mahasiswa sibuk mengutak-atik petisi audio yang bebas diisi oleh pengunjung pameran. Sementara itu, koleganya menggunting kertas-kertas putih dalam berbagai bentuk siluet, menggambarkan penindasan kolonial Belanda di Karesidenan Lebak.

Semangat anak muda Belanda untuk mengenal dan mengenang Max Havelaar tampak jelas dari catatan peminjaman novel ini di berbagai perpustakaan lokal di negeri itu. Tempo sempat mengunjungi satu perpustakaan lokal di Bussum, satu jam perjalanan dengan kereta api dari Amsterdam. Di sana, ada empat buku Max Havelaar terbitan 2006 yang setiap tahun dipinjam rata-rata 40 kali. Untuk sebuah kota kecil di pinggiran Amsterdam yang penduduknya tak sampai 31 ribu orang, angka itu cukup impresif.

"Kebanyakan yang meminjam anak-anak sekolah menengah," kata pustakawan di sana. Menurut dia, Max Havelaar memang masih menjadi salah satu karya sastra yang wajib dibaca murid sekolah di Belanda. Film Max Havelaar yang juga merupakan koleksi perpustakaan itu bahkan lebih sering lagi dipinjam orang. "Tahun ini saja sudah 61 kali keluar," katanya.

Di rak perpustakaan yang asri itu, buku Multatuli ini disandingkan dengan karya-karya sastra berpengaruh dari berbagai negara. Ada buku karya Charles Dickens, Leo Tolstoy, dan Ryunosuke Akutagawa. Dia satu-satunya pengarang Belanda di deretan karya klasik itu.

Patung setengah badan Multatuli dari batu kehitaman itu tegak kukuh di perempatan Singel, Amsterdam, tak jauh dari rumah kelahirannya yang kini jadi museum. Dengan rambut lebat berkibar, patung itu begitu mencolok mata. Apalagi posisinya yang persis di atas persimpangan kanal yang ramai membuatnya menjadi titik persinggahan yang nyaman untuk banyak orang.

Di pojok kanan patung itu, Kafe Van Zuyven menggelar meja bulat dan kursi, mengundang siapa pun bercengkerama di sana. Silih berganti, orang-orang berfoto di bawah patung tersebut. Tak ada habis-habisnya. Tak semua tahu siapa tokoh yang diabadikan di sana. Seorang pria dengan aksen Amerika dengan mantap menunjuk Multatuli dan berujar lantang, "That's Albert Einstein!"

Sesekali ada rombongan turis bersepeda mampir dan disambut seorang pemandu wisata. Mereka akan bergerombol di bawah patung, manggut-manggut mendengarkan kisah Max Havelaar dan pergi dengan tatapan kagum. Di perempatan Singel itu, Multatuli tampaknya akan selalu jadi legenda. (Wahyu Dhyatmika dan Dian Yuliastuti)
Sumber: Tempo, edisi 14 – 20 Juni 2010
Ket foto: Eduard Douwes Dekker atau Multatuli dan patung Multatuli.
Foto: dok. google.co.id

1,1 Ton Ganja Kering Dimusnahkan

Kepolisian Daerah (Polda) Nusa Tenggara Timur di Kupang, Rabu (16/6/2010) pagi, memusnahkan 1,1 ton ganja kering, lebih dari 8.000 liter minuman keras tanpa merek, dan lebih dari 2.000 liter minuman keras produksi lokal yang dikenal dengan "sopi".

Pemusnahan dilakukan oleh Kepala Badan Narkotika Nasional Goris Mere, Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya, Kepala Polda NTT Brigjen (Pol) Yorry Yance Worang, dan sejumlah pejabat daerah.

Pemusnahan itu dilakukan sebagai bagian dari peringatan Hari Antinarkoba Nasional, sekaligus Hari Bhayangkara Ke-64.

Barang-barang terlarang yang dimusnahkan itu merupakan hasil sitaan dalam sejumlah operasi yang digelar Polda NTT di provinsi kepulauan itu.

Menanggapi barang bukti tersebut, Gubernur Lebu Raya mengatakan, posisi wilayah NTT yang diapit oleh Nusa Tenggara Barat dan Bali di bagian utara, Timor Leste di timur dan Australia di selatan memungkinkan berbagai barang haram itu masuk dan sulit dipantau.

Para petugas, katanya, mungkin bisa memantau pelabuhan besar seperti Tenau di Kupang, tetapi sulit memantau peredaran narkotika dan minuman keras tanpa izin yang masuk-keluar melalui pelabuhan-pelabuhan rakyat di pulau-pulau kecil.

Dia mengatakan, NTT yang memiliki 556 pulau dengan banyak pulau kecil dan pelabuhan terpencil menyulitkan aparat terkait untuk memantau peredaran narkotika.

Gubernur minta kepada Badan Narkotika Provinsi NTT dan badan narkotika kabupaten/kota untuk memberikan perhatian serius pada penanggulangan peredaran narkotika dan obat-obatan terlarang karena merusak mental generasi muda, menghancurkan perekonomian, dan memicu gangguan keamanan.

Sementara itu, Goris Mere mengatakan, pemusnahan narkotika dan minuman beralkohol dilakukan untuk menyadarkan masyarakat, sekaligus melaksanakan perintah undang-undang.
Sumber: Kompas, 16 Juni 2010
Ket foto: Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional Gories Mere. Foto: dok. google.co.id

PBB Dukung Pembangunan NTT

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, June 15, 2010 | 5:11 PM

Delapan lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan komitmennya mendukung delapan program strategis Pemerintah Propinsi NTT selama lima tahun, mulai 2011-2015. Lembaga-lembaga ini mensuport pembangunan sesuai bidangnya masing-masing.

Delapan program Pemda NTT itu, yakni pemantapan kualitas pendidikan, pembangunan kesehatan, pembangunan ekonomi, infrastruktur, sistem hukum daerah, tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup, pemberdayaan perempuan, anak dan pemuda serta penanggulangan kemiskinan sebagai agenda khusus.

Komitmen delapan lembaga PBB itu dikemukakan El Mostafa Ben Lamlih, UN Resident Coordinator for Indonesia, saat memaparkan tekad lembaga-lembaga itu kepada Gubernur NTT bersama pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) serta lembaga swadaya masyarakat di Aula Rumah Jabatan Gubernur NTT, Senin (14/6/2010).

Dalam forum workshop United Nation Joint Progamme itu, Mostafa mengatakan, kerja sama pembangunan di NTT diupayakan dengan menjalin hubungan baik di beberapa sektor selama lima tahun ke depan dalam mempercepat tingkat kesejahteraan masyarakat di NTT.
Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, ketika membuka workshop itu mengatakan, salah satu keberhasilan yang dicapai pemerintah propinsi adalah berkat kerja sama dengan lembaga-lembaga internasional. Kerja sama itu dimaksud untuk mempercepat pembangunan di berbagai sektor selama lima tahun ke depan.

Gubernur Lebu Raya mengatakan, komitmen PBB dan Pemerintah Propinsi NTT, antara lain membangun infrastruktur di beberapa sektor untuk mengatasi kemiskinan di daerah ini. Untuk itu, kerja sama ini perlu ditingkatkan dan bermitra secara baik agar dapat mengatasi berbagai masalah pembangunan. "Saya berterima kasih karena program yang akan dilakukan di NTT pembahasannya langsung di Kupang. Kami akui salah satu keberhasilan pembangunan di daerah ini bersumber dari dukungan kerja sama lembaga-lembaga internasional," kata Lebu Raya.

Karena itu, kata Lebu Raya, Pemerintah Propinsi NTT secara intensif terus melakukan komunikasi dan promosi untuk wilayah seluruh kabupaten/kota. Kepada Pos Kupang di ruang kerjanya, gubernur mengatakan, workshop itu dilakukan di Kupang berkat kemitraan yang dibangun sebelumnya. Gubernur didampingi Kepala Bappeda NTT, Wayan Darmawan, mempresentasikan program pembangunan NTT di Kantor UN Jakarta. Dari presentasi itu, lembaga-lembaga PBB tertarik datang ke NTT dan melihat langsung kondisi riilnya.

Mustofa sebagai UN Residen Coordinator for Indonesia mengaku senang karena gubernur tetap mengikuti workshop itu hingga petang. Dengan demikian, pimpinan lembaga-lembaga ini merasa dihargai sehingga terus bersemangat mendiskusikan berbagai program pembangunan yang akan dikerjakan. Rencananya, pada hari kedua workshop hari ini, lembaga- lembaga ini akan mengumumkan wujud dukungan yang konkret disertai dengan besaran dananya. Gubernur mengajak seluruh rakyat NTT memberikan apresiasi yang baik terhadap kehadiran lembaga-lembaga PBB ini.

Menurut gubernur, lembaga-lembaga PBB juga antusias mendukung program unggulan yang menjadi tekad pemerintah menjadikan NTT sebagai propinsi jagung, ternak, koperasi dan cendana. Kerja sama ini, kata gubernur, bertepatan dengan peluncuran Desa Mandiri Anggur Merah sehingga diyakini terjadi sinergisitas program di masyarakat.

Pemerintah propinsi dan PBB, kata gubernur, akan melakukan kerja sama program dengan menggunakan prinsip-prinsip perencanaan berstandar internasional. Misalnya setiap program didahului studi, dibahas secara berjenjang dan selalu mendapat pendampingan tenaga ahli, baik dari aspek manajemen maupun teknis di lapangan. Delapan Lembaga PBB adalah UNDP, UNICEF, ILO, UNFPA, UNHCR, IQM, FAO, dan WFP.
Sumber: Pos Kupang, 15 Juni 2010
Ket foto: UN Resident Coordinator for Indonesia El Mostafa Ben Lamlih (gbr 1) dan Gubernur NTT Frans Lebu Raya (gbr 2). Foto: dok. www.iisd.ca dan Pos Kupang

Mudarat Itu Akan Datang...

Pengantar Redaksi–Pulau Lembata yang luasnya 126,638 hektar itu kaya bahan galian tambang. Berbagai penyelidikan menemukan bahwa dalam perut bumi Lembata terkandung bahan tambang, antara lain bahan untuk keramik di Nagawutun, Omesuri dan Buyasuri; besi dan pasir besi di Lebatukan, Buyasuri dan Namaweka; minyak tanah di Nagawutun, gas alam di Atadei; dan batu barit di Atanila. Potensi tersebutlah yang menarik investor untuk menanamkan modalnya. Salah satunya PT Merukh Lembata Copper (MLC), yang berencana melakukan investasi penambangan emas di wilayah Kecamatan Buyasuri, Omesuri dan Lebatukan. Berikut catatannya. Tiga tulisan lain di halaman 14.

ADA pesan dari leluhur tanah Kedang, Pulau Lembata yang sampai saat ini masih lestari. "Ihin weren, matan mear." Frasa ini dapat diterjemahkan seperti ini. Emas menjadi pelindung. Ia menjadi dasar pijak masyarakat. Juga nuba nara di Lebatukan, Lembata sebagai pusat ritual adat dan pusat kekuatan spiritual kampung.

Sebagai pelindung berarti tak boleh diapa-apakan. Ia harus dijaga, dilindungi agar tak hilang atau diambil. Dia merupakan salah satu kekuatan yang ikut menjaga tanah Kedang. Hal itu menjadi dasar pijak mengapa gelombang protes masyarakat dalam tiga tahun terakhir begitu dahsyat?

Ungkapan ini pun ada dasarnya bila dilihat dari segi sejarah. Ada Gunung Uyelewun sebagai kepala (pemimpin), okalewun (panglima-panglima perang) dan beyalewun (turunan dari Kedang hingga luar negeri). Kaitan antara ihin weren, matan mear, uyelewun, okalewun dan beyalewun ini tak bisa dipisahkan, merupakan satu kesatuan dalam tata adat wilayah Kedang.
Banyak orang berpikir mengapa masyarakat Kedang (meliputi Kecamatan Omesuri dan Buyasuri) dan wilayah hukum adat Hadakewa dan sekitarnya menolak tambang ini. Dasar pemahaman masyarakat adalah ingin mempertahankan harta warisan. Bila harta sudah diambil demi kepentingan investor, maka pemangku hak ulayat dianggap sudah mati meski masih hidup.

Dasar penolakan lain, yakni Lembata adalah pulau adat. Itu artinya jangan dirusakkan. Bila investor memaksa menambang, maka pulau kecil ini bisa tenggelam karena deposit emas melingkupi sebagian besar wilayah ini.

Logikanya begini. Tambang akan menghasilkan puluhan bahkan ratusan lubang. Daerah itu adalah jalur vulknik. Jalur gempa. Ketika terjadi getaran gempa, maka lubang-lubang galian itu akan runtuh dan tentu saja pulau kecil itu bisa tenggelam dalam hitungan menit. Berbeda dengan Pulau Kalimantan, Sulawesi atau Papua dengan areal yang luas.

Karena itu, masyarakat meminta siapa pun boleh datang dan melihat langsung pulau adat ini. Dan, pulau ini jangan dijual demi kepentingan hegenomi. Kekuasaan akan berakhir. Masyarakat yang sadar akan tata adat yang melestari ratusan bahkan ribuan tahun itu menyadari eksistensi ini.

Pertimbangan lain, bila tambang berjalan maka masyarakat setempat hanya menjadi pekerja kasar dalam jangka waktu tertentu. Sebuah ironi memang. Tanah itu milik masyarakat tetapi mereka diperlakukan sebagai pekerja kelas dua. Memang, dalam konteks ini, dengan tingkat pendidikan masyarakat yang rata-rata SD tak bisa menjanjikan, siapa pun bisa memahami. Titik bidik utama bukan perkara ini, tetapi menjaga harkat martabat agar tak diinjak-injak oleh sistem kapitalisme yang memang kejam.

Banyak fakta telah berbicara. Di Freeport, Papua, masyarakat yang berdiam 30 cm dari tembok lokasi tambang masih memakai koteka. Padahal mereka pemilik ulayat. Perusahaan ini hadir bukan untuk masyarakat setempat, namun mementingkan kepentingan bisnis Amerika Serikat.

Di Buyat, Minahasa juga demikian. Masyarakat menjadi korban limbah tambang. Karena dongkol, sakit hati, mereka membakar kampungnya. Atau ambil contoh di Atanila sana. Apa yang masyarakat peroleh saat tambang barit berlangsung di sana? Tak ada memang.

Pikiran-pikiran ini mengalir deras dari mulut Anton Leumaran (32), salah satu aktivis yang menolak tambang emas ketika ditemui di Desa Peusawa, Kecamatan Omesuri –80 kilometer timur Kota Lewoleba, Senin (26/4/2010). Di kaki Gunung Uyelweun yang sejuk ini, Anton yang tergabung dalam Barisan Rakyat Kedang (Barak), terus berjuang.

Titian perjuangan mereka tak gampang. Harus menghadapi kerasnya arus kekuasaaan dan investor yang seakan menutup mata hatinya. Terbukti suara-suara "jernih" masyarakat ini hilang. Tak didengar. Muncullah gelombang protes ke Pemkab Lembata. Pemerintah dan investor pun tak mampu memberi keyakinan kepada masyarakat.

Lain lagi pikiran Abu Sama (66), pemilih hak ulayat bukit Puakayong, Desa Peuuma. Abu Sama melukiskan dalam bahasa daerah setempat. "Kalu muar, muar ruang." Artinya, kebenaran itu akan kekal abadi. Sebaliknya, mudarat akan datang bila kebenaran itu dikangkangi. Kebenaran itu ia lukiskan seperti lombok yang dimakan, tapi tak langsung pedis.

Pikiran ini ia ungkapkan karena Pemkab Lembata seakan menutup matanya terhadap masyarakat pemilik ulayat. Ini terbukti dari sikap devensif pemerintah yang memaksakan kehendaknya. Sosialisasi tambang emas hanya melibatkan aparat pemerintah desa dan kecamatan. Sedangkan masyarakat sebagai pemilih hak ulayat tak dilibatkan. Masyarakat bukan menolak tambang, tetapi ada langkah yang salah dari pemerintah.

Kondisi yang digambarkan Abu Sama ini tak berbeda dengan pikiran Euripides (431 sebelum masehi). Dia bilang, "Tidak ada kesedihan yang lebih pahit di muka bumi ini daripada kehilangan kampung halaman yang tercinta."

Benar. Ini soal tata adat, tata krama dan sopan santun. Soal etika memasuki "rumah" orang. Bila pemilik rumah saja tak ditegur meski tamu itu bertujuan baik, maka tetap membawa petaka. Cara masuknya sudah salah. Hasil tambang pun tak akan membawa manfaat apa-apa. Bahkan masyarakat akan menjadi korban dari kebijakan ini.

Abu Sama juga menyetir ungkapan adat ini. Tubar lunin lein beler. Artinya, Kedang (Gunung Uyelewun) sebagai kepala, pemimpin dan Gunung Labalekan sebagai kaki. Bila pemimpin (kepala) sudah dirusakkan, maka dengan sendirinya kaki akan ikut rusak. Ia juga menyitir ungkapan adat lain yang syarat makna. Iwang qari owang, edang paro. Artinya, kalau Ile Ape (masyarakat yang berdiam di kaki Gunung Ile Ape, Red) lapar, Kedang memberi asupan penganan. Juga ungkapan lain, edang birang, iwang qari loqe. Artinya, bila pakaian orang Kedang robek, orang Ile Ape akan datang menutup badannya.

Ungkapan ini menyiratkan banyak hal. Intinya terkait pada tata ekosistim alam. Bila alam Kedang rusak maka alam Ile Ape dan alam seluruh Lembata akan ikut rusak sampai ke Labalekan sana. Sampai ke Mingar.

Pandangan yang sama dikemukakan Hendrikus Hering Amunamama (83), warga Desa Meluwuting. Ia mengatakan, tambang emas merusakkan tanah, manusia dan harta benda. Apalagi adat Kedang tak boleh menggali harta dalam tanah. Pensiunan guru ini mengatakan, Kedang merupakan satu keutuhan yang tak bisa diceraiberaikan oleh kekuatan apa pun.

Sedangkan P Leumara (60) mengatakan, pemerintah jangan melihat persoalan tambang dari kecamata kuda. Jangan hanya melihat tambang dari kacamata ekonomi. Tetapi, perlu dilihat dalam bingkai, perspektif yang lebih luas. Bingkai budaya, sistem sosial dan antropologi.

Pandangan lain dikemukakan Tadeus Tukan, Ketua Forkomda Desa Tapolangu, Kecamatan Lebatuk. Tukan mengatakan, langkah-langkah yang ditempuh pemerintah banyak yang janggal. Ia menyebut kegiatan Musrenbangcam diisi dengan melakukan sosialisasi tambang emas. Dalam sosialisasi pemerintah tak menggambarkan secara jelas dampak negatif dari pertambangan.

Kepada masyarakat pemerintah mengatakan, masyarakat akan menjadi kaya dan investor akan membangun apartemen bagi masyarakat. Masuk akalkah itu? "Bohong. Itu penipuan," katanya.

Menurut PT Merukh Lembata Copper (MLC), yang merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan satelit Jepang dan Amerika Serikat pada tahun 1970-an menunjukkan bahwa kandungan emas dan tembaga di Pulau Lembata merupakan yang terbesar ketiga di dunia setelah Rusia dan Chili. Hasil foto satelit itu menunjukkan bahwa sekitar 15.970 hektar wilayah di Kecamatan Lebatukan mengandung potensi emas dan tembaga, sedang potensi emas dan tembaga di wilayah Kecamatan Buyasuri mencapai 33.890 hektare.

Harus Dipikirkan

Wakil Ketua DPRD Lembata, Hyasinthus Burin, mengatakan, pada masa DPRD periode lalu ada keputusan DPRD Nomor 17 yang menyetujui adanya tambang di Lembata. DPRD memberi persetujuan dukungan kepada pemerintah untuk melakukan investasi di bidang pertambangan.

Burin mengatakan, DPRD periode sekarang berbeda persepsi soal tambang. Pertimbangan-pertimbangan itu berdasarkan pengeluhan masyarakat yang gencar menolak tambang.

Oleh karena itu, anggota DPRD dari PDIP ini, mengatakan, DPRD periode 2009–2014 sangat hati-hati dalam menentukan sikap soal investasi di bidang tambang. Sehingga, kata Burin, banyak hal termasuk penyertaan anggaran untuk sosialisasi tambang golongan A (emas), perak, tembaga, ditiadakan. Memang anggaran yang dirancang pemerintah Rp 300 juta untuk sosialisasi tambang ada, namun dalam proses pembahasan APBD tak diakomodir. Penolakan ini dalam rangka menjawab tuntutan masyarakat atas penolakan investasi di bidang ini.

Dalam laporan keterangan pertanggujawaban (LKPj), pemerintah juga telah melaporkan kepada DPRD, terutama di Bab VI LKPj bahwa proyek berjalan, tapi banyak hambatan. Inti persoalan terletak pada pendekatan yang tak dilakukan secara sempurna. Sebenarnya masyarakat kurang "disentuh" yang kemudian berdampak pada protes dan penolakan itu.

Ia mengatakan, perlu ada pemikiran bahwa di Lembata perlu ada investasi. Apakah pertambangan dilanjutkan atau investasi di sektor lain. Tapi, perlu ada pikiran seperti ini untuk menjadi kajian bersama. Karena hakekat Otda adalah kemandirian daerah untuk mengurus rumah tangga sendiri.

Burin mengatakan, dalam periode tertentu investasi menjadi aspek yang harus diperkuat. Jalan keluarnya, yakni baik pemerintah, masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh agama dan investor duduk bersama mendiskusikan apakah perlu melanjutkan atau tidak investasi pertambangan di Lembata. Dan, perlu ada kerelaan untuk mendengar, baik pemerintah, masyarakat dan investor. Apakah ini mungkin? (Paul Burin)
Sumber: Pos Kupang, 6 Juni 2010
Ket foto: Masyarakat Leragere, Kecamatan Lebatukan, Lembata (gbr 1) tengah mendengar sosialisasi soal plus-minus tambang. Masyarakat Desa Benihading II di Kedang saat menyaksikan pemutaran film hasil rekaman JPIC OFM Indonesia terkait rencana tambang Lembata (gbr 2). Foto: dok. Ansel Deri

Keindahan, Kemenangan, Keberpihakan

Oleh Seno Gumira Ajidarma
Wartawan

Bahwa sepak bola itu permainan yang indah, seperti disebutkan Pele, tidak perlu dibuktikan lagi. Sudah semakin terbiasa kita mendengar istilah "tarian kaki bak penari balet" ketika membicarakan Marco van Basten hingga Didier Drogba menggocek bola. Termasuk "tesis" Eric Cantona dalam bukunya, My Story, bahwa operan Pele kepada Carlos Alberto dalam final Piala Dunia 1970 di Meksiko setara dengan puisi Arthur Rimbaud muda ketika menuliskan: tali dari menara ke menara dan rangkaian bunga dari jendela ke jendela. Menurut "raja" Manchester United pada 1990-an tersebut, "Dalam masing-masing manifestasi manusia, terdapat ekspresi keindahan yang menyentuh dan memberi kita rasa keabadian."

Benarkah keindahan itu yang menjadi pertaruhan dalam sepak bola, ketika Brasil sudah lama menahan diri bermain cantik demi kemenangan semata? Menjelang final Piala Champions Eropa, Mei lalu, Louis van Gaal berkomentar tentang Jose Mourinho, "Dia ingin menang saja, sedangkan saya ingin menang dengan indah." Lantas apa katanya setelah Bayern Muenchen dikalahkan Inter Milan dengan telak? "Itu cara menang yang lebih mudah."

Bahkan berita itu pun ditulis dengan nada kasihan kepada Louis van Gaal. Sudah jelas betapa ideologi keindahan telah menjadi inferior terhadap ideologi kemenangan. Ingat saja cara Mourinho melecehkan Claudio Ranieri yang melatih AS Roma, saat bersaing ketat dalam Seri A Italia, "Ia tidak pernah memenangkan apa pun."

Ideologi kemenangan memang menang. Hegemoninya ditegaskan dengan jumlah gol dan piala, serta juara yang hanya satu-satunya. Tidak seperti festival film, ada penghargaan khusus juri atau penghargaan kritikus yang bisa membuat kebenaran jadi plural. Dalam kejuaraan sepak bola, banyaknya gol tidak memberikan alternatif apa pun. Namun, di pihak penonton, kemenangan bukan satu-satunya pertimbangan. Demi kebahagiaan, para pendukung tidak selalu berpihak pada kesebelasan yang kuat. Mengapa?

Kita telah mengikuti kontestasi antara ideologi keindahan dan ideologi kemenangan. Namun masih ada satu ideologi lagi, yaitu keberpihakan. Jika kita menyaksikan pertandingan kesebelasan papan bawah yang jarang kita dengar namanya, seperti Cardiff City melawan Preston dalam kompetisi Liga Inggris, sebetulnya dengan "kacamata" keindahan dan mutu permainan keduanya sangat memenuhi syarat. Pertandingan pun berlangsung seru karena masing-masing berjuang keras untuk menang. Namun kenapa pertandingan itu tidak memancing antusiasme kita? Tentu karena keberpihakan kita sama sekali tidak ada. Kita tidak mengenal kesebelasannya, tidak pula ada bintang yang telah kita akrabi lewat media. Permainan indah dan seru bisa jadi tak bermakna.

Faktor makna inilah yang membuat kita berpihak. Karena hanya dengan makna, kemenangan ataupun kekalahan akan terhayati sebagai suatu drama. Saat itulah teater sepak bola menjelma. Adapun makna, terbentuk dari seribu satu perkara yang tidak seragam, termasuk berbagai faktor dalam ideologi keindahan dan kemenangan. Dalam ideologi keberpihakan bisa saja seseorang mendukung Brasil karena (1) fanatik, bahwa meskipun kalah tetap saja Brasil terbaik di dunia; (2) merasa sudah semestinyalah arte futebol atawa sepak bola indah yang menang, dan Brasil adalah yang terindah; (3) seperti alasan seorang "sosialis", rakyat miskin Brasil hanya memiliki kebanggaan atas sepak bola, pantaslah mereka mendapat kebahagiaan.

Ideologi keberpihakan inilah, jika kita bicara tentang konstruksi sosial yang membuat sepak bola ada, mengambil bagian dalam relasi kuasa dengan menggeser dominasi ideologi kemenangan. Ini karena dalam semangat keberpihakan, siapa pun dapat melihat kompetisi olahraga berhasil menyalurkan kepentingan politiknya. Indah atau tidak indah, menang atau kalah, adalah faktor yang bisa mengubah keberpihakan, tapi bukan ideologi keberpihakan itu sendiri.
Sumber: Tempo, edisi 14 – 20 Juni 2010

Mondial Menang di PTUN

Pasangan Simon Hayon-Fransiskus Diaz Alffi (Paket Mondial) menang dalam perkara melawan KPU Kabupaten Flores Timur dalam persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kupang, Senin (14/6/2110).

PTUN Kupang mewajibkan KPU Flores Timur untuk menerbitkan keputusan tata usaha negara (TUN) yang menetapkan Paket Mondial sebagai pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam Pemilu Kada Flores Timur serta keputusan TUN yang memuat nama dan nomor urut Paket Mondial.

Keputusan PTUN Kupang ini dibcacakan Mariana Ivan Junias, SH, M.Hum sebagai hakim tunggal. Hadir dalam sidang kemarin, kuasa hukum Paket Mondial (penggugat), Ali Antonius, SH, MH, dan kuasa hukum KPU Flores Timur (tergugat), Philipus Fernandez, SH.

Dalam persidangan yang dijaga aparat keamanan itu, Junias menyatakan, eksepsi tergugat tidak dapat diterima dan mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya. Menurut Junias, tindakan KPU Flores Timur yang mengeluarkan surat keputusan obyek sengketa melanggar pasal 60 ayat 1 UU No 34 tahun 2004 dan pasal 10 ayat (3) haruf i UU No 22 tahun 2007 serta melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, terutama asas kecermatan.

PTUN membatalkan keputusan KPU Flores Timur No: 043/Kpts/KPU-FLT/018.433980/2010 tanggal 15 April 2010 tentang penetapan nama-nama pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memenuhi syarat sebagai peserta Pemilu Kada Flores Timur dan memerintahkan KPU Flores timur untuk mencabut keputusan itu. Selain itu, membatalkan surat KPU Kabupaten Flores Timur No: 116/KPU-FLT/018.433980/IV/2010 tanggal 16 April 2010 tentang pemberitahuan hasil verifikasi tahap kedua dan sekaligus memerintahkan KPU Flotim untuk mencabut keputusan tersebut.

Keputusan PTUN Kupang juga sekaligus membatalkan Keputusan KPU Flores Timur No.45/Kpts/KPU-FLT/018.433980/2010 tanggal 21 April 2010 tentang Penetapan Nomor Urut Pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati di Kabupaten Flores Timur dan sekaligus memeritahkan KPU Flotim untuk mencabut keputusan itu. Dalam sidang yang terbuka untuk umum itu, PTUN Kupang juga menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 137.000,00.

Sementara sidang berlangsung, Aliansi Mahasiswa Pemerhati Demokrasi (Amarah) Flores Timur melakukan aksi di luar gedung PTUN. Para mahasiswa dalam orasinya mendesak KPU NTT untuk segera melaksanakan keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara Kupang yang memenangkan gugatan Simon Hayon-Frans Diaz Alfi.

Amarah dalam pernyataan sikapnya yang ditandatangani Vitus Pehan Hally Makin (ketua) dan Hermanus Huler (sekretaris) menyatakan mendukung keputusan PTUN Kupang. Amarah mendesak KPU NTT untuk mempercepat pengisian komposisi Dewan Kehormatan guna menyelidiki dugaan pelanggaran kode etik KPU dalam proses Pemilu Kada Flores Timur.

Mereka juga mendesak KPU Kabupaten Flores Timur untuk secara ksatria mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban moral atas keputusan PTUN Kupang. Selain itu, KPU NTT juga didesak mengambil alih proses pelaksanaan Pemilu Kada Flores Timur dan melaksanakan keputusan PTUN.

"Kami meminta semua elemen masyarakat untuk menghormati keputuan PTUN sebagai wujud kesadaran warga negara dalam sebuah negara berdasar atas hukum. Kami juga meminta semua pihak untuk menghentikan polemik yang berkaitan dengan pilkada di Flores Timur," kata Hally Makin. Selesai berorasi, mereka menuju ke KPU NTT. Di sana mereka diterima anggota KPU NTT, Maryanti Luthurmas, SE.

Ditemui usai persidangan, kuasa hukum KPU Flotim, Philipuz Fernandez, SH menyatakan, pihaknya akan mengajukan banding atas putusan PTUN Kupang yang memenangkan Paket Mondial. Menurut Fernandez, dalam amar putusan hakim tunggal PTUN Kupang, fakta berita acara yang memuat keputusan partai dalam masa penjaringan calon bupati dan wakil bupati tidak menjadi pertimbangan hakim, sehingga perlu dibawa ke tingkat banding untuk diuji lagi.

"Mekanisme penjaringan aspirasi perlu dilakukan oleh partai politik atau koalisi partai-partai politik sebagai salah satu syarat yang tertuang dalam pasal 13 ayat (2) Peraturan KPU No 68 tahun 2009. Ini harus menjadi pertimbangan hakim dalam mengadili perkara ini, tetapi kenyataannya tidak," katanya.

Pernyataan Fernandez berbeda dengan yang disampaikan Juru bicara KPU Flotim, Kosmas Ladoangin. Di temui di PTUN Kupang, Ladoangin mengatakan, pihaknya akan berkoordinasi dengan ketua dan anggota KPU Flotim lainnya untuk menentukan sikap, apakah mengajukan banding atau tidak. "Kami punya waktu 14 hari lagi untuk banding atau tidak. Nanti akan kami sampaikan," kata Ladoangin.

Sementara itu, kuasa hukum Paket Mondial, Ali Antonius, SH, MH mengatakan, keputusan PTUN Kupang sudah tepat dan benar. Dia mengharapkan, anggota KPU Flores Timur berbesar hati untuk melaksanakan keputusan PTUN Kupang agar pelaksanaan Pemilu Kada Flotim dilanjutkan demi kepentingan masyarakat.
Sumber: Pos Kupang, 15 Juni 2010
Ket foto: Calon Bupati Flores Timur Simon Hayon yang dinyatakan menang di Pengadilan Tata Usaha Negara Kupang. Foto: dok. Pos Kupang

Gentong Babi

Oleh Arianto A. Patunru
Direktur LPEM-FEUI

Hari-hari ini telinga kita dibuat sibuk oleh babi. Tepatnya gentong babi, gentong politik yang katanya berbau keserakahan. Frasa ini muncul setelah Partai Golkar mengusulkan "dana aspirasi" Rp 15 miliar per legislator di DPR untuk "membantu pemerataan" dengan cara membangun daerah pemilihannya masing-masing. Dengan anggota DPR 560 orang, total dana menjadi Rp 8,4 triliun.

Usul Golkar itu agaknya hendak meniru praktek di Amerika Serikat. Pada 1994, gentong babi kembali marak dalam ranah politik Amerika. Ini adalah sebutan untuk dana publik yang dialokasikan oleh legislator bagi konstituennya agar terpilih kembali pada periode berikutnya. Karena itu, ia juga disebut mata uangnya pemilu (currency of re-election). Sejalan dengan waktu, si gentong babi tak hanya jadi pemancing suara, tapi juga jadi ajang korupsi biasa, kadang melibatkan kolaborasi legislatif-eksekutif. Maka ia mendapat julukan lain: mata uangnya korupsi (currency of corruption).

Debat kita saat ini kerap mengacu pada contoh Amerika (dan Filipina), di mana praktek politik gentong babi masih terjadi. Mungkin betul bahwa ada sedikit hal baik dari sistem ini. Misalnya, adanya tambahan dana bagi pembangunan di daerah. Atau sebagai sarana partai oposisi menyeimbangkan kekuatan, sehingga tak terjadi monopoli kekuasaan. Namun mudaratnya jauh lebih banyak, yaitu sebagai alat beli suara atau sekadar korupsi dengan menggunakan dana pembayar pajak. Maka perlawanan terhadapnya juga tak kecil.

Istilah pork barrel yang cenderung merendahkan adalah refleksi dari citra negatif. Lembaga swadaya masyarakat Citizens Against Government Waste didirikan di AS oleh mereka yang ingin memonitor aliran dan penggunaan dana pajak mereka. Salah satu terbitan berkala mereka yang terkenal adalah Congressional Pig Book, sebuah buku berisi daftar proyek gentong babi, nama legislator dan partai pengusulnya, serta nilainya. Mereka juga menghitung jumlah "babi per kapita" untuk setiap negara bagian, yaitu dana gentong babi yang bebannya ditanggung oleh setiap penduduk di situ. Bahkan mereka memberikan piala "Babi Tahun Ini" atau "Raja Babi" kepada senator atau anggota parlemen yang dianggap paling banyak menggunakan dana gentong babi.

Ketika berita gentong babi usulan Golkar muncul di media, publik pun bertanya-tanya. Apa manfaat dan mudaratnya, mengapa ia dikatakan bisa merusak tatanan yang sudah dan sedang dibangun, dan seterusnya. Menurut Kementerian Keuangan, dana aspirasi ini melanggar undang-undang (UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan).

Keganjilan utama yang langsung dilihat publik adalah rontoknya dinding pemisah fungsi legislatif dan eksekutif: pihak yang pertama menginvasi yang kedua. Ini menjadi lebih kacau jika pertanggungjawaban ada di tangan kepala daerah, pengawasan ada di DPR sebagaimana mestinya; tapi DPR juga berhak mengarahkan belanja dari alokasi tersebut. Ini memang subtil. Namun ada garis tipis antara memperjuangkan aspirasi rakyat dan memperjuangkan sebuah proyek untuk mendapatkan dana publik. Ketika garis itu dilanggar, ruang untuk permainan politik uang menjadi terbuka.

Tak kalah seriusnya adalah rusaknya fungsi distribusi dari transfer dana APBN dari pusat ke daerah, sebagaimana yang sedang dilakukan dan disempurnakan sekarang. Pertama, dana aspirasi ini akan lebih bias Jawa, mengingat jumlah representatif dari Jawa jauh lebih banyak daripada yang dari luar Jawa: sebagian besar anggota DPR berasal dari daerah pemilihan yang relatif maju. Karena itu, efek distribusi yang diklaimnya tidak akan terjadi dan justru berpotensi mencederai sistem yang sudah ada. Kedua, ia berpotensi berbenturan dengan prinsip efisiensi "uang mengikuti fungsi" di mana dana seharusnya dialokasikan menurut fungsi pemerintahan, untuk hasil yang optimal. Terakhir, daerah pemilihan tidak persis sama dengan daerah yurisdiksi administratif: tambahan kerumitan pada proses alokasi dan pertanggungjawaban dana aspirasi ini bisa memberikan ruang lebih besar pada penyalahgunaan, karena informasi yang lebih asimetrik.

Sistem ini juga bisa memenjarakan kualitas DPR. Itu jika, katakanlah, seorang legislator terpilih kembali akibat suara yang bisa "dibelinya" dengan Rp 15 miliar tersebut. Ada persoalan yang lain: ia telah menggunakan uang itu sebagai hambatan bagi pesaingnya untuk masuk ke DPR, hanya karena si pesaing tidak punya Rp 15 miliar. Dalam konteks transfer, jika uang Rp 15 miliar adalah murni milik si legislator lalu berpindah tangan ke para pemilih, ini bukan masalah. Tetapi di sini ia menjadi problem, karena uang Rp 15 miliar tadi berasal dari uang para pembayar pajak. Sebagian di antaranya mungkin mempunyai calon legislator yang lebih kompeten daripada sang incumbent.

Alasan beberapa anggota DPR bahwa dana aspirasi adalah solusi bagi lambannya pemerintah melaksanakan tugasnya tampaknya tidak cukup kuat. Betul, ada masalah dalam eksekusi dana pembangunan, di mana sering kali dana baru tersalur dalam jumlah besar di kuartal keempat setiap tahun. Lalu dilakukanlah sistem kebut yang mengkompromikan kualitas. Di lain waktu, muncul sisa lebih pada anggaran. Jumlah cukup besar yang disorong ke tahun fiskal berikutnya bisa jadi sebenarnya adalah refleksi ketakmampuan mengeksekusi perencanaan dengan baik. Tapi semua ini adalah masalah keefektifan birokrasi dan administrasi. Maka solusinya harus dicari pada kedua dimensi tersebut, bukan dengan mencampuradukkan fungsi legislatif dan eksekutif.

Dana yang diperuntukkan bagi pembangunan daerah tidaklah kecil. Total dana alokasi umum, dana alokasi khusus, serta dana bagi hasil untuk provinsi setiap tahun melebihi Rp 1 triliun, dan untuk kabupaten/kota Rp 500 miliar. Di samping itu, tentu ada dana kementerian/lembaga yang disalurkan ke daerah lewat mekanisme dekonsentrasi atau tugas pembantuan. Dengan dana besar serta tantangan lambat dan rumitnya proses pencairan, wajar dibutuhkan pengawasan yang kuat. Justru di sini peran DPR sangat dibutuhkan.

Hal lain yang perlu dipikirkan adalah kehati-hatian fiskal. Selama ini kita telah menjalankan prinsip ini dengan cukup disiplin. Artinya, defisit anggaran masih dalam taraf yang wajar (saat ini 2,1 persen dari PDB). Mungkin dana total untuk gentong babi tadi tidak langsung membengkakkan defisit secara signifikan. Namun ia bisa menjadi preseden bagi kompromi atas disiplin fiskal. Langkah Golkar mengalihkan usul dari "dana aspirasi" menjadi "dana desa" (Rp 1 miliar per desa, atau total Rp 70 triliun) juga perlu dilihat dengan saksama. Golkar bisa dihargai karena berjuang agar tiap desa mendapatkan dana Rp 1 miliar. Ia juga tidak berbasis daerah pemilihan, dan karena itu berbeda dengan gentong babi di atas.

Namun menerjemahkan usul ini ke dalam penganggaran dan eksekusi tentu perlu perhitungan matang. Pertama, karena ia tidak berasal dari perencanaan dan siklus anggaran normal (RAPBN-P)-setidaknya pada saat ini harus dilakukan penyesuaian signifikan atas sistem yang sudah ada. Banyak program yang dirancang dengan hati-hati, tapi terkendala dalam administrasi birokratisnya. Tantangannya adalah memperbaiki birokrasi, bukan serta merta mengganti programnya.

Alternatifnya, jika perencanaan dana ataupun fungsi sudah matang, usul semacam ini tentu menambah defisit. Untuk Rp 70 triliun, misalnya, ia setara dengan 1,12 persen dari PDB. Jika ia adalah komponen tambahan, alih-alih realokasi, defisit total bisa menembus 3 persen, batas menurut undang-undang. Kehati-hatian fiskal tak boleh dianggap enteng. Apa yang terjadi di Yunani dan beberapa negara Eropa lainnya baru-baru ini adalah akibat ekstrem dari kecerobohan fiskal.

Kita maklum bahwa kalau isunya adalah memperjuangkan aspirasi rakyat desa, tentu salurannya adalah musyawarah perencanaan pembangunan di tingkat desa, lalu bertahap dibawa ke atas, lewat DPRD di kabupaten/kota, provinsi, hingga pusat. Sistem ini beda dengan anggota DPR pusat langsung mengusulkan paket dana untuk desa, yang seperti kasus gentong babi, bisa menabrak asas "uang mengikuti fungsi", dan karena mengkompromikan proses desentralisasi yang selama ini dilaksanakan.

Apa yang paling dibutuhkan sekarang sesungguhnya adalah meningkatkan efektivitas anggaran. Bagaimana mengefektifkan penyaluran dan penggunaan dana pendidikan yang sudah telanjur ditetapkan 20 persen dari APBN, misalnya. Masalah besar pendidikan Indonesia saat ini adalah belum rampungnya transisi dari pendidikan dasar ke pendidikan menengah. Juga, kalaupun ada "ruang fiskal", banyak yang masih berada di prioritas atas, misalnya dana untuk kesehatan. Ketika subsidi bahan bakar fosil dapat dikurangi, misalnya, dana yang diselamatkan sebaiknya bukan untuk proyek gentong babi, tapi untuk hal-hal yang lebih diperlukan, seperti program bantuan operasional sekolah.

Tentu, kita bisa belajar dari beberapa praktek yang bagus di negara lain. Tapi banyak yang tak mesti kita contoh. Di sisi lain, kelompok-kelompok penekan tetap juga diperlukan. Karena itu, tekanan yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat di Indonesia saat ini untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas, serta menjunjung prinsip pemisahan eksekutif dan legislatif, patut dihargai.
Sumber: Tempo edisi 14 – 20 Juni 2010
 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger